Kemelut intoleransi masih
menjadi penganan yang renyah. Tidak hanya di kalangan akademisi, tapi juga di
kalangan masyarakat umum yang ingin ikut berkontribusi merawat akalnya. Seperti
yang sering dikatakan oleh para suhu, kita ini tinggal di dalam golongan
orang-orang yang sulit mengakui bahwa Indonesia adalah negara dengan tingkat
intoleransi yang membabi buta, alias tinggi.
Narasi-narasi timpang yang
terjadi dalam berbagai kasus keagamaan menambah daftar panjang adanya kemelut intoleransi
di Indonesia. Saya sering heran saja, kenapa di antara kita masih ada yang malu
atau enggan mengakui bahwa kita ini sedang devisit rasa persatuan, devisit rasa
saling memiliki, dan devisit kemanusiaan, sehingga yang ada hanya sikap saling
mengancam, merepresi, bahkan mempersekusi pihak-pihak yang kita anggap
bersalah.
Kasus-kasus intoleransi memang
tidak sekedar pada perkara keagamaan. Banyak kasus seperti intoleransi pada
suku, ras, adat atau kebiasaan tertentu sering terjadi di Indonesia dalam kadar
yang relatif tinggi. Kasus-kasus ini
meminang Indonesia menjadi negara yang tanpa kasta tapi berkasta, menjadikan
Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi bhineka tapi berbasis agama, dan
negara yang menghormati HAM, tapi sering mengabaikan HAM, ambigu.
Hal ini menandakan bahwa negara
kita yang bhineka ini memang terlalu banyak sampah. Sampah-sampah itu bisa
terdiri dari para broker, para koruptor, para maniak pemecah belah, para
fanatikan, dan tukang-tukang bodoh yang buta, tuli, dan bisu. Kebanyakan
tukang-tukang di Indonesia memang buta, karena tidak mau melihat adanya
ketertindasan di depan mata kepalanya sendiri. mereka juga tuli karena enggan
mendengarkan persaksian-persaksian para korban yang justru dikorbankan. Mereka bisu
karena enggan mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya mereka ketahui.
Bahkan ketika diminta menjadi
saksi, mereka menyembunyikan diri di ruang ber-AC dengan pundi-pundi suap tanpa
rupa. Tidak sedikit yang memilih lari ke luar negeri untuk membebaskan diri
dari suatu perkara atau jeratan hukum. Mungkin mereka lupa bahwa bangkai akan
tetap menjadi bangkai, meski habis parfum seliter, bau busuknya tidak akan
hilang setelahnya.
Aneh saja melihat negara yang
dikata kaya ini. Di daerah-daerah terpencil masih ditemukan banyak penduduk
kelaparan, berpenyakitan, tidak bisa cari makan, tidak mendapat jatah
pendidikan dan kesehatan. Hal yang sangat klasik tapi tidak pernah
terselesaikan. Mungkin di dalam rumusan bapak-bapak dan ibu-ibu di pusat ada
yang salah, sehingga bantuan tidak pernah tepat sasaran. Kemungkinan lain
adalah memang mereka diputuskontakkan dari pedalaman, sehingga masalah yang
dianggap krusial hanya soal pembangunan.
Jika pembangunan yang dimaksudkan
adalah bukan hanya pembangunan infastruktur, bisa dimengerti. Seperti halnya
pembangunan di sektor ekonomi, pembangunan pendidikan, pembangunan di sektor maritim,
dan lain sebagainya. Sehingga yang demikian memiliki dampak yang signifikan dan
jelas terhadap perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Tapi itupun hanya
sebuah omongan, yang terlalu sulit untuk direalisasikan.
Buktinya adalah, orang-orang di
sana (tunjuk mereka yang duduk di kursi MD3) masih sibuk mengurusi kekebalan
diri masing-masing. Imunnya sendiri diperhatikan sementara imunnya masyarakat
yang anak-anaknya terkena gizi buruk, diabaikan. Mereka sibuk mencari alat
pengaman untuk bisa main-main sesukanya. Mencari perlindungan dari jerat hukum,
sementara membuat yang lain (tunjuk Pers dan masyarakat umum) gampang kena
perkara hukum.
Ambiguitas yang dipupuk terus
menerus memang akan membuat sikap-sikap anti-kritik tumbuh subur. Tidak perlu
jauh-jauh ke mereka yang menjabat di MD3, mereka yang memiliki jabatan di
tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi pun juga akan bertindak demikian
jika undang-undang yang berlaku di atasnya bebas di otak-atik sesuka kucing
lompat.
Jika diibaratkan, negara ini
nampak seperti permainan monopoli (ular tangga) tapi dengan satu ular di setiap
kotaknya, sehingga para pemain, secerdas apapun tidak akan pernah sampai ke
akhir permainan –tahap yang diharapkan dapat menyejahterakan seluruh rakyat
Indonesia. Tahapan terakhir itu laiknya bunga mimpi yang sulit digapai di dunia
nyata. Tahapan yang hanya akan jadi mimpi besar para pemain judi nasib, yang
mengundi nasib lewat anak panah, atau juga lewat permainan monopoli itu
sendiri.
Nasib kita sebagai manusia
generasi penerus yang sudah tidak mengenal perjuangan era kolonial, hanya
menunggu keruntuhan benar-benar terjadi, sehingga negara ini dapat dibangun
lagi dari pondasi dasar. Bukan memperbaiki dan terus memperbaiki kesalahan,
sistem, dan segala yang sudah ada. Bukankah kita sudah tahu bahwa apa-apa yang
saat ini tengah kita gunakan juga merupakan warisan kolonial? Jika kita masih
sadar dan Ingat, maka beruntunglah kita, namun jika tidak, maka kita
benar-benar diputuskan sepihak oleh tukang-tukang yang tidak menghendaki buta,
tuli, dan bisu.
Nasib kita memang sarat dengan
penggadaian, digadaikan oleh pihak-pihak sampah yang terus-menerus minta
diuntungkan, sementara tidak sudi melihat kita yang compang-camping, bingung
mencari ladang untuk hidup atau sekedar cari makan. Jika sudah demikian,
sikap-sikap intoleransi akan dengan mudah merembet kepada hal-hal yang
sederhana, utamanya di kalangan masyarakat kelas bawah. Betapa tidak, jika
mengambil contoh mereka yang bertindak sewenang-wenang atas dasar melanjutkan
kehidupannya dengan tidak memerhatikan kemaslahatan orang lain, tapi justru
mengancam keberadaan manusia lain di sekitarnya, apakah itu bukan suatu hal
yang dapat berlanjut menjadi sikap-sikap intoleran?
Ini memang hanya narasi-narasi kecut tak
berkesudahan tentang nasib-nasib kita, yang segera akan menjadi dewasa sebagai
warga negara Indonesia. Memersoalkan banyak hal tapi tak bisa berbuat apa-apa. Hanya
bisa mengelus dada dan tersenyum kecut atas segala kebijakan para wakil rakyat
yang semena-mena, memutus apa-apa yang bukan berasal dari aspirasi kita, si
rakyat.
0 Comments