Jangan
bilang cinta NKRI
Tapi
sering absen toleransi
Tidak
mau saling menghargai
Innalillah
innalillah
Pemuda
yang cinta Indonesia
Menjunjung
Bhineka Tunggal Ika
Dasar
negaranya lima sila
Pancasila,
itu kita
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. أَمَّا بَعْدُ؛
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. أَمَّا بَعْدُ؛
Toleransi
adalah menahan diri, berhati lapang, sabar. Toleransi adalah sikap mau menerima
perbedaan, tenggang rasa, sikap saling menghargai, baik antar individu maupun
kelompok dalam suatu tatanan masyarakat. Toleransi menjadi begitu penting,
terlebih jika diterapkan pada negara kesatuan kita, Indonesia, yang notabene
sarat akan keberagamannya, kebhinekaannya. Dengan mengedepankan sikap
toleransi, maka akan tercipta suatu keharmonisan dalam bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Toleransi
dalam beragama juga diartikan sebagai sikap saling menghargai antar pemeluk
agama, tidak mencampuri urusan agama lain, dan tidak memaksakan kehendak
terhadap agama lain dengan tujuan apapun. Membiarkan agama lain melaksanakan
ibadah keagamaannya dan tidak mengganggu ritual peribadatannya. Dengan
menjunjung sikap toleransi, maka tidak akan ada golongan yang merasa paling benar
sendiri, tidak ada yang merasa paling berkuasa, dan tidak ada lagi kesenjangan
antar agama dalam kaitannya dengan hubungan sosial.
Sebagaimana
dalam QS. Yunus: 99
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ
لَآمَنَ مَن فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ
حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Dan
jika Rabbmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya?
Dalam tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang berhak mengadili
atas keimanan atau kekufuran seorang manusia hanyalah Allah SWT, bukan kehendak
manusia. Tidak ada manusia yang bisa memaksakan kehendaknya kepada manusia lain
untuk memasuki suatu agama yang tidak dikehendaki hatinya. Sesungguhnya jika
Allah menghendaki makhluknya untuk beriman, maka ia akan beriman, dan jika
Allah tidak memberikan hidayah kepada makhluknya untuk beriman, maka ia tidak
akan beriman.
Hadirin yang dirahmati oleh
Allah…
Belakangan ini kita sering
sekali mendengar berita intoleransi, baik di media massa maupun media televisi.
Selesai dengan satu kasus, muncul kasus-kasus baru yang tidak kalah
menghebohkan dan membuat masyarakat Indonesia kocar kacir. Diawali dengan santernya
kasus penistaan agama yang dilakukan oleh bapak Basuki T. Purnama sampai yang
baru-baru ini kasus puisi ibu Sukmawati yang geger dan penuh dengan
kontroversi.
Di lain itu ada beberapa kasus
pelanggaran dalam kebebasan beragama yang juga terjadi di beberapa kota.
Seperti pembubaran kegiatan bhakti sosial Gereja Katolik St Paulus di Bantul
Yogyakarta dan juga kasus pengusiran biksu di wilayah Tangerang, serta kasus
penyerangan yang bertempat di Gereja Katolik St. Lidwina di Sleman. Itu hanya
di tahun 2018 ini saja, belum di tahun-tahun sebelumnya. Pada 2017 yang lalu, bahkan tercatat 155 bentuk
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi di 29 provinsi di
Indonesia (Setara Institute).
Indonesia
saat ini seperti tengah berada pada suatu kondisi yang memprihatinkan.
Permasalahannya semakin hari semakin kompleks. Mulai dari isu radikalisme,
isu-isu sektarianisme, sampai memunculkan sikap-sikap intoleransi dalam beragama
yang kemudian mengusik ideologi bangsa dan kebhinekaan yang dimilikinya. Imbasnya
adalah terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat, tidak hanya di
wilayah-wilayah yang rawan konflik, akan tetapi hampir di seluruh wilayah NKRI.
Kira-kira,
kenapa hal-hal semacam itu bisa terjadi? Apa yang salah dengan negara dengan
keberagamannya ini, sehingga begitu banyak kasus intoleransi terjadi secara
berkesinambungan? Kemana pemuda-pemuda bangsa yang seharusnya bisa
menjadi penengah dari kerusuhan-kerusuhan yang terjadi? Apakah pemuda bangsa
ini sudah melupakan tugasnya sebagai khalifah fil ardhi untuk menjaga
kesatuan dan persatuan bangsa? Atau justru pemuda jaman ini justru latah dan
malah ikut serta membela serta melanggengkan ketidakadilan dan tindakan main
hakim sendiri, yang dilakukan oleh segolongan kelompok, yang ingin memecah
belah persatuan dan kesatuan bangsa ini? Hilangkah sikap saling menghargai
dalam diri kita?
Mari kita mundur ke belakang
dan melihat kembali perjuangan K.H. Abdurrahman Wahid. Selama masa
kepemimpinannya, Gus Dur senantiasa mengajarkan pentingnya mengedepankan
kebhinekaan dalam menjaga NKRI. Ajaran yang saat ini lebih populer dengan
nonsektarian ini mengajak seluruh pemuda, tanpa membawa SARA turut serta
berdiskusi membincangkan masa depan NKRI dengan sikap yang terbuka (tidak
eksklusif).
Selain nonsektarian, Gusdur
juga mengedepankan humanisme dalam berbangsa da bernegara. Bahkan ada quote menarik
yang sampai sekarang masih mendengung di telinga kita bersama, “Agama jangan
jauh dari kemanusiaan.” Dari pesan itu saja sudah jelas bagaimana Gus Dur
ingin memahamkan kita bahwa agama-agama yang kita miliki tidak boleh sampai
membuat kita lupa, bahwa kita adalah makhluk sosial yang harus bersatu atas
nama bangsa.
Pembelajaran sikap toleransi
juga diajarkan oleh Gus Mus. Bagi Gus Mus, seseorang yang memiliki jiwa besar
akan melahirkan sikap ksatria dan toleran, sementara seseorang yang jiwanya
kerdil akan melahirkan sikap dendam dan kebencian. Pesan-pesan sederhana yang
diungkapkan oleh kedua tokoh besar tersebut tentunya harus selalu menjadi
pijakan kita sebagai pemuda untuk senantiasa menjunjung tinggi toleransi.
Dan yang ketiga adalah yang
sering kita dendangkan tapi absen untuk kita aplikasikan. Yakni teladan Hubbul
Wathan Minal Iman dari Kiai Wahab Chasbullah. Dalam syiir tersebut menegaskan
bahwa mencintai negeri adalah sebagian dari iman. Tentunya ketika kita sudah
mendeklarasikan diri untuk mencintai Indonesia, sama artinya dengan mencintai
keberagaman atau kebhinekaan yang ada di dalamnya. Jika mencintai Indonesia
tapi absen mencintai keberagaman Indonesia, maka cintanya adalah cinta yang
belum hakiki, cinta yang masih setengah-setengah. Betul apa betul???
Dalam kitab Ahmad, bernomor
2003, terdapat sebuah hadits yang berbunyi:
حَدَّثَنِي يَزِيدُ قَالَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
قِيلَ
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَدْيَانِ أَحَبُّ
إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ
Telah menceritakan kepada kami Yazid
berkata; telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin Al
Hushain dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas, ia berkata; Ditanyakan kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam; "Agama manakah yang paling dicintai oleh
Allah?" maka beliau bersabda: "Al Hanifiyyah As Samhah (yang lurus
lagi toleran)"
Sikap toleransi itu seperti
tanaman di dalam pot. Jika
terus menerus atau rutin dirabuk, disiram, disesuaikan dalam mendapatkan panas
matahari, maka akan dapat tumbuh subur. Toleransi antar umat beragama pun
demikian. Jika antara mayoritas dengan minoritas bisa saling menghargai,
meskipun berbeda suku dan budaya bisa saling tenggang rasa, maka sikap-sikap
dangkal seperti eksklusivisme, sektarianisme, bahkan radikalisme pasti tidak
akan tumbuh lama di Indonesia.
Jika masing-masing pihak mau
untuk saling menjunjung tinggi toleransi, maka tidak akan ada lagi sengat
sengit antar agama, suku, maupun ras. Jika sudah begitu maka dampak baiknya
adalah tidak aka nada lagi kekerasan yang mengatas namakan SARA. Tidak akan ada
lagi tindakan main hakim sendiri, fitnah-fitnah, maupun perusakan tempat
ibadah. Dan jika semua elemen masyarakat mau mengedepankan sikap toleransi,
maka keamanan dan ketertiban masyarakat tentu akan selalu terjaga. Semua harus
dimulai oleh para pemuda-pemuda yang akan menjadi generasi penerus perjuangan
bangsa ini. Jadi… sebagai pemuda kita harus berani memulai, mengukuhkan sikap
toleransi untuk menjaga kesatuan dan persatuan NKRI.
Semoga sedikit yang
bisa tersampaikan ini dapat bermanfaat di kemudian hari... aamiin aamiin aamiin
ya rabbal ‘alamiin.
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
0 Comments