“Seperti Edelweis yang menjadi abadi, dan sumber mata air penampihan yang tetap mengalir menyusuri lembah, kami berharap tetap mampu menyatu dengan aroma alam dengan segala unsur sakral yang mengental.”
Denting yang terdengar seakan
sumbang. Lengkingan demi lengkingan terasa memenuhi bagian terdalam telinga
yang hampir beku diterpa sang angin malam. Telapak tangan kami pun juga seakan
mati rasa. Disini, terlalu dingin untuk kami singgahi, namun terlalu menyesakkan
pabila kami justru mangkir dan kembali pulang, tanpa membawa apa yang
seharusnya kami saksikan. Terlalu membebani hati jika malam ini kami
menyerahkan diri dan pergi lagi tanpa melihat di lain sisi. Kami tentu akan
menyesal, jika pagi yang akan menjelang dengan membawa putaran sejarah baru,
justru kami tinggalkan. Kami pasti akan merengek pilu penuh rasa bersalah.
Senja di 15 Oktober 2015, nampaknya
akan menjadi gerbang pembuka bagi kami, mahasiswa Ushuluddin Adab dan Dakwah
dalam merangkai kembali benih-benih sejarah yang hampir punah. Di sela-sela
kesibukan sebagai mahasiswa yang aktif dalam berbagai lini organisasi, sore ini
kami akan mengikut sertakan diri dalam sebuah acara besar yang bertempat di
kawasan pegunungan Wilis, tepatnya di area candi Penampihan, desa Geger,
Sendang, kabupaten Tulungagung. Ternyata antusiasme arek ASHU dalam acara ini
begitu besar, sehingga tidak ada cukup ruang untuk berangkat secara bersamaan,
mengingat pula di kamis yang cukup menyengat itu, masih ada jam perkuliahan
untuk beberapa jurusan. Karena terbatas pada ruang dan waktu itulah, kami pun
memutuskan untuk membagi keberangkatan dalam beberapa kloter.
Kloter pertama berangkat sekitar
pukul 15:00, waktu yang disepakati oleh mereka-mereka yang sudah sangat luang
tanpa beban mata kuliah. Kloter kedua berangkat setelah maghrib, dan kloter
terakhir akan bergabung dengan rombongan keluarga besar LPM Dimensi sekitar
pukul 20:00. Rona Jingga yang telah berpendar menjadi mega agaknya mengurai
cerita tersendiri. Kesediaan kami dalam berpartisipasi bukanlah tanpa alasan,
atau sekedar melihat jalannya pertunjukkan, bukan. Sejatinya kami memang ingin
menapaki kembali alur kisah spiritual masyarakat Geger dengan segala bentuk upacara
adat yang dilakukannya.
Malam semakin malam, dan angin yang
berhembus semakin terasa kecut. Sembari menerawang apa yang akan terjadi esok,
kami pun hanyut terbalut dalam bias mimpi masing-masing, hingga akhirnya embun
mampu mempertemukan kami pada sang raja pagi, mentari. Masih sepagi ini, dan
segenap masyarakat Geger telah begitu sibuk. Di bawah (sebelum naik ke kawasan
candi), ada beberapa mahasiswa yang diminta turut serta dalam upacara, sedang
sibuk-sibuknya merias diri, ada yang membantu membuat aneka macam olahan
makanan, menata buah-buahan dan sesajen, membentuk janur (daun kelapa yang
masih muda) untuk diarak menuju tempat upacara dan membantu dalam beberapa
kegiatan lain. Selagi menunggu persiapan arak-arakan, para bapak mendapat tugas
menata tempat untuk prosesi upacara yang juga akan dihadiri oleh bapak Bupati
Tulungagung dan beberapa petinggi lain di lapangan candi.
Sekitar pukul 08:30, tanah berumput
tipis kering itu telah penuh oleh riuh para pengunjung yang juga ingin menjadi
saksi atas upacara yang diberi nama Grebek Wilis atau Grebek Suro itu. Tak
ingin terlewatkan, di samping-samping jalan terdapat para penjual makanan
seperti rujak, nasi sayur, lontong, bakso, es dawet, dkk. Semua juga perlu
tahu, bahwa acara yang menjadi agenda rutin setiap tahun guna menyambut tahun baru
Jawa ini, digelar dengan prosesi-prosesi yang kental adat Jawa dan percampuran
budaya dari tiga agama, yakni Kristen, Islam, dan Hindu. Ketika arak-arakan
telah sampai di lapangan depan candi, pembukaan upacara pun di mulai. Di
barisan paling depan, ada laki-laki paruh baya yang memerankan tokoh Bima
dengan para punggawa, dan bala pasukannya. Sebelum menuju area candi, sebuah
tari tradisional yang dibawakan oleh empat gadis cantik menjadi pembuka yang
manis dalam upacara sakral itu. Setelah acara pembuka di lapangan selesai, para
tetua adat dan orang-orang yang menjadi bagian penting dalam upacara pun
memasuki tempat ritual, yakni di depan candi dengan membawa sesajen.
Sebagai orang yang awam dengan
ritual kejawen, tentunya kami hanya mampu menyaksikan serangkaian kegiatan yang
tengah dikerjakan oleh para sesepuh desa Geger tersebut. Dalam benak hati,
ingin rasanya kami menyukil satu persatu makna dari serangkaian prosesi yang
ditutup dengan Nglarung Sesajen dan membagikan hasil bumi kepada warga secara
cuma-cuma itu. Namun ternyata, belum selesai sampai disitu. Setelah ritual
sakral (Suran) itu berakhir, ternyata masih ada serangkaian acara lagi untuk
para pengunjung, yakni penampilan tarian oleh adik-adik kecil yang rata-rata
masih berusia di bawah tujuh tahun. Dengan berdandan menor dan gerakan-gerakan
centil serta menggemaskan, adik-adik itu berhasil menghipnotis kami dan para
pengunjung yang menyaksikan mereka.
Meski mentari tak menghentikan diri
dari menikam kulit-kulit kami dengan pijar panasnya, namun kami tak lantas
menyerah untuk menunggu acara terakhir dalam Grebek Wilis ini. Acara yang
ternyata sudah dinanti-nantikan oleh semua golongan, baik muda maupun tua,
yakni acara perebutan gunungan yang berisi buah-buahan, sayur, dan beberapa
hasil bumi lainnya. Riuh ramai para pengunjung berdesakan mengambil hasil bumi
yang terpajang layaknya lukisan sedari pagi. Meski sedikit tidak terkontrol,
ternyata masyarakat disini begitu menghargai satu sama lain, sehingga tidak
sampai menimbulkan kericuhan. Di akhir acara, kami pun menyempatkan berfoto
dengan beberapa bapak-bapak yang berpakaian adat Jawa.
Dari titik ini, kami melihat ada
kebanggaan tersirat dalam wajah orang-orang yang dengan antusias mengikuti
Grebek Wilis di Sendang. Bangga karena masih mampu menyatu dengan alam, bangga
karena masih diberikan kesempatan sedemikian rupa, sehingga mampu melestarikan
budaya Jawa, meski dengan keterbatasan ruang. Dan dari titik ini, kami
tersadar. Bahwa kami adalah generasi penerus yang nantinya akan menggantikan
para tetua dalam melestarikan adat. Jika bukan kami yang ambil bagian, jika
bukan dari diri sendiri, maka bagaimana kami bisa menggerakkan massa untuk
turut serta merawat budaya bangsa? kami tahu semua memiliki jawabannya
masing-masing. Dan begitulah sedikit cerita yang bisa kami tuangkan. Sekitar
pukul 11:30, kami pun turun menuju camp awal kami yakni Balai Desa, kemudian
setelah melaksanakan kencan sakral (Jum'atan bagi laki-laki), kami pun izin
pamit dan kembali ke wisma kami masing-masing.
0 Comments