Aku bertemu dengan Anthony enam
bulan lalu. Seorang cilik mengantarkannya dengan wajah khawatir, takut aku akan
merendahkan sang tokoh utama. Padahal tidak, kurasai benar ketertarikanku
padanya, dan 678 halaman selanjutnya. Aku mengaku, butuh waktu panjang untuk
menyelami apa yang diinginkan oleh seorang Anthony Capella dari novel yang ia
beri judul The Various Flavours of Coffee –diterjemahkan oleh Gita
Yuliani dengan judul Rasa Cinta dalam Kopi.
Di awal percumbuan, ia
memperkenalkan Robert Wallis, laki-laki 22 tahun, pengangguran, punya
harapan besar menjadi penyair kelas atas. Kisah dimulai dari pertemuan singkat
di kedai kopi antara seorang Wallis dengan Samuel Pinker, pemilik Castle Coffee.
Pertemuan yang membuat kehidupan seorang Wallis berubah 180 derajat. Narasiku
memang klasik, tapi tolong bersabarlah sampai tulisan ini selesai.
Pinker kemudian mempekerjakan
Wallis, menyuruhnya membuat buku pedoman cita rasa kopi, lewat pencicipan yang
dilakukannya bersama Emily, putri sulung Pinker. Petualangan seorang penyair
gagal yang kemudian terjun menjadi pegawai di perusahaan kopi baru di mulai,
ketika Pinker meminta Robert Wallis ke dataran Afrika, untuk membuka lahan dan
menanam kopi. Bersama Hector –orang kepercayaan Pinker, Robert menyusuri
pelabuhan demi pelabuhan, melakukan pelobian, kerjasama, dan bertemu dengan
banyak manusia yang benar-benar baru baginya.
Anthony, lewat perjalanan
Wallis berusaha memberikan gambaran yang kompleks tentang keadaan pada saat
itu. Seperti persaingan dagang, perebutan lahan, dan perbudakan yang dikata
sudah dihapuskan, tapi tampil dengan wajah baru. Sungguh aku ingin menceritakan
ulang detailnya, menceritakan bagaimana Wallis menjadi pelancong sejati, lalu
putus asa, dibutakan cinta, dan kembali dengan hampa. Tapi akan lebih mudah
menceritakan apa yang Anthony bisikkan padaku pada jarak sekian tahun cahaya.
Persaingan dagang dan keyakinan
Pinker akan dapat menyaingi Brazil dalam menanam kopi akhirnya membuat Wallis
benar-benar pergi ke Abyssinia. Di sana ia bertemu dengan Ibrahim, seorang Arab
yang memiliki budak bernama Fikre. Perjalanan Hecktor dan Wallis memang seperti
tanpa kendala dengan bantuan Ibrahim. Mereka berdua sampai ke tempat yang
dituju, bertemu dengan pribumi dan melakukan basa-basi. Mungkin ini penjajahan
dengan aksen yang sangat halus. Sehingga pribumi sudi menebang jutaan pohon,
membakar sisanya, dan kemudian menanami lahan tersebut dengan kopi.
Singkat cerita perkebunan itu
gagal panen. Meski berusaha menyelamatkan sebagian kecil, tetap tidak mampu mengembalikan
keadaan. Wallis yang menyukai Fikre benar-benar dibutakan oleh cinta. Sehingga semua
uang yang seharusnya bisa digunakan untuk perkebunan, digunakan untuk menebus
perbudakan Ibrahim atas Fikre. Kisah cinta itupun sesungguhnya tak ada, sebab
Fikre kabur setelah terbebas dari Ibrahim. Wallis memang digambarkan sangat
malang. Kemudian oleh penduduk asli ia diminta pulang, kembali ke asalnya. Dan
semua yang telah diberikan almarhum Hector kepada pribumi, dikembalikan oleh
mereka, hanya agar Wallis bisa pulang.
Sementara di London, riuh dengan gerakan yang tengah
memperjuangkan hak suara perempuan. Golongan liberal yang pada awalnya membela
keberadaan gerakan tersebut justru bungkam dan abai setelah mereka memenangkan
kursi parlemen. Anthony juga menjelaskan tragedi pengurungan salah satu pejuang
dengan apik.
Ditampilkannya Emily sebagai sosok yang militan tapi tak
bisa berbuat banyak karena kungkungan sang suami, yang menjadi orang paling
berpengaruh di partainya. “Tetapi bagi Arthur, istri yang senang berdebat
adalah tantangan bagi kewibawaannya. Arthur menghendaki kebungkaman,
keteraturan, dan penerimaan...” (hlm. 472)
Pada saat itu, posisi perempuan memang sangat jauh dari
setara. Di tempatnya berdiri penuh dengan keteraturan yang dibuat oleh pihak laki-laki.
Posisinya sebagai perempuan sekaligus istri menjadi sangat formal dan anteng.
Anthony sempat memberitahuku bahwa pada saat itu, perempuan yang memiliki
semangat memberontak sedikit saja, bisa dikata terkena histeria. Di mana hal
tersebut membuatnya harus menjalani serangkaian perawatan untuk kemudian
menjadi tenang beberapa saat.
Sekembalinya Wallis, Castle Coffee telah berubah menjadi
perusahaan besar dengan keuntungan yang terus meningkat. Demi membangun sejarah
namanya, Pinker bekerjasama dengan Howell, pemilik perkebunan kopi terbesar di
Brazil sekaligus pesaingnya. Robert Wallis sempat menjadi kaki tangan keduanya.
Tapi kemudian ia memilih tidak ikut campur, ketika tahu bahwa apa yang akan
dilakukan oleh Pinker dan Howell dapat mematikan produsen-produsen kecil. Pinker ingin memenangkan bursa saham dengan cara apapun. Termasuk menciptakan
segala resiko dan kerugian bagi yang lain.
Hal-hal yang diceritakan Anthony memang membuatku melongo
dan tidak mampu mencerna makanan dengan baik. Akan tetapi membuatku memahami
bahwa ambisi akan membuat kita menjadi bukan manusia. Ah, aku mulai
nglantur. Setidaknya aku butuh waktu enam bulan untuk bisa mengenal Robert
Wallis yang diceritakan oleh Anthony.
Bagian kelima atau lembar-lembar terakhir dari novel ini
baru kuselesaikan tiga hari yang lalu. Akhirnya memang sangat suram. Bursa
saham memang dimenangkan oleh Pinker. Gerakan perempuan akhirnya mendapat
tempat yang pantas, lama setelah kematian Emily. Sementara Robert Wallis, ia
kembali menulis, menjadi penyair sebagaimana keinginan di waktu muda. Namun ia
juga adalah seorang pedagang kopi, yang jujur dalam menyajikan tiap cangkirnya.
“… Bagiku sesuatu harus terasa sebagai apa adanya, dan bukan apa yang kau
inginkan. Kekurangan kopi sama juga menjadi bagian dari sifatnya seperti
kebaikannya, dan aku tidak mau menutupinya.” (hlm. 677)
Anthony Capella memberi kesan
yang mendalam. Kompleksitas yang ia hadirkan dalam novelnya tidak main-main. Ia
menggunakan data dari banyak sumber untuk membuat fiksinya menjadi sangat
realis. Jika membacanya ulang, akan ada sentuhan lain selain soal kopi,
persaingan dagang, cinta, perempuan, dan politik. Anthony juga membahas
perubahan-perubahan yang tidak bisa diberhentikan. Soal kekuatan ayyana, ruh
pohon yang masih diyakini oleh masyarakat Afrika di pedalaman, soal deforestasi
hutan dalam lingkup yang sangat kecil, dan soal kemanusiaan, yang selalu hadir dengan
ragam wajah.
0 Comments