Perempuanku,
Demi semesta
yang kini tengah menyembunyikan makna aksara
Tahukah kau
dimana letak kemunduran kaummu?
Sejak kau
memutuskan untuk membenamkan diri di pengasingan
Tahukah kau
bagaimana keterasingan itu terlukiskan?
Sejak kau
menyetujui kesepakatan yang nihil itu
Tahukah kau
mengapa ketidakadilan menimpa kaummu?
Perempuanku,
Sudahkah kini
kau bangun?
Mengikatkan
secarik kain di pinggangmu
Mengayunkan
kaki menuju sumber kehidupan yang baru
Kemudian
menyelaraskan akal dan perut dengan racikan bumbu dan kemelut
Atau kau masih
mendengungkan dengkurmu yang manja?
Atau kau
sedang bersembunyi di bilik pengap yang teranggap aman bagimu?
Perempuanku
yang lugu,
Merdekalah
dengan sigap dan tanggap
Tiada rindukah
kau dengan kekuatan kaummu?
Sudahkah kau
menyegerakan menuju pasar tempatmu bertahan dan melawan?
Tiadakah kau
rasai sakitnya terinjak dan terabai?
Sudahkah kau
menyadari keterbelakangan kaummu oleh saku, sepatu, dan baju?
Atau kau tiada
lagi pernah sudi peduli pada kaummu yang lalai itu?
Hai
perempuanku,
Bangunlah,
biarkan lahir dari rahimmu perempuan-perempuan yang baru
Biar berhenti
ketertinggalan dan keterasingan mereka
Sadarlah, biar
usai ketertindasan yang kau dan mereka alami
Biarkan kini
hanya kau yang menyepahkan rindu
Membungkus
kenangan kita yang telang usang
Membenamkan
manisnya senyum yang membawa segenggam duka lara.
Dan untukmu
perempuanku,
Lahirkan dari
rahimmu generasi nona perindu
Yang setiap
detik merinduiku dengan sigap dan tanggap
Yang tak lelah
berjuang untuk kaum-kaummu yang lain
Yang akan
menyumpal deritamu dengan kemenangan dan kebahagiaan
Setelah itu
kau akan tenang dengan segenap rindu yang tersimpan
Sebagai
pengganti generasi nona-nona perindu yang kau selamatkan.
Sudah terbit di buku antologi puisi Dongeng Rukmini 2017
Sudah terbit di buku antologi puisi Dongeng Rukmini 2017
0 Comments