BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam Islam, kita telah diajarkan untuk senantiasa
berbakti kepada kedua orang tua,
mengingat begitu besar jasa yang telah orang tua kita
berikan kepada kita. Ayah yang selalu bekerja keras demi untuk menghidupi ibu dan
kita, sementara ibu yang rela tidak tidur dan tidak makan, hanya agar kita bisa
tidur pulas dan makan secara lahap. Namun seiring bertambahnya usia, terkadang kita
justru sangat tidak adil terhadap ayah dan ibu, entah dalam hal kecil seperti berbohong,
maupun dalam skala yang besar, bahkan banyak dari kita yang justru mendurhakai kedua
orang tua.
Dalam makalah ini, kami mencoba menguraikan lebih
mendalam tentang pengertian berbakti kepada
orangtua (Birul Walidain), cara untuk berbakti kepada orang tua dan hadits-hadits yang mendukung uraian
kami, dengan tujuan agar kita tidak melalaikan dari menghormati mereka. Selain itu,
kami juga membahas sedikit mengenai pengertian dari mendurhakai orang tua (‘Uququl Walidain),
permasalahan-permasalahan yang sering terjadi antara anak dan orang tua, serta hadits-hadits yang turut menjadi pendukung
argumen kami.
B.
RumusanMasalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan Birul Walidain?
2.
Bagaimana cara berbakti kepada orang tua?
3.
Apakah pengertian dari ‘Uququl Walidain?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan pengertian dari Birul Walidain.
2.
Menguraikan cara berbakti kepada orang tua.
3.
Menjelaskan pengertian dari ‘Uququl
Walidain.
Kibrispdr.org |
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Birrul
Walidain
Ditinjau dari segi etimologi,
kata Al-Birr berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti kebaikan, baiknya
akhlak, atau berbuat baik.[1] Secara
terminologi, Birrul Walidain adalah berbuat baik kepada kedua orang tua
(baik ayah maupun ibu). Maksud dari berbuat baik kepada kedua orang tua di sini
dapat diartikan juga dengan mentaati keduanya dalam segala hal yang mereka
perintahkan dan inginkan, selama hal itu tidak menjerumuskan kepada maksiat dan
tidak menjauhkan dari Allah.[2]
Sebagian besar jumhur
ulama’ telah sepakat bahwa berbakti kepada kedua orang tua termasuk suatu
kewajiban. Hukum wajib yang mereka sepakati ini salah satunya berpegang pada
Firman Allah QS. an-Nisa: 36. Birul Walidain juga adalah sebuah
keutamaan. Ada beberapa keutamaan yang bisa diperoleh seseorang tatkala berbuat
baik kepada orang tuanya, antara lain yaitu:
1.
Amalan Paling Mulia dan Utama.
Seperti yang pernah diceritakan dalam suatu riwayat,
Rasulullah telah menyampaikan bahwa salah satu amalan yang paling utama dan
dicintai oleh Allah adalah berbakti kepada orang tua.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ الْمَسْعُودِيِّ عَنْ
الْوَلِيدِ بْنِ الْعَيْزَارِ عَنْ أَبِي عَمْرٍو الشَّيْبَانِيِّ عَنْ ابْنِ
مَسْعُودٍ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ
لِمِيقَاتِهَا قُلْتُ ثُمَّ مَاذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ
قُلْتُ ثُمَّ مَاذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
ثُمَّ سَكَتَ عَنِّي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ
اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي.
“Ahmad bin Muhammad
menceritakan kepada kami, Abdullah bin al-Mubarak mengabarkan kepada kami, dari
al-Mas’udi, dari al-Walid bin al-‘Aizar, dari Abu Amr asy-Syaibani, dari Ibnu Mas'ud,
ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, amalan apakah yang
paling utama?”, beliau menjawab, “Shalat pada waktunya”. Aku berkata, “Kemudian
apa ya Rasulullah?”, beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua”. Aku
berkata, “Kemudian
apa ya Rasulullah?”,
beliau
menjawab, “Jihad di jalan Allah”. “Rasulullah
kemudian mendiamkan aku. Seandainya aku
menambahkan pertanyaan kepadanya, niscaya beliau akan memberikan jawaban
tambahan kepadaku”. (Muttafaq ‘alaih).[3]
Dalam beberapa riwayat lain
dijelaskan pula tentang keutamaan berbakti kepada orang tua, meskipun dengan
susunan lafadz yang berbeda. Ada yang mendahulukan lafadz Jihad fii
Sabilillaah, ada pula yang mendahulukan Birrul Walidain sebelum
menyebutkan Shalat di awal waktu.
Perbedaan
susunan lafadz tersebut tidak lain adalah jawaban Nabi SAW yang memang berbeda
sesuai dengan situasi dan kondisi saat ditanya tentang pertanyaan yang sama.
Terlepas dari perbedaan susunan lafadz dalam hadits-hadits tersebut, tetap jelaslah
bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah salah satu keniscayaan yang utama
dan dicintai oleh Allah SWT.
2.
Mendapatkan Ridha Allah
Keutamaan dan kewajiban seorang anak dalam berbakti
kepada kedua orang tuanya memang tidak bisa disangsikan lagi. Allah sendiri
telah meletakkan keridhaan-Nya atas seorang hamba, tergantung dari keridhaan
orang tua terhadap anaknya. Ketika sudah demikian, maka jika ada seorang ayah
atau ibu yang tidak meridhai anaknya dalam melakukan sesuatu, Allah pun tidak
akan ridha atasnya. Seperti bunyi hadits berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو حَفْصٍ عُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ
حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ يَعْلَى بْنِ
عَطَاءٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الْوَالِدِ وَسَخَطُ
الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
“Abu
Hafsh Umar bin Ali menceritakan kepada kami, Khalid bin Al Harits
menceritakan kepada kami, Syu'bah menceritakan kepada kami, dari Ya'la bin
Atha, dari bapaknya, dari Abdullah bin Amru bahwa Nabi SAW bersabda, “Ridha Allah dalam (tergantung) ridha kedua orang tua, dan murka Allah itu
dalam murka kedua orang tua”. (Ash-Shahihain: 515)[4]
3.
Sebab Masuk ke Surga.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa ridha
Allah tergantung pada ridha kedua orang tua. Ketika ridha Allah telah didapat,
maka hal itu pada akhirnya juga akan membawa seseorang dengan mudah menggapai
jalan menuju Surga. Ada sebuah riwayat yang berkenaan dengan hal tersebut:
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ سَمِعَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْوَالِدُ أَوْسَطُ
أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوْ احْفَظْهُ
“Dari Abu Darda', (ia berkata), "Aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Orang
tua adalah penengah pintu-pintu surga. Maka hilangkan pintu itu, atau jagalah
ia!”[5]
Dari hadits tersebut dapat ditarik
pelajaran bahwa jika seseorang ingin memperoleh surganya Allah, maka ia harus
dengan sepenuh hati menjaga kedua orang tuanya. Ketika seseorang itu enggan
atau bahkan tidak sudi menjaga dan merawat kedua orang tuanya, apalagi ketika
sudah memasuki usia senja, sehingga membuat orang tuanya tidak ridha, maka
pintu-pintu surga itu akan dihilangkan oleh Allah SWT.
B.
Cara
Berbakti Kepada Orang tua
Dalam tata kehidupan bermasyarakat, tentu sudah tidak
asing lagi jika membahas cara-cara yang bisa dilakukan sebagai wujud dari
kebaktian seorang anak terhadap kedua orang tuanya. Di sekolah misalnya,
seorang guru selalu mengajarkan kepada muridnya untuk senantiasa menghormati
kedua orang tua ketika di rumah terutama ibu, karena kedudukan ibu tiga kali
lebih mulia. Hal itu senada dengan sebuah hadits yang pernah diriwayatkan oleh
shahabat:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ أَخْبَرَنَا بَهْزُ
بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ
أَبَرُّ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ
مَنْ .قَالَ
أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبَاكَ ثُمَّ الْأَقْرَبَ
فَالْأَقْرَبَ
“Muhammad bin Basysyar menceritakan kepada kami, Yahya
bin Sa'id mengabarkan kepada kami, Bahz bin Hakim mengabarkan kepada kami,
ayahku menceritakan kepadaku, dari kakekku, ia berkata, "Aku berkata, “Ya
Rasulullah, sipakah yang lebih (berhak) mendapat bakti(ku)?" Rasulullah
menjawab, “Ibumu”. Aku berkata, “Kemudian siapa?” Rasulullah menjawab,
“Ibumu”. Aku berkata, “Kemudian siapa?”, Rasulullah menjawab, “Ibumu”. Aku
berkata, “Kemudian siapa?”, Rasululah menjawab, “Kemudian bapakmu, lalu orang
yang lebih dekat dan yang lebih dekat”. (al-Misykah)[6]
عَنْ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِ يكَرِبَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ
يُوصِيكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ ثَلَاثًا إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِآبَائِكُمْ
إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِالْأَقْرَبِ فَالْأَقْرَبِ
“Dari
Miqdam bin Ma'dikarib, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mewasiatkan kalian untuk
berbakti kepada ibu-ibu kalian (beliau mengucapkannya tiga kali). Sesungguhnya
Allah mewasiatkan kalian untuk berbakti kepada bapak-bapak kalian. Sesungguhnya
Allah mewasiatkan kalian untuk berbuat baik kepada kerabat kalian, (lalu kepada
kerabat) yang lebih dekat.” (Ash-Shahihah: 1666)
Dari
kedua hadits yag dipaparkan di atas, peran ibu memang sangat penting dalam
kehidupan seorang anak. Allah sendiri meletakkan kedudukan ibu tiga kali lebih
mulia dari ayah. Kedudukan ibu yang lebih dimuliakan itu tidak lain karena
perjuangan ibu sangat besar, mulai dari megandung selama sembilan bulan,
kemudian memberikan asupan makanan ketika tengah mngandung, dalam melahirkan,
meyusui, dan membesarkan seorang anak dalam buaiannya.
Meskipun dua hadits di atas lebih diprioritaskan untuk
berbakti kepada ibu, tapi secara umum, ada beberapa cara untuk dapat berbakti
kepada kedua orang tua, yaitu:
1.
Berkata lembut kepada kedua orang tua
كُنْتُ مَعَ النَّجَدَاتِ، فَاَصَبْتُ ذُنُوْبًا لاَ
أَرَاهَا اِلاَّ مِنَ الْكَبَائِرِ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لاِبْنِ عُمَرَ قَالَ: مَا
هِيَ؟ قُلْتُ: كَذَا وَكَذَا؟ قَالَ: لَيْسَتْ هَذِهِ مِنَ الْكَبَائِرِ، هُنَّ
تِسْعٌ : اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَقَتْلُ نَسْمَةٍ، وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ،
وَقَذْفُ الْمُحْصَنَةِ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ،
وَاِلْحَادُ فِي الْمَسْجِدِ، وَالَّذِي يَسْتَسْخِرُ، وَبُكَاءُ الْوَالِدَيْنِ
مِنَ الْعُقُوْقِ قَالَ لِي ابْنُ عُمَرَ: أَتُفِرَّقُ مِنَ النَّارِ وَتُحِبُّ
أَنْ تَدْخُلَ الْجَنَّةَ؟ قُلْتُ: أَىْ وَاللهِ! قَالَ: أَحَىُّ وَالِدُاكَ؟
قُلْتُ: عِنْدِي أُمِّى، قَالَ: فَوَاللهِ! لَوْ أَلَنْتَ لَهَا الْكَلاَمَ
وَأَطْعَمْتَهَا الطَّعَامَ لَتَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ مَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Aku bersama orang-orang
keturunan Najdah bin Amir Al Khariji, yang membuat aku banyak melakukan
dosa-dosa besar. Kemudian aku melaporkannya kepada Ibnu Umar, seraya bertanya, “Apa
dosa-dosa itu?”, Aku menjawab, “Ini dan itu”. Ibnu Umar berkata, “Itu tidak termasuk dosa-dosa besar. Dosa-dosa
besar itu, ada sembilan, yaitu menyekutukan Allah, membunuh orang, lari dari
peperangan, menuduh zina kepada wanita mukmin, memakan harta riba, mengambil
harta anak yatim, melenceng di masjid, orang yang suka menghina (mengejek), dan
(menyebabkan) orang tua menangis karena durhaka (kepada keduanya)”. Ibnu Umar
berkata, kepadaku, “Apakah engkau takut dari neraka dan ingin masuk surga?” Saya berkata, “Apa benar,
demi Allah?”. Ibnu Umar berkata, “Apakah orang tuamu masih hidup?” Saya
menjawab, “Ibu saya masih hidup”. Ibnu Umar berkata, “Demi Allah! sekiranya
engkau berbicara lemah lembut kepadanya dan memberi makan kepadanya, maka
niscaya engkau benar-benar akan masuk surga selama dosa-dosa besar itu dijauhi.”
Lewat paparan
hadits tersebut, dijelaskan bahwa ketika seseorang ingin masuk ke dalam
surganya Allah, dan ia benar-benar takut akan siksa daripada nerakanya Allah,
maka salah satu cara yang mampu ia lakukan selain menjauhi perkara-perkara yang
mendatangkan dosa, adalah dengan merawat kedua orang tua, atau salah satu
diantara keduanya.
2.
Membalas kebaikan kedua
orang tua.
Selama kedua orang tua masih hidup, maka tugas anak
adalah merawat dan memberikan apa yang menjadi hak keduanya. Meskipun anak
tidak akan pernah bisa membalas seluruh jasa yang telah sang ayah dan ibunya
berikan dan lakukan, tapi setidaknya ada usaha dari seorang anak untuk
membahagiakan kedua orang tuanya atau setidaknya untuk berbakti kepada mereka.
Seperti yang pernah dikisahkan oleh Abu Hurairah, ia berkata:
قَالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ
عّلَيْهِ وَسّلَّمَ : لاَ يَجْزِى وَلَدٌ وَالِدًهُ إِلاَّ أَنْ يَجِدَهُ
مَمْلُوكًا فَيَشْتَرِيَهُ فَيُعْتِقَهُ
Dari Nabi SAW berkata, “Seseorang
tidak dikatakan berbakti kepada orang
tuanya, kecuali bila orang tuanya menjadi budak,
lalu ia membelinya dan memerdekakanya.”[8]
3.
Mendahulukan
kepentingan untuk orang tua dari berjihad
Ibaratnya jika seorang anak adalah ladang bagi kedua orang tua untuk
berinvestasi amal, maka untuk seorang anak, orang tua adalah ladang menuai
pahala yang paling mudah. Dengan ikhlas merawat orang tua saja, seorang anak
sudah mampu mendapatkan ridha Allah. Bahkan dalam sebuah riwayat, keutamaan
berbakti kepada orang tua lebih di dahulukan dari berjihad.
عن عَبْد اللَّهِ بْن عَمْرِو بْنِ
الْعَاصِ قَالَ أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبْتَغِي
الْأَجْرَ مِنْ اللَّهِ قَالَ فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَيٌّ قَالَ نَعَمْ
بَلْ كِلَاهُمَا قَالَ فَتَبْتَغِي الْأَجْرَ مِنْ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ
فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا
“Dari Abdullah bin Amru bin Ash ra. dia berkata, “Pada
suatu hari ada seorang laki-laki menghadap kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Ya
Rasulullah, saya berbai'at kepada engkau untuk berhijrah dan berjihad agar saya
memperoleh pahala dari Allah”. Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apakah salah
seorang dari dua orang tuamu masih hidup?” Laki-laki itu menjawab, “Ya dan
bahkan keduanya masih hidup.” Lalu Rasulullah bertanya lagi kepadanya, “Apakah
kamu menginginkan pahala dari Allah Azza wa Jalla?” Laki-laki tersebut
menjawab, “Ya.” Rasulullah pun akhirnya berkata, “Kalau begitu, pulanglah
kepada kedua orang tuamu dan berbaktilah kepada keduanya!”. (Muslim)[9]
Selain yang telah
disebutkan di atas, masih ada beberapa cara yang bisa dilakukan sebagai tanda
berbakti kepada kedua orang tua. Beberapa cara itu yakni, dengan tidak
berbohong kepada orang tua, meminta izin kepada salah satu diantara keduanya
apabila ingin memenuhi sebuah urusan, merendahkan diri di hadapan keduanya,
menyediakan makanan, dan lain sebagainya.[10]
C.
Pengertian
Uququl
Walidain
Berkata Imam Al Qurtubi:
“Termasuk ‘Uquq (durhaka) kepada orang tua adalah menyelisihi atau
menentang keinginan-keinginan mereka dari (perkara-perkara) yang mubah...”.[11]
Secara etimologi ‘Uquq berasal dari kata ‘Aqqa yang berarti memutus. Secara
Terminologi kata ‘Uququl Walidain berarti memutus atau mendurhakai kedua
orang tua. Mendurhakai kedua orang tua, tidak sekedar meninggalkan dan tidak
mau merawat, akan tetapi lebih luas meliputi beberapa hal yang membuat sakit
hati salah satu diantara mereka bahkan keduanya.
Berkata
Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah: Berkata Abu Bakr di dalam kitab Zaadul
Musaafir, “Barangsiapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah dan
menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya agar dia bisa tertawa (senang)
kembali”.[12]
Dari riwayat ini dapat dipahami bahwa Allah sangat tidak menyukai orang-orang
yang melukai hati, mencela, melaknat, dan durhaka terhadap kedua orang tua.
Selain itu, menjadikan nama orang tua sebagai bahan untuk mengejek orang lain,
ternyata secara tidak langsung juga termasuk kategori mencela, meskipun niatnya
bukan untuk mencela kedua orang tua. Seperti yang pernah diriwayatkan oleh
seorang shahabat:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ
بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ
يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ
الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ
وَيَسُبُّ أُمَّهُ
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah
menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'd dari Ayahnya dari Humaid bin
Abdurrahman dari Abdullah bin 'Amru radliallahu 'anhuma dia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya
termasuk dari dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya sendiri,”
beliau ditanya, “Kenapa hal itu bisa terjadi wahai Rasulullah?” beliau
menjawab: “Seseorang mencela (melaknat) ayah orang lain, kemudian orang
tersebut membalas mencela ayah dan ibu orang yang pertama.”[13]
Ternyata tidak hanya Birrul
Walidain yang memiliki beragam cara untuk dilakukan, ‘Uququl Walidain pun juga memiliki banyak bentuk dan beragam jenisnya. Dalam masa
sekarang ini, tentu akan lebih mudah ditemukan di lingkungan masyarakat para
remaja yang lebih dekat dengan teman mainnya daripada dengan orang tuanya
sendiri. Kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi memang telah merubah arah
pemikiran anak-anak yang tadinya sangat menurut, saat ini mereka justru berani
melawan orang tuanya, bahkan sampai berani mengatakan bahwa orang tua
“ketinggalan zaman”.
Kesalahan
dalam proses pembelajaran dan pengawasan juga telah ikut andil dalam membuat
anak memiliki sikap yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua, dan cenderung
mengecewakan. Sikap-sikap tersebut yang pada akhirnya membuat seorang anak
menjadi durhaka terhadap orang tuanya. Beberapa sikap yang termasuk dalam ‘Uququl Walidain antara lain:[14]
1.
Membuat kedua orang tua sedih
bahkan menangis, baik dengan perbuatan ataupun ucapan.
2.
Menghardik ayah atau ibu dengan menggunakan kata-kata
yang keras dan kasar, termasuk
berkata “ah” dan berkeluh kesah saat diperintah keduanya, seperti Firman Allah dalam QS. Al-Isra : 23
3.
Bermuka masam atau terus menerus cemberut di hadapan
orang tua.
4.
Memandang dengan pandangan
marah dan merendahkan, memalingkan muka, memotong pembicaraan, mendustai serta
membantah ketika mereka berbicara.
5.
Tidak membantu pekerjaan
rumah orangtua, bahkan memerintah mereka seperti layaknya pembantu.
6.
Mengkritik makanan buatan
ibu.
7.
Tidak menganggap dan tidak
menghargai pendapat mereka.
8.
Tidak minta izin saat masuk
menemui mereka.
9.
Memancing masalah di depan
mereka dan menjatuhkannya dalam lubang kesulitan.
Dari Abdullah bin Amru bin Al 'Ash, dia berkata,
مِنَ
الْكَبَائِرْ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى أَنْ يَسْتَسَبَّ الرَّجُلُ لِوَالِدِهِ
“Termasuk dosa-dosa
besar di sisi Allah SWT, adalah seseorang
menjadi caci makian bagi kedua orang tuanya.”
Hadits terakhir ini tidak hanya mengingatkan tentang
betapa besarnya dosa seseorang yang mendurhakai orang tuanya, akan tetapi
sekaligus menjadi pengingat bahwa Allah sangat membenci orang-orang yang dengan
sengaja membuat malu kedua orang tua.
BAB III
PENUTUP
Berbuat baik kepada kedua orang tua dapat diartikan
dengan mentaati keduanya dalam segala hal yang mereka perintahkan dan inginkan,
selama hal itu tidak menjerumuskan kepada maksiat dan tidak menjauhkan dari
Allah. Birul Walidain memiliki beberapa keutamaan, yakni menjadi sebab
mendapat ridha Allah, termasuk amalan yang paling utama, dan menjadi sebab
seseorang dapat masuk ke Surga.
Ada beberapa cara untuk berbakti kepada kedua orang tua
yaitu bertutur lembut kepada kedua orang tua, membalas kebaikan orang tua,
mendahulukan kepentingan orang tua, tidak berbohong kepada orang tua, meminta izin
kepada salah satu diantara keduanya apabila ingin memenuhi sebuah urusan,
merendahkan diri di hadapan keduanya, menyediakan makanan, dan lain sebagainya.
‘Uququl Walidain berarti memutus atau mendurhakai kedua
orang tua. Mendurhakai kedua orang tua, tidak sekedar meninggalkan dan tidak
mau merawat, akan tetapi lebih luas meliputi beberapa hal yang membuat sakit
hati salah satu diantara mereka bahkan keduanya, membuat kedua orang tua sedih
bahkan menangis, baik dengan perbuatan ataupun ucapan, menghardik ayah atau ibu
dengan menggunakan kata-kata yang keras dan kasar, bermuka masam, memandang
dengan pandangan marah dan merendahkan, tidak membantu pekerjaan rumah
orangtua, mengkritik makanan buatan ibu, tidak menganggap dan tidak menghargai
pendapat mereka, tidak minta izin saat masuk menemui mereka, dan memancing
masalah di depan kedua orang tua.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2009. Terjemah Shahih Sunan Ibnu Majah
Kitab Adab Berbakti Kepada Orang Tua. Kampungsunnah.org.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2009. Terjemah Mukhtashar Shahih Muslim
Kitab Perbuatan Baik,
Meninggalkan jihad demi Berbakti dan Merawat
Orang Tua. Kampungsunnah.org.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2009. Terjemahan Shahih Sunan Tirmidzi
Kitab Berbakti dan Silaturrahmi. Kampungsunnah.org.
As-Sidokare, Abu Ahmad. 2009. Kompilasi Kitab Shahih Bukhari Bab Adab.
Kampungsunnah.org.
Nada, ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid. 2009. Birrul Walidain (Berbakti
kepada
Kedua Orang Tua). Islamhouse.com.
Terjemahan Shahih Adabul Mufrad-Imam Bukhari. 2008. Kampungsunnah.org.
almanhaj.or.id.Durhaka-Kepada-Orang-Tua.html/01/11/15
[1] ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, Birrul
Walidain (Berbakti kepada Kedua Orang Tua), (Islamhouse.com, 2009), hlm. 3
[3] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Terjemahan
Shahih Sunan Tirmidzi Kitab Berbakti dan Silaturrahmi,
(Kampungsunnah.org, 2009), hlm. 2
[4] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Terjemahan
Shahih Sunan Tirmidzi Kitab Keutamaan Ridha Kedua Orang Tua,
(Kampungsunnah.org, 2009), hlm. 3
[5] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Terjemah
Shahih Sunan Ibnu Majah Kitab Adab Berbakti Kepada Orang Tua,
(Kampungsunnah.org, 2009).
[6] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Terjemahan
Shahih Sunan Tirmidzi Kitab Berbakti dan Silaturrahmi,.
[9] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Terjemah
Mukhtashar Shahih Muslim Kitab Perbuatan Baik, Meninggalkan jihad demi Berbakti
dan Merawat Orang Tua, (Kampungsunnah.org, 2009)
[13] Abu Ahmad as-Sidokare, Kompilasi Kitab
Shahih Bukhari Bab Adab, (Kampungsunnah.org, 2009), bg. 4
0 Comments