MENGGALI KONSEP
ALTRUISME DALAM QS. AL-HASYR: 9
Studi Tafsir Ibnu Katsir dan Sayyid
Qutb
Oleh:
Nikmatul Fadilah, Rizka Hidayatul Umami, Umi
Choirun Nazilah
Jurusan Ilmu al-Qur’an Tafsir
Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, IAIN
Tulungagung
Limone |
ABSTRAK
Konsep altruisme
tidak lahir dari ruang hampa. August Comte percaya bahwa setiap individu punya
kewajiban moral untuk mengedepankan kepentingan orang lain atau kebaikan
manusia yang lebih besar. Konsep ini kemudian disejajarkan dengan istilah Itsar
dalam al-Qur’an. Alasan mendasarnya karena istilah altruisme dan Itsar
memiliki makna yang sepadan yakni mendahulukan orang lain. Salah satu ayat
al-Qur’an yang membahas mengenai Itsar adalah QS. al-Hasyr ayat 9 dengan
menggunakan lafadz يُؤْثِرُوْنَ. Secara menyeluruh ayat
ini membahas tentang persaudaraan dua kaum, yakni Anshar dan Muhajirin. Dalam
tafsir karya Ibnu Katsir dan Sayyid Qutb menyebutkan bahwa kaum Anshar memiliki
sikap puncak tertinggi, yakni lebih mengedepankan kebutuhan dan kepentingan
kaum Muhajirin di atas kepentingan pribadi golongannya. Mereka memilih mendahulukan
keperluan-keperluan kaum Muhajirin meskipun mereka sendiri kekurangan.
Kata kunci: altruisme,
Itsar, al-Hasyr:9, tafsir
A.
Pendahuluan
Tujuan utama diturunkannya al-Qur’an
selain sebagai petunjuk, adalah juga sebagai penjelas. Sebagaimana
yang termaktub dalam QS. An-Nahl: 89
وَيَوْمَ
نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِم مِّنْ أَنفُسِهِمْ ۖ
وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً
وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
Dari ayat di atas, diterangkan bahwasannya
di dalam al-Qur’an telah termuat segala macam petunjuk, yang dapat dijadikan
pedoman dan arahan hidup seluruh umat manusia. Kemudian dengan dijadikannya
penjelas, al-Qur’an juga dapat membantu manusia dalam mencari jalan
penyelesaian bagi masalah yang tengah dihadapinya.[1]
Tidak hanya itu, secara lebih
mendalam al-Qur’an juga mengandung nilai-nilai moral dalam berbagai ayat yang
dikandungnya. Dimana al-Qur’an menyuruh mansia menjadi bermartabat, rendah
hati, dapat dipercaya, baik budi, beriman, dewasa, dan mau mendengarkan.[2]
Dari sekian nilai-nilai moral yang dikandung al-Qur’an, Nabi mengharapkan agar
umatnya senantiasa mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam berkehidupan.
Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa di
dalam diri manusia terdapat dua sifat yang paradoks. Di satu sisi manusia ingin
memenuhi kepentingan pribadi (egoistik), di satu sisi manusia juga memiliki
tuntutan dalam hal kesediaannya memperhatikan kepentingan manusia yang lain
(altruistik).[3]
Kecenderungan yang kemudian terlahir dari sifat yang paradoks ini adalah manusia
dan yang lebih khususnya umat Islam sering mendahulukan kepentingan dirinya
sendiri daripada kepentingan orang lain. Hal ini pada akhirnya terus berlanjut
sampai membuat pola yang tidak seimbang. Pola itu ditandai dengan banyaknya
umat muslim yang menampilkan arogansi dalam bermasyarakat.
Pola yang salah namun terus
dilakukan oleh umat manusia –terutama umat Islam– ini,
mengakibatkan permasalahan yang tidak sepele. Banyak
konflik-konflik sosial yang muncul hasil dari ketidakpedulian antar sesama.[4]
Sikap egois yang semena-mena sampai tidak mempedulikan orang lain –bahkan
mungkin tetangga atau justru keluarga sendiri– menciptakan kesenjangan dan
kurang terjalinnya sistem persaudaraan antar masyarakat.
Padahal di dalam
al-Qur’an QS. al-Maidah: 2 telah dijelaskan bahwa sesama manusia haruslah
saling tolong menolong dalam hal kebaikan. Sikap tersebut tentu sangat jauh
dari yang saat ini terjadi. Masing-masing
individu cenderung berpikir praktis, sehingga mengabaikan tradisi tolong
menolong, gotong royong, dan sikap-sikap sosial lainnya.
Masing-masing merasa memiliki
kepentingan yang harus lebih dulu diselesaikan daripada kepentingan kelompok
atau lingkungan tempat tinggalnya. Egoisme yang
berujung pada individualisme[5],
telah menyebabkan banyak kesalahpahaman dan bentrok pemikiran antar
masing-masing individu.
Kemudian di dalam QS.at-Taubah: 71,
Allah telah secara jelas memapaparkan bahwa mukmin yang satu adalah penolong
terhadap mukmin yang lain. Dimana dalam ayat ini secara tersirat meletakkan
sikap tolong menolong, gotong royong –dalam hal kebaikan– adalah sesuatu yang
menjadi sebuah tanggungjawab moral dalam setiap diri individu terhadap
lingkungan sosialnya.
Kehidupan masyarakat yang plural
tentu harus diimbangi dengan adanya pemenuhan hak masing-masing individu tanpa
mengurangi sedikitpun hak yang lain. jika dalam suatu tatanan masyarakat
bersama-sama menggunakan sikap altruistik sebagai basis kehidupan bermasyarakat,
tentu rasa kesetiakawanan, rasa persaudaraan akan tetap terjaga. Berbeda dengan
ketika masing-masing merasa perlu mempertahankan diri dengan egonya, maka yang
terjadi, hanya akan ada permusuhan, perang ambisi, dendam, iri hati, dan rasa
ketidak adilan dimana-mana.
Mengedepankan persatuan dan
kesatuan demi terciptanya bangsa yang damai, tentu menjadi cita-cita bersama.
Islam, sebagai agama yang memiliki pengikut terbanyak, tentu harus lebih dulu
mengaplikasikan altruisme dalam kehidupan bermasyarakat. Jika mayoritas
masyarakat sudah mampu menerapkan altruisme dalam bermasyarakat, tentu yang
lain akan dengan sukarela mengikutinya.
B.
Pengertian Altruisme
Salah satu
langkah yang ditawarkan oleh para sosiolog terkait masalah egoisme
adalah memunculkan paham kebalikannya, yakni altruisme. Altruisme
sendiri adalah lawan kata dari egoisme. Secara umum altruisme diartikan
sebagai suatu paham atau tindakan sukarela dalam membantu orang lain tanpa
pamrih dan tanpa mengharapkan imbalan. Lebih mengutamakan kepentingan
orang lain daripada kepentingan diri sendiri. Dalam Altruisme, yang
menjadi tujuan utama adalah kesejahteraan, kebahagiaan, bahkan kelangsungan
hidup orang lain.[6]
Menurut Baron
dan Byrne yang dikutip oleh Novian Fajar Prasetyo, pengertian altruisme
adalah tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan
diri sendiri demi kebaikan orang lain. Sementara Campbell mengartikan altruisme
sebagai suatu bentuk perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, tanpa
mempedulikan diri sendiri.[7]
Hampir sama dengan pengertian sebelumnya, David O. Sears mengartikan altruisme
sebagai tindakan sukarela yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang
untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun, dengan
pengecualian telah memberikan suatu kebaikan.[8]
Konsep awal
lahirnya istilah altruisme adalah dari seorang sosiolog bernama August
Comte, yakni pada abad ke-19. Kata Altruisme merupakan
derivasi dari kata alteri, yang mengandung pengertian ‘orang lain’. Jadi
setiap manusia –menurut Comte– memiliki sebuah tanggungjawab moral kepada
sesamanya, untuk saling melayani, dalam artian memenuhi kebutuhan.[9]
Dalam bahasa Yunani, terkenal
istilah Angape, yaitu sebuah sikap atau tindakan yang mengedepankan
orang lain, dengan cara membantu dan tujuannya hanyalah kebaikan semata, tidak
ada embel-embel kepentingan atau yang lainnya.[10] Sikap yang
kemudian dapat muncul ketika menerapkan altruisme adalah rasa empati[11]
kepada sesama. Ketika rasa empati telah mampu tertanam pada diri seseorang,
maka sikap saling mendahulukan kepentingan orang yang lebih membutuhkan, tidak akan
mengundang keinginan untuk adanya timbal balik, atau mengharapkan sebuah
imbalan atas pertolongan yang diberikan.
Dalam sebuah desertasi menyebutkan,
bahwa moral altruisme adalah sebuah gagasan yang destruktif.[12] Alasannya adalah karena sifat dasar atau sifat
naluriyah dari manusia sendiri adalah
egois. Mementingkan kepuasan pribadi dan cenderung melihat orang lain dari segi
kepentingan yang diusungnya. Namun penelitian lain, yang menggunakan fakta empirik menyebutkan cerita
tentang kasih sayang ibu terhadap anaknya, kisah Nabi yang menyelamatkan para
umatnya, kasih sayang para Santo, kepedulian bunda Theressa terhadap kaum
miskin, dan lain sebagainya, secara tidak langsung telah membuktikan adanya
perilaku altruistik.[13]
Dalam sistem
masyarakat plural, yang terdiri dari
berbagai agama, etnis, ras, dan segala macam perbedaannya, tentu sikap altruisme
sangat dibutuhkan. Terlepas dari adanya mayoritas atau dominasi kekuasaan oleh
salah satu kelompok atau bahkan agama. Sebagaimana di Indonesia, adanya
mayoritas agama terkadang menjadi alasan dihalalkannya egoisme.[14] Hal tersebut
sering mendatangkan ketegangan dan ketidakmerataan komunikasi sehingga
menyebabkan perang dingin atau adu pendapat yang tidak berujung.
C.
Motif dan Ciri-ciri Pelaku Altruisme
Salah satu
ciri seseorang yang altruistik adalah terdapat pada niatnya yang tanpa pamrih,
atau tidak menginginkan imbalan. Dalam altruisme ada dua motif yang menyebabkan
seseorang mau menolong, yaitu personal distress (kesedihan personal) dan
empati.[15] Dalam
personal distress biasanya terjadi reaksi emosional individu terhadap
penderitaan yang dialami oleh orang lain. Reaksi yang sering timbul berupa perasaan
terkejut, ngeri, waspada, perhatian, atau bahkan tidak berdaya.
Sedangkan
empati merupakan rasa atau perasaan simpati dan pemberian perhatian kepada
orang lain. Titik fokus empati ini terjadi pada kebutuhan dan emosi penderita
atau korban. Jika di dalam personal distress dapat menyebabkan sesorang
cemas dan perhatian, maka di dalam empati seorang individu akan bisa merasa
simpati dan sayang.[16] Selain
dari kedua motif tersebut, David G. Myers, yang di kutip dalam Tesis milik
Miftakhul Janah, menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang juga turut
mempengaruhi seseorang melakukan pertolongan terhadap orang lain, diantaranya
yaitu:
1. Sifat-sifat kepribadian
Orang yang
memiliki tingkat emosi positif[17]
tinggi dan empati adalah mereka yang paling besar kemungkinan memiliki
perhatian, dan bersedia memberikan bantuan. Menurut Guagano, seseorang bisa bersikap
proposional kerena adanya sifat menolong yang sudah tertanam dalam kepribadian
orang tersebut. Sehingga sifat ini sangat menentukan seseorang dalam bertindak.
2. Gender
Berdasarkan
situasi yang dihadapi, pria dan wanita berbeda dalam memberikan pertolongan.
Pria lebih sering memberikan pertolongan pada situasi-situasi yang berpotensi
menimbulkan bahaya. Tetapi wanita memiliki kecenderungan menolong dalam situasi
yang aman.
3. Kepercayaan Religius
Seluruh agama
yang ada di dunia mengajarkan dalam agamannya tentang kasih sayang dan beramal.
Menurut Sarwono faktor agama sangat mempengaruhi seseorang untuk menolong,
sebab ada nilai-nilai keagamaan yang dianut sehingga orang tersebut mau
menolong orang lain.
Menurut
pendapat Choen yang dikutip oleh Nashori, ciri-ciri pelaku Altruisme
adalah adanya sikap empati, yaitu kemampuan untuk merasakan perasaan yang
dialami oleh orang lain. Kemudian terdapat keinginan untuk memberi atau
keinginan untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Adapun pemberian tersebut
sifatnya adalah secara sukarela, yaitu bahwa apa yang diberikan semata-mata
untuk orang lain dan tidak ada keinginan untuk memperoleh imbalan. Adapun
menurut Leads, ciri-ciri dari Altruisme yaitu tindakan tersebut bukan
untuk kepentingan diri sendiri, dilakukan secara sukarela,
dan sama-sama saling menguntungkan baik untuk penolong maupun yang ditolong.
D.
QS. al-Hasyr:
9 dalam Tafsir Ibnu Katsir
Jika diteliti
lebih jauh, sikap altruisme sendiri ternyata telah dijelaskan dalam
al-Qur’an dalam beberapa surah. Namun, tentu kata yang digunakan dalam al-Qur’an bukanlah altruisme. Istilah yang memiliki makna sepadan dengan altruisme versi al-Qur’an
adalah Itsar. Konsep itsar tercermin secara jelas dalam perhatian
tulus seseorang kepada orang-orang yang mendapatkan kesulitan. Terhadap orang-orang yang memerlukan pertolongan, atau orang-orang yang
mendapat musibah, sampai yang teraniaya.[18]
Dalam sebuah kaidah fiqh
dijelaskan, bahwasannya Itsar terdiri dari dua jenis, yakni Itsar dalam
perkara duniawi dan Itsar dalam perkara ibadah. Akan tetapi dari kedua
macam Itsar tersebut, yang diperbolehkan atau yang dianjurkan hanya Itsar
dalam perkara keduniawian. Sementara Itsar dalam perkara ibadah,
Allah sangat membencinya.
الإِيْثَارُفِي الْقُرَبِ مَكْرُوْهٌ، وَ فِي غَيْرِهاَ
مَحْبُوْبٌ
Artinya: “Mendahulukan orang lain dalam
masalah ibadah dibenci, namun dalam masalah lainnya disukai.”
Salah satu contoh Itsar dalam
perkara duniawi, yakni terangkum dalam QS.al-Hasyr: 9 :
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُو
الدَّارَ وَاْلإِيمَنَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَا جَرَ إِلَيْهِمْ وَلاَ
يَجِدُوْنَ فِى صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمّآ أُوْتُوا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى
أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌج وَمَنْ يُوقَ ثُحَّ
نَفْسِهِ, فَأُولَئِكَ هُمْ اْلمُفْلِحُونَ. (9)
Artinya:
“Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati Kota Madinah dan telah
beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang
berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati
mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka
mengutamakan (Muhajirin) atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan.
Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang
yang beruntung”.
Di dalam
tafsir Ibnu Katsir
ini, “Dan orang-orang (Ansar) yang telah
menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin)…”,
dijelaskan bahwasannya mereka yang telah
menempati negeri hijrah sebelum kaum Muhajirin tiba, dan sebagian besar dari
mereka telah beriman. Umar mengatakan, “Aku berwasiat kepada khilafah
sesudahku agar memperhatikan kaum Muhajirin yang pertama, hendaknya hak mereka
tetap diberikan kepada mereka dan kehormatan mereka tetap terpelihara. Aku juga
berwasiat agar orang-orang Ansar diperlakukan dengan baik, yaitu mereka yang
telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum kedatangan mereka
(Muhajirin). Hendaklah orang-orang yang baik dari mereka diterima dan
orang-orang yang berbuat buruk dari mereka dimaafkan”. Inilah yang di
riwayatkan oleh Imam Bukhari.[19]
“…Mereka
mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka…”, artinya termasuk kemuliaan dan kehormatan diri mereka (kaum Anshar) ialah
mereka menyukai orang-orang Muhajirin dan menyantuni mereka dengan harta
bendanya. “…Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap
apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin…”, yakni mereka tidak mempunyai
rasa iri dalam hati mereka terhadap keutamaan yang telah diberikan oleh Allah
kepada kaum Muhajirin berupa kedudukan, kemuliaan, dan prioritas dalam sebutan
dan urutan. Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya,
dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka. Yaitu rasa iri dengki dan
iri hati.
“…Dan mereka
tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada
mereka (Muhajirin…”, Qatadah mengatakan
bahwa makna yang dimaksud ialah terhadap apa yang telah diberikan kepada
saudara-saudara merekah dari kaum Muhajirin. Hal yang sama telah dikatakan juga
oleh Ibnu Zaid.
“…Dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas dirinya sendiri, meskipun mereka
juga memerlukan…” Yang dimaksut
dengan Khasasah ialah keperluan. Yakni mereka lebih mementingkan kebutuhan
orang lain daripada kebutuhan diri mereka sendiri, mereka memulainya dengan
kebutuhan orang lain sebelum diri mereka, padahal mereka sendiri
membutuhkannya. “…Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah
orang-orang yang beruntung”. Yakni barang siapa yang terbatas dari sifat kikir, maka sesungguhnya dia
telah beruntung dan berhasil.
Dari penjabaran tafsir Ibnu Katsir
di atas, poin penting yang dapat terambil terkait Itsar adalah,
bahwasannya kaum Anshar memang mendahulukan kebutuhan kaum Muhajirin atas diri
mereka sendiri. Dimana kebutuhan tersebut bukanlah sebentuk kebutuhan dalam hal
ibadah, melainkan keperluan. Anshar mencukupkan segala keperluan kaum Muhajirin
selama mereka bertempat di antara kaum Anshar. Meskipun pada saat itu, kaum
Anshar sendiri tengah mengalami kekurangan, terlebih dalam hal perekonomian.
Menurut Sayyid Qutb, gambaran terkait QS. al-Hasyr ayat 9 juga merupakan gambaran yang cerah dan jujur, dimana menampakkan ciri-ciri yang menonjol dari kaum Anshar.
Suatu golongan yang memiliki keistimewaan sifat. Seandainya tidak benar-benar
terjadi, maka orang akan mengasumsikannya sebagai mimpi-mimpi yang terlarang
begitu saja, pandangan-pandangan yang menarik, dan perumpamaan-perumpamaan
tinggi yang hanya ada dalam khayalan.
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman
(Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin)…”
Darul Hijrah yaitu Yastrib, Madinah Rosulullah dan telah
ditempati oleh orang-orang Anshar sebelum kaum Muhajirin. Sebagaimana mereka
pun mendiaminya dengan keimanan. Seolah-olah iman itu merupakan rumah dan
tempat tinggal mereka. Ia merupakan ungkapan yang memiliki nuansa tersendiri.
Ungkapan ini merupakan gambaran paling dekat dengan sikap keimanan kaum Anshar.
Iman itu telah menjadi rumah, tempat tinggal, negeri dimana hati mereka hidup
didalamnya, serta ruh-ruh merasa tentram didalamnya. Mereka berlindung
kepadanya, dan merasakan kedamaian
didalamnya sebagaimana orang yang merasa tenang dan damai dengan rumah
mereka sendiri.
“…Mereka
(Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin)…” Sepanjang sejarah mereka belum pernah dikenai kasus sosial dan kemasyarakatan yang terjadi saat kaum
Anshar menerima kaum Muhajirin dengan cinta yang mulia ini dan dengan
kedermawanan yang luar biasa ini. Juga dengan kerjasama yang dipenuhi dengan
keridhaan, dan dengan berlomba-lomba menyediakan penginapan,beban-beban
akomodasi dan konsumsi. Sehingga, diriwayatkan bahwa seorang dari kelompok
dapat ditentukan tempat tinggalnya di rumah-rumah kaum Anshar setelah diadakan
perundingan, karena jumlah kaum Ashar yang ingin menampung kaum Muhajirin lebih
banyak dari jumlah orang-orang Muhajirin.
“…Dan
mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (Muhajirin)…” Mereka tidak merasa iri dengan kaum Muhajirin yang diberikan anugerah keutamaan
dalam beberapa tempat dan kedudukan, dan dalam pembagian harta seperti fai-i
ini. Mereka tidak menemukan perasaan iri atau hasad sedikitpun. Dalam ayat
tersebut Allah tidak menyatakan ayat dengan kata, “Hasad atau tidak pula
kesempitan”, namun dengan kata Hajatan atau yang bermakna kebutuhan, yang mengisyaratkan
betapa sistem pengaturan hati mereka sangat lengkap dan kebebasan yang mutlak
bagi hati mereka dari segala penyakit. Sehingga tidak ada dan tidak mungkin
ditemukan penyakit sedikitpun.
“…Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka
sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan…” Mengutamakan orang lain dalam sesuatu, pada hal
sebenarnya berada dalam kondisi yang sangat membutuhkan merupakan sifat yang
tertinggi dan puncak. Orang-orang Anshar telah mencapai puncak itu dimana
manusia tidak pernah mengenal yang semisal dengan mereka. Demikianlah gambaran
mereka dalam setiap saat dan setiap kondisi dengan gambaran yang laur biasa
dalam ukuran manusia baik pada zaman dahulu maupun zaman sekarang.
“…Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.” Kekikiran ini adalah kekikiran jiwa yang menjadi
penghalang dari segala kebaikan. Karena kebaikan itu adalah pengorbanan.
Maksutnya dalam bentuk harta, kasih sayang, usaha, dan pengorbanan hidup ketika
diperlukan. Karenanya, orang yang dipelihara dari sifat kikir,nberarti dia
telah menhindarkan dirinya dari penghalang dan rintangan yang menghalangi dari
kebaikan. Maka setelah itu dia akan bertolak bebas untuk berkorban, dan
memberi. Inilah kemenangan dalam maknanya yang hakiki.
Pada dasarnya,
baik tafsir Ibnu Katsir maupun Sayyid Qutb adalah sama. Masing-masing juga
menegaskan bahwasannya kaum Anshar, dengan kemuliaan hati yang diberikan oleh
Allah, dengan tulus membantu kaum Muhajirin sampai pada mencukupi segala jenis
kebutuhan kaum Muhajirin, tak terkecuali tempat tinggal. Kekurangan
tidak menjadikan penghambat bagi kaum Anshar mengedepankan sikap saling menolong.
Hal-hal semacam inilah yang mulai tidak ditemukan dimasyarakat modern saat ini.
F.
Konsep Altruisme
dalam QS. al-Hasyr: 9
Dari apa-apa yang telah dipaparkan
di atas, kiranya terang jelas bahwa altrusime dalam Islam memang telah ada
bahkan sejak nabi masih hidup. Sikap-sikap yang dicontohkan kaum Anshar menjadi
pembenar bahwa makna Itsar bisa disejajarkan dengan altruisme,
yakni mendahulukan kepentingan orang lain, di atas kepentingan pribadi.
Menurut pandangan Nurcholis Madjid,
ajaran Islam merupakan basis normatif interaksi sosial untuk adanya keselarasan
dalam berkehidupan yang plural. Altruisme sendiri lahir dari adanya
lakon kemanusiaan yang dipadukan dengan paham plural tersebut. Dimana pemikiran
altruistik tidak dibatasi oleh sekat-sekat primordial seperti suku, ras,
terlebih lagi agama. Dalam QS. al-Hasyr, kita mendapat beberapa poin yang
menaik terkait pemikiran altruisme selain sikap puncak yang dimiliki
oleh kaum Anshar.
Bahwa dari surah tersebut, dijelaskan
ada dua kaum yang berbeda satu dengan yang lain, yang mana menjadi petanda
adanya perbedaan golongan dalam masyarakat. Jadi perbedaan itu adalah sesuatu
yang niscaya keberadaannya. Dan keniscayaan itu turut menjadi pangkal lahirnya
sikap altruisme di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Ini juga
menjadi bukti bahwa konsep altruisme sendiri tidak lahir dari ruang
hampa. Ada sebab-sebab khusus yang melatar belakangi Allah menegaskan konsep
ini dalam salah satu firman-Nya. Tujuannya tidak lain adalah agar umat muslim,
dan umat manusia pada umumnya tidak hidup dalam kepentingannya sendiri,
memiliki rasa berempati dan simpati kepada sesamanya.
G.
Kesimpulan
Altruisme merupakan lawan
dari egoisme. Altruisme juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan
sukarela dalam membantu orang lain tanpa pamrih dan mengharapkan imbalan. Altruisme ini mempunyai tujuan yaitu kesejahteraan, kebahagiaan, dan bahkan juga kelangsungan hidup orang lain.
Menurut Comte, setiap manusia
memiliki tanggung jawab moral kepada sesamanya, untuk saling melayani, atau
dalam memenuhi kebutuhannya.
Salah satu ciri seseorang yang altruistik adalah terdapat pada niatnya yang
tanpa pamrih, dan tidak menginginkan adanya suatu imbalan.
Altruisme juga memiliki ciri-ciri diantaranya, empati,
keinginan untuk memberi, dan suka rela. Ada beberapa motif atau faktor yang
melatarbelakangi sikap seseorang dalam altruisme, diantaranya adalah
sifat-sifat kepribadian yang prososial, gender yang tidak bias dalam
penerapannya, dan juga tingkat religiusitas yang dimiliki oleh seseorang.
Dalam Islam, altruisme
dikenal dengan istilah Itsar, dimana dalam sebuah kaidah menyebutkan Itsar
adalah perilaku yang sangat disukai Allah, kecuali dalam hal ibadah. Menurut
tafsir Ibnu Katsir dan Sayyid Qutb terhadap QS. al-Hasyr ayat 9, menjelaskan
bahwa kaum Anshar rela memberikan apa-apa yang diperlukan oleh kaum muhajirin,
meskipun pada saat yang bersamaan kaum Anshar tengah dilanda serba kekurangan. Ini
adalah bentuk Itsar pada tingkatan yang puncak, atau tertinggi.
Jadi konsep altruisme
dalam Islam sudah ada bahkan sejak
nabi masih hidup, ditandai dengan turunnya QS. al-Hasyr ayat 9. Konsepan ini
sejak awalnya memang bukan berasal dari ruang hampa, ia lahir dari sikap hidup
masyarakat yang kental dengan pluralitasnya, kental dengan segala perbedaan
yang mengiringinya.
Daftar Rujukan
Agresi_dan_Altruisme.pdf
Al-Qur’an
Sebagai Petunjuk Bagi Kehidupan Manusia, al-Qur’an.pdf
Hadori, Muhammad. 2014. Perilaku Prososial,
Telaah Konseptual Tentang
Altruisme Perspektif Psikologi. Situbondo:
Jurnal Lisan al-Hal IAI
Ibrahimy
Humaedi, M. Ali. 2014. Kegagalan Akulturasi
Budaya dan Isu Agama dalam
Konflik Lampung, The Failure
Cultural of Acculturation and Religious
Issues In the Conflict of Lampung. Semarang:
Analisa, Jurnal Pengkajian
Masalah Sosial dan Keagamaan
Janah, Miftahul. 2016. Konsep Altruisme Dalam Prspektif Al-Quran Kajian
Integratif Antara Islam
dan Psikologis. Malang, Tesis
UIN Maulana Malik
Ibrahim.
Lihat
http://etheses.uin-malang.ac.id/5595/1/14750007.pdf
Khairil, 2014. Analisis Faktorial Dimensi Altruisme pada Relawan Bencana
Alam. Malang: Skripsi Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim
Syukur, Amin. 2012. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Sutomo,Imam. 2008. Altruisme dalam
Kehidupan Masyarakat Plural, Studi
Pemikiran Moral Nurcholis Madjid. Yogyakarta:
Desertasi UIN Sunan
Kalijaga
Prasetyo, Novian Fajar. 2014. Altruisme dalam Perspektif Islam Pada Karyawan
Perpustakaan “X”. Surakarta: Naskah Publikasi Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Lihat eprints.ums.ac.id>2_Naskah_Publikasi
Rudi Abu Zaka, Tafsir
Ibnu Katsir (Tafsir Surat Al-Hasyr ayat 9).co.id
Qutb, Sayyid Tafsir
Fi Zhilalil-Qur’an XI Juz XXVIII (Surah al-Hasyr:9)
Lihat al-hasyr-indon.pdf
http://kbbi.web.id/individualisme
[3] Imam
Sutomo, Altruisme dalam Kehidupan Masyarakat Plural, Studi Pemikiran Moral
Nurcholis Madjid, (Yogyakarta: Desertasi UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm.1
[4] M. Ali Humaedi, Kegagalan Akulturasi Budaya
dan Isu Agama dalam Konflik Lampung, The Failure Cultural of Acculturation and
Religious Issues In the Conflict of Lampung, (Semarang: Analisa, Jurnal
Pengkajian Masalah Sosial dan Keagamaan, 2014), Vol. 20, No.02, hlm. 151
[5]Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Individualisme adalah sebuah paham yang menganggap manusia
secara pribadi perlu diperhatikan (kesanggupan, dan kebutuhan masing-masing
tidak boleh disama ratakan. Disamping itu paham ini juga menghendaki kebebasan
bagi setiap orang, dan mementingkan hak perseorangan disamping kepentingan
masyarakat dan negara, bahkan menganggap hak pribadi lebih penting daripada
orang lain. Lihat kbbi.web.id/individualisme. Jika pola-pola dalam paham
individualisme diterapkan, maka bisa dipastikan kontak atau hubungan sosial
seorang individu dengan individu yang lain menjadi terhambat. Bahkan seorang
individu dapat kehilangan orientasi dalam kehidupan bermasyarakat, seperti
kehilangan rasa solidaritas antar sesama, merasa terasing, dan kesulitan
bersosialisasi.
[6] Muhammad Hadori, Perilaku Prososial,
Telaah Konseptual Tentang Altruisme Perspektif Psikologi, (Situbondo:
Jurnal Lisan al-Hal IAI Ibrahimy, 2014), Vol.6, No.1, hlm. 9
[7] Novian Fajar Prasetyo, Altruisme dalam Perspektif Islam Pada Karyawan
Perpustakaan “X”, (Surakarta: Naskah Publikasi Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014), hlm.1 Lihat eprints.ums.ac.id>2_Naskah_Publikasi
[8] Khairil, Analisis Faktorial Dimensi Altruisme pada Relawan Bencana Alam,
(Malang: Skripsi Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim, 2014), hlm.
14 Lihat http://etheses.uin-malang.ac.id/1637
[11] Empati yaitu sebuah rasa atau keadaan mental
yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan,
perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain. Berempati berarti keadaan
dimana seseorang dapat atau mampu memahami keadaan orang lain. Diakses melalui http://kbbi.web.id/Empati
[12] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Destruktif adalah sebuah sifat yang
merusak, menghancurkan, dan memusnahkan, lihat http://kbbi.web.id/destruktif.
Dalam Sosiologi, destruktif mengandung pengertian suatu kondisi atau konflik
yang menimbulkan efek negatif kepada seseorang, baik individu, kelompok,
lembaga, maupun lapisan sosial dalam masyarakat lainnya. Lihat http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-destruktif-dan-konstruktif/
Sementara yang dimaksud dengan perilaku destruktif berarti perilaku yang tidak
cocok untuk dilakukan, bisa jadi perilaku tersebut melanggar norma, atau adat
kebiasaan suatu masyarakat. Bisa juga diartikan bahwa perilaku destruktif
adalah suatu bentuk perilaku yang menyimpang dan tidak terintegrasi secara umum
dalam pola perilaku masyarakat.
[13] Imam Sutomo, Altruisme dalam Kehidupan
Masyarakat Plural, Studi Pemikiran Moral Nurcholis Madjid, (Yogyakarta:
Desertasi UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm.4
[15] Miftahul Janah, Konsep Altruisme Dalam Prspektif Al-Quran Kajian
Integratif Antara Islam dan Psikologis, (Malang, Tesis UIN Maulana Malik
Ibrahim, 2016), hlm. 23 lihat
http://etheses.uin-malang.ac.id/5595/1/14750007.pdf
[17] Emosi dalam Psikologi sering diartikan sebagai suatu bentuk perasaan yang
sifatnya lebih intens. Suatu gabungan dari kondisi biologis, psikologis,
fisiologis, dan serangkaian bentuk kecenderungan untuk melakukan suatu
tindakan. Ketika seseorang emosi, perubahan jasmaniah lebih jelas ketika
ditampilkan, daripada perasaan. Ada beberapa fungsi emosi pada diri seseorang. Pertama,
emosi dapat membangkitkan dan memobilisasi energi. Kedua, emosi dapat menjadi
sarana pembawa informasi kepada diri seseorang untuk dapat memahami keadaan
yang dialaminya. Ketiga, emosi berperan dalam membawa pesan dalam
komunikasi interpersonal, dimana biasanya orang yang berbicara akan menyertakan
segenap emosinya untuk meyakinkan pendengar atas apa yang ia ucapkan. Keempat,
emosi yang dirawat, dikelola, dan disalurkan dengan baik akan membuat
seseorang dapat menjalankan roda kehidupannya dengan pertahanan diri yang baik
pula. Pengelolaan emosi yang baik akan jatuh pada emosi-emosi yang sifatnya
positif. Jadi yang dimaksud dengan emosi positif adalah emosi-emosi yang
membawa perasaan yang menguntungkan bagi diri seseorang. Bisa diambil contoh,
misalkan emosi atas perasaan bahagia, senang, ceria, bersemangat, damai, penuh
rasa syukur, dan lain sebagainya. Lihat http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/aprilia-tina-lidyasari-mpd/emosi-dan-perasaan.pdf
[20] Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an XI
Juz XXVIII (Surah al-Hasyr:9), hlm.214. Lihat al-hasyr-indon.pdf
0 Comments