“Aroma
itu yang akan membuatmu melayang. Menikmati setiap jengkal keindahan yang telah
Tuhan ciptakan. Aroma itulah candu, yang ingin membuatmu selalu mencumbu. Yaa,
aroma itulah yang akan senantiasa membuatmu merindu.”
Bermanis-manis dengan semburat sinar mentari di
sepanjang pagi adalah hal yang tidak akan pernah terlewatkan. Hembus dingin
sang bayu yang coba merasuk ke dalam sendi dan ruas-ruas tulang pun, terasa
lembut melewati celah pori-pori kulitku yang mulai mengering. Pagi itu begitu
tenang dan ranum, dengan langit yang nampak biru meruyun, dan sepuhan bias
warna kuning yang terang. Seakan Tuhan ingin para makhluknya menyimpulkan bibir
sembari mengucap syukur atas nikmat yang telah dikaruniakan-Nya.
Keelokan pagi itu terasa semakin lengkap dengan
siulan para pipit yang berlarian di atas atap rumah. Mereka seakan berlomba
menyanyikan lagu terbaik yang mereka miliki. Wewangian yang berasal dari rimbun
melati juga telah berhasil menghipnotisku, hingga tanpa sadar mengurai senyum.
Namun waktu seakan tak ingin berlama-lama membiarkanku berkencan dengan sang
pagi. Ia mungkin ingin aku segera bergegas menuju dapur dan menyeduh secangkir
kopi, seperti pagi-pagi sebelumnya.
Aku pun segera bergegas menuju dapur demi
membuat secangkir kecil kopi ijo khas Tulungagung. Tak berjarak lama,
penantianku untuk menyeduh kopi itu pun berakhir. Dengan segera aku menuju ke
teras depan rumah sembari membawa makanan ringan, buku, dan tentunya secangkir
kopi buatanku. Kuseduh sedikit demi sedikit dan kunikmati aroma khas yang mulai
membuatku bergairah untuk menantang takdir yang ada di depanku. Lalu tiba-tiba
aku terduduk diam, kupandangi lekat-lekat cangkir berisi air pekat itu, dan aku
pun teringat pada masa awal, ketika pertama kali aku mencintai minuman bernama
kopi. Aku bertanya dalam hati, “bagaimana bisa kau membuatku menjadi seorang
pecandu? Apa yang telah kau lakukan hingga aku mampu mencintaimu, dengan segala
kepekatanmu?”.
Mungkin aku gila, di tengah modernitas zaman
yang juga telah banyak mempengaruhi sistem perekonomian di Tulungagung,
seharusnya juga mampu mempengaruhiku untuk menyukai minuman lain yang lebih
eksis daripada secangkir kopi. Akan tetapi entah mengapa, jiwaku seakan hambar
tanpa adanya sajian aroma kopi dalam setiap pagi yang kujalani. Semua seakan
sia-sia jika tidak kuawali dengan menyeruput sedikit cairan pekat itu.
“aku
menyangsikan keberadaanku disini, ketika aku tidak menemukan apa yang tengah
kucari. Sedang kepekatan terus saja menenggelamkanku dalam candu aroma, yang
tak pernah mampu kurasa secara seksama.”
Denting jam dinding yang terus menerus berputar
tanpa ada hasrat untuk berhenti, tidak menghalangi agenda rutinku yakni
berkencan dengan secangkir kopi. Sembari membaca buku terbitan Mizan karya
Ahmad Syafii Maarif berjudul Islam
dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan, tak terasa sudah
setengah cangkir kosong karena ulahku. Tentu aku tidak menyesal, karena bagiku
cinta yang tumbuh dalam cangkir-cangkir kopi itu akan terus terisi bahkan meski
aku mati. Sembari membolak balik buku dengan ketebalan 405 halaman itu, aku
kembali menyeruput kopiku yang mulai dingin. Kurasakan benar-benar campuran
antara kopi dan gula dengan mata yang perlahan menutup. Seketika aku teringat
saat pertama kali mencicipi rasa pahit kopi yang kudapatkan dari cangkir mungil
almarhum nenek, 10 tahun yang lalu.
Tanpa berpikir panjang, aku pun mencoba kopi
buatan nenek. Dan pada saat itu juga, aku menaruh hati pada serbuk kopi olahan
nenek. Dalam racikan itu, aku bisa merasakan betapa Tuhan yang Maha Agung
sangat sempurna menciptakan manusia dengan akalnya, sehingga bisa mengolah biji
kopi sampai pada tahap meraciknya. Jika banyak orang mengatakan bahwa cinta
pada pandangan pertama itu adalah sesuatu yang mustahil, maka bagiku tidak
demikian. Karena aku justru sudah membuktikan, bahwa kesan pertama adalah yang
paling menentukan, dan hal itulah yang terjadi antara aku dan kopi.
Sekitar sembilan tahun lamanya, aku
menghabiskan waktu berbagi secangkir kopi dengan nenek. Sampai pada keadaan
yang membuat hatiku bergejolak hebat, yakni saat perempuan renta berusia 89
tahun itu harus merasakan kesakitan yang sangat dan berujung pada ketiadaaannya
akibat infeksi lambung, dan salah satu penyebabnya adalah kopi. “embah
terlalu banyak minum kopi... seharusnya jangan dibiasakan, akibatnya ya ini,
infeksinya jadi parah, muntahnya pereng (hitam pekat)”, ujar dokter Reza.
Sejak saat itu hingga beberapa bulan
setelahnya, setiap menyeduh kopi yang terbayang hanya penyesalan dan tangisan
yang tak lagi berguna. Namun entah mengapa, kesetiaanku pada seduhan kopi tidak
berkurang, sedikitpun. Terlepas dari belenggu penyesalan yang kerap kali hadir
mengisi dilemanya hati, aku masih tetap sama sebagai seorang pecandu yang tak
akan pernah sembuh sampai kapanpun.
“makna
yang mampu kutemukan pada cawan itu adalah bahwa kau telah berhasil membuatku
tersiksa, membuatku benar-benar gila, dan tak lagi berdaya, bukan karena hal
lain, tetapi justru ketika aromamu tak sudi merasuk dalam sela jiwa.”
Ketika waktu telah menunjukkan pukul 07:30, aku
bergegas menjalankan aktifitasku yang lain, yakni kuliah. Setelah merasa cukup
dengan apa yang kusiapkan, aku pun meluncur menuju kampus dengan menaiki sepeda
jengki hitam yang kubawa langsung dari rumah. Di sepanjang perjalanan, aku
kembali teringat masa awal ketika aku bertemu dengan para penikmat kopi. Mereka
tidak lain adalah rekan-rekan diskusiku selama di kelas.
Meski mereka bukan orang-orang asli
Tulungagung, namun kecintaan mereka terhadap kopi ijo sudah tidak diragukan
lagi. Kami sering menikmati kopi bersama di warkop-wakop yang berdekatan dengan
kampus, seperti halnya Green yang berada di barat kampus dengan panggungnya,
Dori di timur kampus, Mak Tik yang sekaligus menyediakan beragam variasi menu
masakan, Bilkop dan Marofo dengan ke-eleganannya, Siweng, dan Pinka (Pinggir
Kali).
Berawal dari keseringan ngopi bersama itulah,
akhirnya kami memutuskan untuk membuat suatu perkumpulan yang kami namai dengan
“Kopitisme”. Kata Kopi dan Kritis adalah dua kata yang mendasari
terceletuknya nama Kopitisme. Alasan utama tidak lain adalah karena kami
sama-sama mencintai kopi, dan memandang bahwa kami adalah mahasiswa yang tidak
pernah lepas dari usaha untuk senantiasa mengkritisi segala sesuatu, maka dari
itulah kami menggunakan istilah kritis di belakang kata kopi. Mungkin akan
sangat sepele, namun dari perkumpulan inilah, segala bentuk diskusi dan
silaturrahim terjalin. Aku bahkan sangat menyayangi mereka seperti keluarga.
Dimana dalam setiap langkah, akan ada pendapat dari mereka yang menyertaiku.
“sebanyak
apapun gula yang tertuang, mungkin tidak akan mampu mengusir pahitmu. Namun
kepahitan itu mampu merekatkan apa yang belum tentu rekat, dan menjalin apa
yang belum pasti terjalin.”
Jika membahas lebih jauh tentang kopi,
Tulungagung memang salah satu kabupaten yang memiliki banyak warung kopi, cafe
dengan menu minuman pokok berupa kopi, dan terkenal dengan tradisi menuangkan
kemampuan seni dalam cethe-nya. Aku bangga terlahir dan tinggal di Tulungagung.
Pun selama ini aku juga menikmati segala fasilitas yang telah alam Tulungagung
sediakan untukku. Keberagaman menu kopi dan cara meraciknya membuatku makin
betah menetap disini. Pula tidak ada alasan yang sekiranya dapat membuatku
berpaling dari rasa cinta pada kota cethe ini. Sementara Kopitisme, yang
terlahir dengan segala perbedaan orang-orang di dalamnya, juga mampu menyatu di
Tulungagung. Itulah mengapa Tulungagung menjadi sangat istimewa meski bukan
suatu kota yang besar.
“Ah... sepertinya aku begitu kagum bahkan
mendekati fanatik jika berbicara masalah kota tempat tinggalku sendiri”,
celetukku dalam hati saat tiba di depan gerbang kampusku yang super megah.
Setelah sampai di ruang kelas sederhana, aku pun berusaha memfokuskan diri pada
mata kuliah filsafat. Delapan menit pertama, aku benar-benar mampu mengikuti
perkuliahan dengan seksama, namun ketika tanganku mencoba menuangkan aksara
demi aksara ke dalam sebuah buku mungil bersampul hitam, aku seakan diingatkan
dengan kopi yang kuseduh tempo hari.
Aku berpikir, “bertahun-tahun
aku menikmati kopi, namun aku tidak pernah sekalipun merasa bosan dengan aroma
dan rasanya. Bahkan selalu ada kejutan yang membuatku mampu ber-imaji ketika
sedang menyeduhnya. Yaa... sekarang aku mengerti, bahwa setiap cangkir kopi memang
memiliki nyawanya sendiri, dan setiap tangan yang meraciknya, memiliki kekuatan
yang mampu menambah sedap kopi yang akan tersaji.”
Mungkin ada benarnya, bahwa setiap pemilik
kedai kopi memiliki rahasia tersendiri dalam hal meracik dan menyajikan kopi.
Kenikmatan itu tidak hanya hadir atas kesempurnaan dalam mengolah biji kopi,
namun juga efek dari cara meracik kopi tersebut. Andai di Tulungagung ada yang
dengan sukarela membuka kursus seni dalam mencari bibit kopi terbaik,
memilah-milahnya, mengolah, menumbuk, sampai pada tahap meracik dalam berbagai
macam rasa dan warna, sehingga menghasilkan rasa ternikmat dalam penyajian
kopi, aku pasti akan menjadi orang pertama yang mengikuti kursus tersebut.
Namun tentu tidak akan semudah itu.
Kembali pada kisah pergumulanku dengan
rekan-rekan Kopitisme. Dalam sekali waktu kami selalu menyempatkan diri bertemu
di salah satu warung kopi untuk sekedar melepas kerinduan kami dengan kopi khas
yang disajikan oleh pemilik warung. Bagiku pripadi, ngopi bersama di tempat
strategis adalah ajang paling sukses untuk mencari inspirasi, terlebih untuk
sekedar berimajinasi.
Ketika kopi yang kupesan telah sampai di
mejaku, maka hal pertama yang terlebih dulu kulakukan adalah menghirup aroma
dari kopi yang begitu wangi, khas, dan unik itu. Uap panas yang membawa aroma
arang dalam kopi, seakan mampu membawaku menuju dunia baru yang lebih indah.
Segala macam hal baru mampu bangkit dalam kesegaran uapnya. Hirupan demi
hirupan aroma yang memasuki lubang hidungku seperti obat bius yang menidurkanku
dalam imaji.
Ketika kututup kedua mata ini, maka aku akan
melihat diriku tengah berada dalam dunia imaji, yang mana dengan dunia itu, aku
mampu memproduksi banyak inspirasi. Aku pun seakan mampu menenggelamkan
kegalauan yang sempat mengucilkanku. Di setiap sudut imaji, aku mampu berfikir
lebih tenang, lebih logis, dan realistis. Apa yang tak mampu kuterjemahkan,
akan dapat teruraikan sedikit demi sedikit dalam imaji itu. Kemampuan yang
kuyakini tidak hanya aku yang memilikinya. Setiap orang di Tulungagung pasti
akan berpikir hal yang sama, bahwa kopi mampu menentramkan hati. Secangkir kopi
seharga Rp. 2.500,- akan mampu membuat para menikmatnya, menjadi orang yang
mampu bertindak dengan akal dan perasaannya, bukan dengan kekerasan fisik dan emosinya.
Mungkin sedikit berbeda dengan caraku.
Rekan-rekan Kopitisme laki-laki, terutama om Tajuddin dan bang Zainal akan
lebih suka menuangkan terlebih dahulu sedikit kopi ke dalam cawan, kemudian
mengendapkan ampas kopi atau yang kerap mereka sebut dengan “Cethe”. Setelah
mendapatkan apa yang mereka cari, mulailah mereka berdua menghias semua batang
rokok dengan cethe tersebut. Lentik jemari mereka, berpacu dengan kesabaran dan
ketelatenan, seperti seorang pembuat batik tradisional yang mengarahkan canting
pada kain-kain putih.
Di saat proses itu berlangsung, aku melihat
seni dalam mencumbu kopi tumbuh sebagai inspirasi yang mampu mereka aplikasikan
sebagai karya lukis yang bervariasi. Terbukti sudah bahwa candu pada kopi dapat
menjadikan seseorang memiliki selera yang tinggi dalam berseni.
“emang
ngefek ya om rokok dikasih cethe sama gak dikasih?”,
tanyaku polos kepada om Tajuddin. Kemudian dengan sedikit melirik dan melempar
senyum, ia pun menjawab pertanyaanku.
“yaa...
beda lah mi. Ada sensasi tersendiri kalo dikasih cethe.. hehehe”.
“trus
sejak kapan om nyethe?”
“aku
belajar nyethe yaa baru mii.. pokok ya sejak di Tulungagung, tapi yo nggak
langsung bisa, butuh proses sampek bisa apik”, jelas laki-laki berkumis tipis yang berasal
dari Gresik itu.
“aku percaya
aromamu adalah penebar peluh kasih, yang mampu membuat penikmatmu memiliki
kekuatan untuk dapat mensejajarkan antara kemampuan melogika dengan intuisi
rasa.”
Bercumbu dengan kopi... mungkin kata bercumbu
terlalu sukar untuk kutuliskan, namun tak ada kata lain yang mampu mewakili
keadaan yang tengah terjalin ketika aku hanya berdua dengan secangkir kopi.
Kopi adalah cinta pertama bagiku, tiada yang mampu menggantikannya, dengan
harga selangit pun. Ketika aku tengah bercinta dengan kopi, aku merasa begitu
sempurna. Aku menyadari bahwa sempurna bagiku, mungkin akan berbeda dengan
kesempurnaan yang orang lain pikirkan. Kerelatifan kata “sempurna” memang tidak
akan bisa disamakan antara satu dengan yang lain.
Namun demi apapun yang ada di dunia ini, jangan
sekali pun menyalahkan seorang gadis yang mencintai segala sesuatu yang
berkaitan dengan kopi. Seperti yang pernah dikatakan oleh seorang tuan
kepadaku, “ngopi adalah kegiatan yang bermartabat. Ia tidak pernah
membedakan siapa penikmatnya. Kaya miskin tiada beda. Yang membedakan adalah
tingkat ketaqwaannya pada Tuhan.”
Sesekali simpul senyum kembali menyelimuti
bibir tipisku yang sedikit pucat pasi ketika tengah mengingat-ingat kenangan
demi kenangan bersama ribuan cangkir kopi. Serasa tiada kenangan lain yang bisa
kuingat dengan sangat jelas, selain kenangan manis bersama si hitam pekat itu.
Ketika tengah asyik mengimajinasikan kopi apa yang akan kubuat nanti setelah
perkuliahan selesai, aku dikagetkan dengan panggilan seorang teman dekatku,
sebut saja ia Menik, yang memanggilku dengan nada keras, “Umaaamiiiii...
sini dong, ayo ngopi sama arek Kopitisme, diajak om tuh, mumpung jam kosong....
tak tunggu di depan yaa...cepetan”. Seketika itu aku langsung menutup buku
mungilku sembari meng-iyakan ajakanya, lantas berlari menuju ketempat parkir,
dan kemudian kami bersama-sama mengambil langkah menuju warung kopi.
“bagiku...
Tulungagung adalah kota terindah untuk para penikmat kopi. Dengan kopi ijo
sebagai kopi khas yang berbau arang, bersama Kopitisme dan segala cinta yang
tercipta, serta berbagai macam cara dan seni menyajikan kopi, adalah langkah
awal dalam mencumbu imaji... kopi, adalah keindahan yang mengindahkan, dan kopi
adalah cinta, yang tersembunyikan.”
0 Comments