Sesosok Kartini mengajariku banyak hal
tentang perempuan, sastra, dan cinta. Lewat surat-suratnya, aku menjadi tahu
lebih banyak bagaimana posisi perempuan di masa ia kecil, remaja, sampai ia
dewasa, menikah lalu kembali kepada Tuhan. Kartini yang kukenal lewat Pramoedya
Ananta Toer sangat lihai berbahasa Belanda. Itu menandakan bahwa ia adalah
pembelajar yang giat dan tekun. Banyak orang bahkan sampai di masaku berdiri,
mengaguminya sebagai seorang ibu yang mulia, seorang perempuan yang pemberani,
tangguh, dan pantang menyerah.
Aku belajar banyak dari seorang Kartini yang
tidak mau dipanggil Raden Ayu karena menganggap julukan itu memberi sekat
antara ia dengan masyarakat pribumi yang lain. Bahwa ia adalah seorang anak
bupati, ia tidak mengingkarinya. Tapi ia tidak ingin karena jabatan sang ayah,
ia menjadi punya batas dengan orang yang tidak segolongan dengannya.
Pada dasarnya Kartini tidak ingin
membanding-bandingkan dan membeda-bedakan dirinya dengan yang lain. Islam
mengajarkan kepadanya bahwa semua manusia di kata sama di hadapan Tuhan. Dari seorang
Kartini aku menjelma menjadi gadis budiman yang taat beragama, pantang
menyerah, dan berani bermimpi setinggi-tingginya, karena ‘ingin seperti
Kartini’.
Tapi tidak sesederhana itu. Aku mengenal
Kartini, latar belakang kehidupannya yang keras, serta perjuangannya
memerdekakan pikiran kaum perempuan, baru ketika masuk bangku kuliah.
Sebelumnya aku adalah siswi sekolah yang dungu, jarang membaca, tidak tahu
dunia luar dan cenderung abai, asik dengan duniaku sendiri karena merasa sudah
sangat nyaman menjalani sebuah kehidupan yang berkecukupan, tanpa ada
kegelisahan sedikitpun.
***
Berbekal ilmu agama dasar yang aku dapat
secara cuma-cuma semasa kecil hingga tamat Tsanawiyah, aku melanjutkan sekolah
di Madrasah Aliyah yang cukup tersohor namanya se-kabupaten tempatku tinggal.
Tiga tahun aku berkecimpung dengan dunia baru yang lebih menggairahkan dan
menantang. Jarak yang jauh dengan orangtua membuatku lebih leluasa mencuri
waktu untuk bermain dan meninggalkan kewajiban. Sampai akhirnya aku tergagap
ketika mendapati diri yang melewati batas.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanyaku
berulang kali ketika aku kebingungan karena tidak siap menghadapi ujian
selanjutnya –setelah dari Aliyah– yakni masyarakat. Orangtuaku masih percaya
bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya ia
akan kembali ke rumah dan mengurus keluarga. Ini sangat bertentangan dengan
keinginanku, cita-cita dan mimpi yang selama ini kubangun sangat tinggi.
Lalu kuputuskan untuk meminta saran kepada
beberapa kawan, kakak tingkat yang sudah lebih dulu mengabdikan diri menjadi
akademisi, sampai guru-guru. Jawaban yang kudapati 89% adalah sama persis
dengan keinginanku, kuliah. Sementara sisanya memintaku menuruti keinginan
orangtua karena takut dianggap durhaka dan lain sebagainya. Rasa takut kemudian
menjangkitiku bahkan saat aku belum mengatur waktu bicara dengan kedua
orangtuaku. Akhirnya kusiasati untuk mendaftar terlebih dahulu di kampus yang
kucita-citakan dapat kutempati.
Sebulan kemudian aku dinyatakan diterima di
UIN Sunan Ampel Surabaya. Namun dengan alasan tidak ada biaya, jarak yang
sangat jauh dan tidak tega, akhirnya dengan berbagai cara mereka menegaskan
tidak mengizinkanku melakukan heregistrasi. Namun dengan bujukan kepala sekolah
Tsanawiyah, akhirnya orangtua mengizinkan anak terakhirnya ini untuk berkuliah.
Bukan di tempat yang ia inginkan, tapi di tempat yang ia akan butuhkan, IAIN
Tulungagung.
***
Aku tidak tahu mengapa pada akhirnya
pilihanku jatuh pada jurusan yang sama sekali tidak pernah kubayangkan
sebelumnya. Dari sekian banyak jurusan yang tersedia, akhirnya kupilih Tafsir
Hadits, yang kemudian berganti menjadi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, tepatnya di
Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah. “Apa itu?” aku juga tidak tahu.
Dari dua pilihan yang ditawarkan orangtua dan kepala sekolahku, yakni PGMI dan
PAI, aku justru memilih IAT. Aku sampai tidak habis pikir dengan kehendakku
sendiri. Mungkin ini adalah salah satu bentuk protesku kepada mereka karena
tidak mengijinkanku memilih sendiri kampus yang akan kutempati.
Namun akhirnya aku memilih jurusan yang
olehku sendiri kukata asing itu. Aku tidak tahu akan menjadi apa aku dan aku
tidak berpikir lagi apa yang mampu kudapatkan dari jurusan asing itu. Yaa, aku
bisa mengatakan bahwa aku sedang tersesat. “apa kemudian aku akan selamanya
tersesat? Empat tahun tersesat? Bukankah berarti aku hanya akan buang-buang
waktu saja?”
Sebulan kulewati, dua bulan, kemudian satu
semester. Tinggal di asrama putri IAIN Tulungagung, membuatku harus beradaptasi
dengan rutinitas yang sama sekali baru. Aku menjadi seperti orang lain, dan
tidak menemukan kebebasanku sebagaimana saat aku di Aliyah. Tentang jurusan
yang kupilih, aku menjadi semakin terpuruk karena tidak tahu apapun tentang apa
itu nahwu, sharf, kaidah-kaidah tafsir, balaghah, dan lain sebagainya. Padahal
bagi rekan-rekan baruku, mata kuliah itu tinggal perulangan, karena mereka telah
mendapatkannya ketika di pondok.
Baiklah, sampai disini aku kembali berpikir
bahwa aku salah, aku benar-benar tersesat dan yakin tidak akan bisa bertahan
lama dengan keadaan seperti ini. Aku menjadi sangat inferior atau tidak percaya
diri, aku takut mengungkapkan gagasanku karena berpikir orang-orang yang tengah
kuhadapi akan mencercaku karena ketidaktahuan dan ketidakpahamanku atas tafsir,
dan lain sebagainya. Intinya aku takut menghadapi mereka, dan aku tidka bisa
menghalau diriku sendiri, atau sekedar memotivasi untuk bertahan dan belajar
lebih tekun.
Tapi aku masih percaya bahwa Tuhan telah
menitipkan sebuah rasa yang teramat dahsyat pada setiap hati manusia. Rasa yang
tak mampu dimaknai sama antara satu manusia dengan manusia yang lain. sebuah
rasa yang hadir dengan berjuta polemik di dalamnya, atau aku lebih sering
menyebutnya nano-nano. Rasa ini riuh ramai oleh segenap emosi.
Kadang kau akan marah, kadang kau akan merasa
gelisah, senang, sedih yang tiba-tiba, rindu, kesal, dongkol, dan bahagia. Orang-orang
secara umum menyebutnya dengan cinta. Yaa, rasa nano-nano yang kumaksud adalah
cinta. Aku menemukan cintaku justru di batas tepi jurang antara Nirwana dan
ketiadaan. Aku tidak tahu apakah pilihan yang kuambil ini bernilai benar atau
salah, aku bahkan tidak peduli.
Cinta itu semakin kuyakini keberadaannya
karena Kartini. Ia tiba-tiba mengendus keberadaanku di kampus yang letaknya
pelosok, namun akan besar suatu saat nanti. Ia mengajarkan arti penting
hadirnya cinta bahkan meski dalam diri tengah berkecamuk amarah dan kekecewaan.
Kartini adalah salah satu perempuan yang berhasil meramu cinta dengan racikan
yang pas. Kisah yang kutulis bahkan tidak sebanding dengan perjuangan Kartini
dalam mengentaskan kebodohan pada masyarakat pribumi.
Kartini kecil hanya mampu mengenyam
pendidikan sampai usia 12 tahun, baru setelah itu ia harus menjalani masa
pingitan. Oleh sang ayah, ia tidak diijinkan melanjutkan pendidikannya, padahal
sang ayah tahu kemampuan dan kecerdasan Kartini. Tapi karena tradisi tidak menghendaki
demikian, Kartini terpaksa membenamkan mimpi-mimpi besarnya. Lewat surat-surat
yang ia kirim kepada sahabatnya Stella, aku tahu betapa tersiksanya membungkam
diri, mengubur mimpi. Dan yang terpenting adalah, ia tidak pernah menanamkan
rasa benci dan marah yang benar-benar marah kepada sang ayah. Kenapa? Karena
Kartini mencintai ayahnya. Ia menghormati orang itu karena bagaimanapun ia
adalah ayah yang berperan penting dalam kehidupan Kartini.
Ternyata aku lebih beruntung dari Kartini.
Orangtuaku lebih terbuka, dan masih memberikanku izin untuk mengenyam
pendidikan setinggi-tingginya. Hingga akhirnya aku sadar, aku menemukan cinta
itu disini. Dimana sebuah harapan harus diyakinkan kepada diri dan kepada
orang-orang yang dikasihi. Cinta tidak akan berkembang dalam kemapanan, tidak
pula dapat berkembang dalam kedurjanaan. Cinta itu seperti makhluk hidup, ia
butuh makan dan minum serta perawatan.
Aku menemukan nano-nanoku disini, justru di
tempat yang sangat asing dan benar-benar baru. Yaa, seperti nano-nano yang riuh
ramai rasanya. Bimbang, takut, marah, kecewa, senang, sedih, dan
kawan-kawannya. Jurusan ini adalah tepian Nirwana bagiku, ia dapat
mengantarkanku ke pusat Nirwana, tapi jika aku lengah, ia bisa saja
membenamkanku, membuangku ke dasar yang gelap dan penuh keputus-asaan.
0 Comments