Kau merah dan hitam seperti merica memangkas
cabai
Pada musim semi yang pandai pura-pura rela
dihujani cinta
Kau lunak, mengeras, menegang, mendentum
Lalu kau bergolak mengemis-ngemis kemapanan
Pada suatu denyut, tak terarah, tak teratur
Kita hitam putih seperti layar empat belas inci
Kau biasa memakai layar itu untuk mengaca
Berat tubuhmu bertambah, pipimu lumer seperti
coklat, leleh
Kau memangkas bulu-bulu… kau menyuburkannya
Kau menunggangi sekepal singkong… kau
melemparkannya
Ingat? Kau ajak karapan lain mogok
sampai sudah payah
Sama-sama berbaring mengolah rasa tak sampai
hati melebur
Mereka menunggumu mencairkan batu di mahsyar
Sebab sekepal singkongmu mendadak hantaman,
memporak-porandakan
Seisi rumah, sisa-sisa kue semalam, tak bersisa
Kau menguning, meliuk-liuk diterpa angin
Jantungmu dan hatiku memagut keterasingan
Diantara belenggu kata kau menoleh pada siang
yang menawarkan kebingungan
Lalu ditenggelamkan malam saat orang orang
berbagi kemesuman pada ketidakadilan
Kau menguning, diterkum peluh resah keriuhan
zaman dalam mimpi-mimpi anak SD yang menginginkan kemantin di pagi hari
Sudut yang disebut mulut penyair menumpahkan
kata demi kata
Menyusun rangkaian kenyinyiran di gubuk yang
dipakai petani waktu membasuh keringat kedzaliman korporasi
Sedang kau bermain-main sepeda tua di gunung
berapi tepi pantai
Anak-anak mengutuk keringat petani dengan tipuan
gambar yang diberikan guru
Di pagi hari sebelum berita korupsi disiarkan
oleh layar kaca tak bernyawa
Kau menyerupa kemewahan
Menyongsong air liur anak-anak dalam peluk sang
ibu
Kala ayah dan anak menangisi cinta ibu yang
digerus waktu
Kau melukis iba pada kedurjanaan… mengambil
sembilu yang ditawan para pemegang kuasa di simpang jalan keterpihakan
Lalu kau berhenti mengeja
Menjadi pencerita sebagai sudut orang kedua di
kehampaan peran menjadi manusia.
1 Comments
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete