November Rain menjadi lagu yang amat menyayat jika diingat. Lagu itu hadir menenggelamkan diri pada kenangan yang enggan pergi lamat-lamat dari ingatan. Seperti judul lagu itu, aku mengenangnya tepat di bulan November. Satu November dan ia lahir di bulan yang riuh dengan kemelut rindu pada hujan.
Aku
dan cinta pada mulanya memang hanya tetangga tak saling sapa. Jarak yang kami
punya tak lebih jauh dari dua depa. Para sastrawan mengagung-agungkan
cinta seperti sesuatu yang datang dari suarga Tuhan, satu-satunya. Cinta mampu
memberi mereka makan, kelembutan, rumah, dan segala apa yang tidak mampu mereka
beli. Tapi kemudian oleh
sebangsaku, cinta jadi semacam bumbu racik yang gampang ditambahkan ke menu apa
saja, sesuai selera -dan semua menyukainya.
Hingga
akhirnya pertengahan bulan, hujan datang dan mencumbu November dengan kecut.
Dendam rindunya tidak utuh, candunya mengambang jadi serbuk-serbuk pipih,
menyebar diterpa angin, lalu hilang. Broker-broker muda menangkap serpih-serpih
itu dan mengolahnya sedemikian rupa. Mereka tak segan-segan
mengkapitalisasinya. Hingga racikan baru yang mereka produksi, beredar di
kalanganku, sebangsaku. Cinta yang sampai kepada kami adalah cinta yang instan,
melenakan, membuat kami ketagihan sekaligus mati perlahan.
Apa
yang kami rasakan -yang aku rasakan lebih tepatnya- menjadi sia-sia. Cinta
tidak lagi mampu memberi kami makan, Kedatangannya banyak menyisa gangguan
pencernaan, susah makan, gila, dan tentunya kematian. Cinta tak lagi sedalam
para penyair memuitisasinya, tak seagung kala ia masih dalam pangkuan nirwana.
Cinta yang sampai di bulan November lalu adalah makanan siap siap saji dengan
kadar kuasa lebih dari 80%, dengan tambahan awu-awu sebanyak 10%, sedang 8%nya
adalah pemanis, dan kasih sayang tingga sisanya yakni 2%.
Jika
kami terus mengonsumsi cinta produksi para broker muda itu, sudah pasti
hidupku, sebangsaku, tak akan jauh lebih baik dari kaum-kaum sebelum kami
terlahir di bumi Tuhan ini.
"Kau
tahu apa yang membuatku tak bisa tidur tiap malam?"
"Bukan
karna kafein, jelasnya."
"Lantas
apa?"
"Aku
terlalu takut bermimpi tidak mendapatkan cinta yang utuh selama hidup."
"Careen...
keutuhan itu tidak ada, meski selalu terkonstruk di pikiran kita."
"Lantas,
apa yang bisa kita lakukan agar ketakutan itu sirna?"
"Hanya
satu... Jangan takut kehilangan cinta. Ingat saja bahwa cinta yang ada sudah
terkontaminasi banyak racun. Jika kau kehilangan satu cinta, percayalah tidak
ada cinta yang lebih pantas selain cintamu sendiri, untukmu sendiri, milikmu
sendiri...!"
November
Rain telah
berlalu, beberapa bulan yang lalu. Tapi hujan dan kenangan yang dibawanya
dengan penuh kemelut belum juga berakhir. Ia menjadi tanda bahwa produksi cinta
yang dikembangbiakkan oleh kapitalisme berbuah ranum, subur oleh guyuran hujan
itu.
Jika
Careen mau menyerap isi pesan-pesan dari curahan ini, ia pasti akan tahu dan
menyadari bahwa cinta bukanlah hal yang utuh. Ia bukan sebuah pelengkap, dan
bukan keagungan yang mampu mengantarkan sebangsanya ke suarga Tuhan. Jadi
jangan pernah takut lagi kehilangan cinta, ia bisa nyata, tapi lebih banyak
mengerupsi perasaan dengan abiguitas dan fatamorgana. []
0 Comments