Namaku cermin rias datar. Memantulkan aneka wajah terekam. Pribadiku dingin, diam dan angkuh. Aku punya segalanya, kartu As milik manusia yang mengencaniku dengan buta. Setiap pagi akan ada dua orang menghadapku diam-diam, lewat pukul 02.00 WIB.
Biasanya mereka datang
tergopoh-gopoh, setengah mabuk, hingga tak sadar adanya aku, menggantikan tugas
dua malaikat, menukar tambah amal dan pahala.
Ibuku di kamar sebelah dengan ranjang empuk
mirip sofa. Nyawanya kadang hadir tapi lebih banyak mati suri atau melayang-layang
di atas dipan. Bajunya, sudah seperti saringan tahu bahkan bulu ketiak
yang ia cukur habis masih terlihat sisanya. Ia sudah tua, tapi ceritanya tak
pernah habis untuk didongengkan padaku.
Di hari-hari selanjutnya ketika ia
senja masih disisipkannya narasi mitologi ke alam bawah sadarku. Aku
mengingatnya dan nada-nada di penghujung surup tak berhinggga. Pada
akhirnya ia senja dan kembali manja.
Secara biologis mungkin aku punya benda tumpul,
tapi tak nampak jantan bagiku. Aku berharap memiliki benda itu sebagai salah
satu anggota lunak tubuhku. Kata orang, ia punya kuasa menusuk.
Perempuan-perempuan yang menatap lamat-lamat sembari membenarkan gincu atau
sekedar menyapukan bedak sering membayangkan tertusuk dari belakang.
Aku yakin
itu menyakitkan, tapi orang-orang ini menikmatinya, aneh saja.
Perempuan-perempuan itu lalu mati muda. Kematian seperti goa-goa yang gelap
menuju sorga dan kelipatannya.
Secara naluriah aku adalah lobang-lobang itu.
Sangat feminin untuk ukuran sesuatu yang tanpa benjolan, gundukan bertubi-tubi,
sedikitpun. Tapi tak nampak aku yang seperti perempuan bergincu atau alis tebal
yang lalu lalang menatapku memperlihatkan kemolekannya, kesempurnaannya. Kadang
hanya ibu-ibu paruh baya, bernada sumbang mengalunkan tembang lawas, nafas
cekak, nada sumbang, dan lembek, tak keset lagi.
Tapi mereka tak berkelit sedikitpun dari
pertanyaan-pertanyaanku tempo hari. Mereka menjawab sekenanya, tapi mengena.
Hidup untuk cari makan, sedang jika tak ingin cari makan, yaa jangan hidup.
mereka berkelit jika sesungguhnya butuh uang, bukan sekedar buat penyambung
hidup. tapi uang banyak, berlimpah-limpah biar dihormati, biar punya harga,
biar tak lagi diremeh rendahkan orang.
0 Comments