Seorang anak laki-laki dengan seragam merah hati tengah duduk
manis, sendirian. Di emper sebuah toko yang ditinggal pergi pemiliknya. Wajah pasinya
tak berdaya, menghadap ke arah matahari yang mulai condong ke barat. Sesekali ia
berpaling, tapi tak sampai lama ia kembali tersengat. Beberapa waktu kemudian mendung
berduyun-duyun menggulung diantara celah sinar matahari lalu menutupi sinarnya.
Lama ia duduk termangu menunggu angkutan umum, untuk mengantarnya pulang.
Lamat-lamat ia menjadi teringat dengan sesuatu yang dimilikinya.
Ia pun mengeluarkan sebungkus permen karet dari dalam saku bajunya. Ia kupas bungkus
permen karet itu sepenuh hati, kemudian sesegera mungkin melahap permen karet, warna
ungu. Sepersekian menit ia mencecapnya, mengunyahnya sembari beberapa kali
menyembulkannya. Tapi ternyata tidak lama, permen karet itupun ia sepahkan,
lalu ia buang.
Ketika ditanya seorang perempuan, “Kenapa terburu-buru membuang
ampas permen karetmu?”
“Buat apa lama-lama? Manisnya sudah habis…” jawabnya santai.
Bus sekolah dari arah utara kemudian datang dan berhenti perlahan.
Ia buru-buru naik dan meninggalkan keluguan perempuan yang menanyainya. Perempuan
paruh baya itu kemudian duduk, merenung, lalu mengolak-alik apa yang sebelumnya
ia lakukan. Ia mendapati ampas permen karet yang hampir saja ia injak. Ia amati
lagi ampas benda berwarna putih keunguan itu dengan seksama. Tiba-tiba ia
teringat dengan pembelajaran sastra di kelasnya. Pikirannya melayang-layang
tidak karuan.
“Jika sastra yang kupelajari tadi terepresentasikan sebagai ampas
permen karet, maka apakah mereka juga sama tidak berartinya?”
Jangan-jangan, orang-orang yang selama ini mengaku mencintai
sastra, mereka justru sama sekali tidak mengenal sastra? Dengan kata lain
mereka buta dalam artian yang sebenarnya? Dan jangan-jangan mereka dan bahkan
kita hanya menyenggamai sastra karena menyukai proses bongkar pasang diksi?
Apakah sejauh ini sastra telah dipersempit pemahaman dan maknanya, sebatas pada
perulangan, penempatan, dan penundukan diksi-diksi, yang terkadang memang
nampak maha melangit?
Saya memang bukan pegiat sastra, atau semacam kritikus sastra,
dan bukan seorang mahasiswa di jurusan
sastra. Tapi ada miris yang sangat, ketika saya sempat mengetahui ketimpangan
antara sastra masalalu dengan yang sekarang. Masih lekat di ingatan kita,
bagaimana sastra dengan segala romantismenya, mampu menjadi penggerak dan
pendobrak semangat juang bangsa Indonesia. Tapi coba kita lihat dengan detail
sastra yang dikonsumsi oleh public saat ini, hanya tersaji dengan bahasa, maaf,
curahan kamar mandi. Sangat sempit pemaknaan dan cenderung menjadi tumpukan
sampah diksi tanpa arti.
Penilaian semacam ini, memang adalah sebuah penilaian subjektif
tanpa dasar. Saya pribadi pun hanya akan melihat satu fenomena tersebut dengan
satu sudut pandang, yakni dengan sudut pandang pribadi. Tapi coba saja kita
telisik bersama dan kita kaji lebih mendalam, tentu pikiran kita yang
menganggap hal sebelumnya berlebihan, akan tidak nampak demikian. Kita yang
pada hakikatnya adalah penikmat sastra tentu memiliki rasa iba terhadap sastra,
sehingga sering timbul rasa haus untuk membaca dan mengkajinya ulang. Baik
dalam tataran fenomena-fenomena sastra di masa lalu maupun sastra di masa
sekarang.
Setelah kita merasa cukup dalam membaca dan mengkajinya ulang,
maka langkah selanjutnya yang harus kita bersama coba adalah membandingkan.
Jika setelah melakukan perbandingan tersebut, nampak jelas bahwa tengah ada
kemerosostan dalam bidang sastra, maka kita dapat satu pembenaran baru. Bahwa
sastra yang saat ini tengah kita konsumsi, adalah sebuah bentuk kemerosotan
dalam bersastra. Meskipun hal tersebut tidak berlaku secara keseluruhan.
Meskipun masih ada sastra yang bertahan dengan kediriannya, tanpa mengikuti
budaya populer.
Sekarang ini, kita memang lebih mudah mendapatkan buku-buku
terkait sastra dan kesusasteraan, bahkan bisa mencapai angka ribuan jumlahnya.
Mulai dari buku-buku yang membahas tentang hal-hal mendasar dalam sebuah karya
sastra. Bisa tentang sejarah dan pengertian sastra, keberagaman jenis sastra,
antropologi sastra, teori-teori sastra, fenomenologi sastra, psikologi sastra,
kontekstualisasi sebuah karya sastra, bahkan sampai pada kritik sastra. Selain
buku-buku pokok tersebut, di luar sana, ada pula yang masih bersinggungan
dengan sastra. Kita akan mampu menjumpai buku-buku karangan para penulis muda
dengan berbagai genre dan unsur-unsur penguat yang menyertainya.. kita akan
sangat sering menjumpai buku-buku seperti antologi puisi, antologi cerpen puisigrafi, romance, dan seterusnya.
Tapi meskipun karya-karya terapan tersebut telah menjadi semacam
jamur dan lumut yang tumbuh subur setelah hujan mengguyur, tapi mayoritas dari
para penulis muda tersebut tidak memberikan kebaruan dalam karya yang
ditelurkannya. Seakan-akan ada sebuah bentuk kemufakatan dalam mayoritas karya
tersebut. Kemufakatan –andai benar hal itu yang terjadi– maka sudah barang
pasti mendatangkan kesamaan. Semacam terdapat kesadaran kolektif, yang
dikonstruk sedemikian rupa, dalam diri setiap sastrawan muda masa ini, sehingga
menyebabkan apa-apa yang mereka bahas adalah hal-hal yang bersifat sama, tanpa
adanya gebrakan.
Saya pun tahu, bahwa
untuk mencapai level argument yang dapat dipertanggungjawabkan, maka perlu
adanya kerjasama, setidaknya dengan diri sendiri, untuk terlebih dahulu
mengulas tuntas sastra secara tertib, untuk dapat mendasarkan argument. Saya
sadar untuk mengorek sebuah karya sastra dan sastra itu sendiri butuh waktu
yang panjang untuk belajar dari dasar. Seorang anak yang saya temui dan
pertanyaan perempuan saat menanti bus sekolah tadi membuka ingatan saya terkait
sastra.
Mungkin untuk saat ini, bisa jadi sastra yang tengah saya atau para
pembaca lain nikmati hanya mirip sebuah permen karet. Memiliki keindahan yang
sesaat, namun mudah pula dibuang karena telah habis manis yang kita dapatkan
dari tiap perulangan dan pertautan diksinya. Mudah dibuang juga karena kita
sebagai pembaca tidak mendapati kebaruan di dalam sebuah karya sastra. Bahwa
sastra identik dengan diksi yang melangit, memang benar. Tapi itu bukanlah hal
final dan pokok yang terdapat dalam suatu karya sastra. []
Tulungagung, 2016
0 Comments