Di bulan penuh kasih sayang, Februari yang telah lalu, akhirnya ibu kos saya memutuskan berpisah dengan suaminya.
Pernikahan yang berjalan hampir sepuluh tahun dan nyaris tanpa masalah itu,
nyatanya menyembunyikan banyak kemelut. Selama itu ibu kos saya, panggil saja
Ros, memilih diam dan tidak bercerita pada siapapun, termasuk ibundanya,
tentang apa-apa yang janggal selama pernikahan.
Jika dalam bahtera rumah tangga umumnya menganut
asas suami harus menafkahi istri, bahkan sepeserpun ia tak pernah diberi. Jika
keluarga itu menganut asas keterbukaan, bahkan struk gaji dan kemana larinya
penghasilan suami saja ia terpaksa abai atau memilih tidak mengerti.
Bagi ibu kos saya, pernikahan tak lebih sebagai
ruang bertemu antara dua manusia yang tak punya kesempatan mendapat cinta.
Pernikahan sebatas rumah kontrakan yang menjadi tempat pulang sewaktu-waktu, setelah
lelah berkencan dengan dunia, setiap hari.
Janda dan duda itu menikah dengan tanpa cinta.
Entah bagaimana awalnya, hingga akhirnya Tuhan mempertemukan mereka dalam
pernikahan kedua. Ibu kos yang ringkih sudah beranak satu, kala ia menikah
dengan pegawai negeri di kantor pemerintahan sebuah kabupaten di Jawa
Timur.
"Kamu itu beruntung, punya suami pegawai
negeri." kata-kata sang ibu menancap kuat di hati
perempuan 30 tahun itu.
Demi menjaga pernikahan keduanya bisa nampak
harmonis, di tahun ketiga bu Ros membangun rumah megah, mengangsur segala
kebutuhan, sampai membeli seperangkat emas, hanya agar terlihat mendapat nafkah
dari suami tercinta. Kalau saya boleh ikut bicara, “Kau adalah perempuan
romantis, bu. Berderma dengan banyak luka demi sembunyi dari sindiran orang
atas bobroknya keluarga.”
Perasaan bu Ros saat itu memang carut marut.
Lelah dan kecewa dengan perlakuan sang suami, ia tutupi selama 10 tahun demi
anak-anak yang bahkan hanya bu Ros seorang yang menafkahi. Ia biarkan suami
yang dibangga-banggakan orang itu pergi sendiri, menyusuri kegilaannya pada
rumah bilyard dan judi. Mengeluh? Menegur? Bahkan anak dalam kandungan pun
mengerti kemana bapaknya sering lari.
Saya ingat bu Ros pernah cerita ketika lelaki
yang perutnya mulai buncit itu punya hutang di sana sini. Bu Ros rela dengan
manutnya menegak baigon karena disuruh oleh suaminya. Setelah sang istri
meminumnya, alih-alih pak Pras (nama samaran) ikut minum, ia justru lari.
Tapi bu Ros menutupinya dari keresahan
tetangga, hanya agar tidak semakin mengancam 'keharmonisan' keluarga. Padahal
semua tahu, bahwa keharmonisan yang diidamkan itu tak pernah ada, bahkan
sekedar mampir mlipir di depan pintu istana megah itu tak sempat.
Bu Ros bekerja pagi hingga malam, menghidupi
sendiri ketiga anak, tanpa pernah minta sedekah dari suami yang bahkan tidur
seranjang berdua pun, tak pernah sudi lagi. Pengabaian
demi mempertahankan sesuatu yang tak banyak menguntungkan itu memang layak
disebut pernikahan palsu.
Pada akhirnya, saya menyimpulkan beberapa hal. Pertama,
pekerjaan suami yang mapan tidak menjamin keharmonisan. Di desa saya,
menjadi pegawai negeri memang impian tertinggi. Ketika bisa mencapainya, maka
derajat keluarga akan langsung terangkat. Tapi hal itu ternyata memang bukan
jaminan gaess… Banyak pegawai negeri yang khilaf terus selingkuh, de el-el.
Alih-alih harmonis, nyesek iyaaa…!
Kedua,
kungkung patriarkisme ternyata membawa dampak pada sikap perempuan yang
lebih memilih diam. Buktinya demi tawadu’ kepada suami, bu Ros
mengharuskan dirinya sendiri menyimpan uneg-uneg. Karena baginya, istri
yang shalehah adalah istri yang manut kepada suami. Ibaratnya, “my husband
is king of my life…” preettt…
Ketiga, pernikahan bukan jalan menuju
surga. Imajinasi banyak perempuan itu masih berkutat pada pernikahan sama
dengan kebahagiaan, dan surga akan mudah dicapai jika sudah menikah. Faktanya
sangat kontradiktif. Masih ingat film Surga yang Tak Dirindukan? Nah… Salah
satunya bisa berkaca lewat film itu. Bahwa kebahagiaan tidak selalu berbanding
lurus dengan pernikahan, dan perempuan lagi-lagi menjadi pihak yang tidak
diuntungkan.
Kisah pahit bu Ros yang dua kali gagal berumah tangga membuat
saya pribadi menjadi semakin enggan untuk menikah. Jika Ayu Utami pernah
mendeklarasikan dirinya sebagai parasit lajang, maka saya lebih memilih cara
lain, yakni bersologami.
Bagaimana tidak? Sekarang hampir tiap hari saya mendengar berita
perceraian di televisi, kekerasan dalam rumah tangga, bahkan pembunuhan yang
dilakukan oleh suami terhadap istrinya sendiri. Jadi jangan salahkan saya atau
perempuan lain ketika memilih untuk bersologami.
Berita-berita tersebut membuat saya meyakini bahwa sologami
adalah alternatif paling mungkin yang bisa dilakukan oleh perempuan. Selain
untuk melindungi hak-hak perempuan, setidaknya dengan sologami saya belajar
untuk lebih mencintai diri saya sendiri.
Bagi saya, adagium mencegah lebih baik daripada mengobati
akan tetap berlaku. Sebagai perempuan yang sadar, tentu mencegah hati saya agar
tidak terluka hukumnya wajib ‘ain daripada mengobati hati yang sudah pecah
belah, karena akan tetap menimbulkan bekas dan bisa menganga sewaktu-waktu. []
1 Comments
miris sekali mbk cerita ibu ros.memang terkadang(sebagian) perempuan lebih memilih diam untuk menutupi aib keluarga. begitu mulianya perempuan.tapi terkadang laki2 banyak yg mengabaikan pengorbanan seorang perempuan
ReplyDelete