Sebersit Asa Si
Anak Desa
Oleh: Rizka
Hidayatul Umami
Kehidupan yang kita jalani terkadang memang tidak
sesuai dengan apa yang kita harapkan. Banyak kerikil-kerikil tajam yang siap
menghadang dan melukai kita kapanpun, bahkan ketika kita masih memulai untuk
melangkah. Pasang surutnya hidup juga memaksa kita berbuat lebih banyak dari
yang lain, menuntut kita bekerja dan berjuang lebih keras agar dapat merasakan
kehidupan yang layak, nyaman, dan bahagia. Tentunya dalam mencapai
kebahagiaan itu, kita membutuhkan orang lain. Tidak mungkin dalam kehidupan
yang nyaris kejam ini kita mampu melakukan segalanya sendiri. Adakalanya kita
membutuhkan peran orang lain dalam mencapai suatu hal yang sering kita sebut
sebagai kebahagiaan. Entah itu sekedar untuk memotivasi kita atau bahkan
sekedar mendengarkan celotehan disaat kita berada pada keadaan terburuk.
Meskipun, terkadang orang lain jugalah yang mengharuskan langkah kita terhenti
dan membuat kita berfikir ulang jika harus melanjutkan perjuangan hidup kita
selama ini.
Tidak berbeda jauh dengan ungkapan di atas, kisah yang miris juga pernah dialami oleh seorang gadis sebut saja Siti. Anak pertama dari pasangan suami isteri Awan dan Wati ini harus merasakan pahitnya kehidupan sejak kecil. Siti yang tinggal di salah satu desa di kabupaten Tulungagung, diasuh oleh kakek dan neneknya karena sang ibu harus bekerja di negeri orang sebagai TKW demi menyambung hidup keluarga, begitu pula sang ayah. Ketika Siti berusia 3 tahun, ibu dan ayahnya bercerai sehingga membuat Siti makin kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Hak asuh anak pada saat itu jatuh pada sang ibu, sementara sejak bercerai, ayah Siti kembali merantau dan tidak pernah menemui Siti, bahkan sekedar memberikan kabar pun tidak pernah. Alhasil, ibu Sitilah yang bekerja banting tulang dan kembali menjadi TKW untuk membesarkan dan menyekolahkan Siti.
Selama di rumah, Siti kerap membantu sang nenek
bekerja. Selesai sekolah, ia kerap memilih untuk membantu sang nenek dari pada
bermain dengan teman-temannya. Ibu Siti adalah orang yang keras, ketika di
rumah pun beliau tidak pernah memanjakan Siti. Sangat jarang Siti mendapat
belaian sang ibu, sehingga neneknyalah yang dekat dengan Siti. Setelah lulus
dari sekolah dasar, nenek Siti yang biasa dipanggil si mbok sempat bingung
dengan keputusan Siti yang ingin melanjutkan sekolahnya, sementara sang ibu
belum bisa mengirimkan dana untuk pendaftaran. Siti sempat berfikir untuk
bekerja pada saat itu, namun dengan berbagai cara, akhirnya kakek Siti pun
mampu mengumpulkan uang untuk menyekolahkan Siti, meskipun juga harus dibarengi
dengan berhutang pada tetangga. Ketika menginjak kelas 2 MTs, ibu Siti harus di
operasi karena ada gangguan dengan bayi yang dikandungnya. “ya Alhamdulillah,
ibuk sama adek cewek saya selamat dalam operasi besar itu, meskipun harus
memakan biaya yang besar juga”, ujar Siti. Tiga bulan setelah itu, Siti kembali
dihadapkan pada keadaan yang berat. Kakeknya yang memang telah lama menderita
penyakit jantung, akhirnya dipanggil oleh sang Maha Kuasa.
Beberapa bulan setelah itu, ibu Siti berangkat
kembali menjadi TKW, sementara sang adik, tinggal bersama keluarga ayah baru
Siti di Ponorogo. Setiap dua atau tiga bulan sekali, ibunya hanya mengirimkan
uang untuk keperluan pembayaran sekolah Siti dan yang lain dikirimkan untuk
adik dan suaminya. Hal tersebut mengharuskan Siti dan si mbok mencari uang
sendiri untuk makan sehari-hari. Ketika Siti lulus dari MTs, ia kembali lagi
dihadapkan pada sesuatu yang sulit. Siti tidak bisa meneruskan pendidikannya
karena terhalang biaya. Nenek Siti yang juga bekerja membuat reyek (tempat ikan
dari bambu) tak bisa berbuat banyak. “saya memutuskan untuk bekerja pada saat
itu, saya tidak bisa menyusahkan nenek lagi, beliau sudah sepuh,” katanya. Siti
yang pada bulan Juni nanti genap berusia delapan belas tahun ini, harus putus
sekolah dan akhirnya bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri dan si mbok.
Sementara itu, sang ibu sudah sangat jarang mengirimkan uang pada Siti.
Keinginan Siti untuk tetap bisa mengenyam pendidikan
menjadikannya berjuang lebih keras. Dia melamar kerja kesana kemari dan
akhirnya ia pun mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga toko. Setahun setelah
itu, akhirnya Siti dapat melanjutkan pendidikannya. “meskipun gaji yang saya
dapat itu tidak banyak, tapi setidaknya saya bisa mencukupi kebutuhan
sehari-hari dan menabung untuk sekolah saya. Dan inilah hasil dari bekerja
saya, saya bisa sekolah” ujar Siti dengan manis. “saya sebenarnya malu, kalau
ditanya kok masih kelas satu, padahal lulus tahun lalu, tapi ya demi sekolah,
saya senyum saja kalau ditanya seperti itu. Toh diluar sana malah ada yang gak
bisa sekolah,” tegas Siti. Siti sang gadis kecil kini memang telah beranjak
dewasa, dan semangat untuk membahagiakan neneknya sekaligus untuk mengenyam pendidikan
setinggi mungkin mengajarkan kita bagaimana memaknai hidup dengan
sebaik-baiknya. Kehidupan ini memang tidak selalu manis, begitu banyak aral
yang melintang di depan kita, tergantung bagaimana usaha kita untuk menyisihkan
aral tersebut.
0 Comments