“Kau
adalah jelmaan dari konstruksi kuasa, juga aku. Kuasa memang ambigu, ia
menjalankan pengekangan sekaligus tawaran kebebasan.” Kacamatamu agak
turun menutupi hidung.
***
Kacamata itu masih
setia menemani pergumulannmu
dengan buku dan layar komputer. Secangkir kopi instan dan beberapa gorengan
semakin sering menjadi hidanganmu.
Dari sebuah ruangan berpendingin yang baru saja selesai proses pengerjaannya, kau dilahirkan ke dunia yang fana ini dengan
cerita berdarah-darah.
Setiap detik, menit
menuju jam, kemudian hari menuju bulan di tahun ini, akan banyak hal yang kau lalui dalam sebuah ruang berukuran 5x6
m, bersama para bakal calon peneliti muda yang lain. Kau akan mencari, menemukan, mengambil
sampel, menentukan hipotesa, dan hal-hal lain yang harus kau kerjakan dalam ruang berkarpet merah
itu.
Malam ini kau maya dalam segala bias yang coba kau uraikan. Tidak ada kesan
cintamu pada buku-buku yang tebalnya lebih dari 300 halaman itu. Pandanganmu
kosong, posisi dudukmu hanya bersandar lemah tak bergairah. Jaket coklat yang
kau gunakan, lusuh. Wajahmu kembali berminyak dengan kadar yang lebih pekat
dari biasanya.
“Ada apa denganmu?” Tapi kau diam saja, bahkan tidak melempar apapun padaku.
Layar laptop di depanmu pun hanya diam, tidak kau ijinkan menyala dan menyela
lamunanmu.
Kau masih belum beranjak. Sementara jam dinding tidak sudi mengabadikan
layar imajimu. Tiba-tiba kau mengambil headset dari balik saku celana.
Menghubungkannya dengan gadget dan memutar satu lagu yang kau gandrungi, Deep
Purple ‘Soldier of Fortune’. Kau merasa lagu itu mewakili keadaanmu
sekarang. But I feel I’m growing older,
tak lagi punya asa yang cukup,
bahkan sekedar mimpi menggenggam masa depan.
Kau tak banyak bicara,
binar matamu, nyalanya pecah. Petualangan yang kau jalani seperti sudah hangus tapi
tak pernah selesai. I guess I’ll always be a soldier of fortune, menjadi
tunduk dan tak pernah punya kuasa atas kedirianmu. Sampai sepersekian menit berselang,
kau menggapai secangkir robusta yang mulai dingin di sudut meja. Tinggal
setengah cangkir dan seruputmu menggoyangkan lebih banyak ampas di dalamnya.
“Apa lidahmu tak kelu
dengan pahit yang demikian kecut?”
“Bahkan sekiranya
seluruh tubuhku kelu, aku tetap tidak bisa mengupas tuntas ketidakadilan yang
terjadi. Kesewenangan itu… ah..”
“Come lay with me now…
although you wandered without me, setidaknya aku tak memberi gubahan yang
berarti.” Dan pelukan pertamamu memberhentikan pelik sejenak.
***
Kemelut itu, kau yang
rasai sendiri. Bersama dengan beberapa staff lain memungut sejarah demi
sejarah, data-data baru, temuan-temuan yang menggugat para pemangku sejarah
lama. Hingga pada capaian selanjutnya, kau tidak hanya bergelut dengan hal-hal
yang abstrak itu, tapi juga dengan para pemangku kebijakan di institusi yang sama-sama
kita tempati.
Tapi tak semudah apa
yang kunarasikan. Segalanya menjadi kian berdarah-darah. Perseteruan antar kubu
menjadi jelas mengikatmu. Basis keilmuanmu menjadi ambigu. Secara tidak sadar
kau mendaku diri, bersanding dengan kubu yang kau yakini punya komitmen lebih
dalam pergolakan ilmu pengetahuan.
“Menjadi intelektual
juga menuntutmu melacur?”
“Aku tidak punya
pilihan.”
“Sejujurnya aku tidak
tahu apa itu pilihan. May be you would say that everytime. Sebagai pembenar?”
“Itu akan jadi konsekuensinya.”
Aku tidak lagi
mengenalmu, setelah itu. Kita berdua saja duduk seperti mendengar
lantunan sajak Sapardi tempo hari, tanpa sepatah kata. Mungkin sesekali
mendengar keresahanmu keresahanku tanpa suara. Dan aku benci harus jujur
padamu tentang ketidakberdayaanku melarang, membujuk, atau sekedar
mengingatkanmu untuk tak melacur demi mereka. “Aku tetap merasa itu bukan
pilihan.”
Lagi-lagi kau menepis.
Perempuanmu demikian sama dan aku menjadi perempuan kedua yang tak layak
mengajari apa-apa. Hanya ada dua pilihan, katamu. Menjadi intelektual atau
tidak sama sekali. Tapi tidak ada kata melacur dalam dua putusan itu. Lagi-lagi
kau bersikeras menyangkaliku.
“Sudah
kubilang berulang kali. Kau adalah jelmaan dari konstruksi kuasa, juga aku.
Kuasa memang ambigu, ia menjalankan pengekangan sekaligus tawaran kebebasan.” Kacamatamu agak
turun menutupi hidung.
“Tawaran mana lagi yang
bisa membuatku bertahan dari penggusuran selain ini? Tidak ada yang lebih
competable selain ia yang saat ini kupilih. Sudah begitu saja.”
Jatah bicaraku telah
habis dalam derab siksamu. Mungkin kebodohan ini membuatku tak begitu terima
dengan logika peran yang kau ambil. Tapi demi apapun, kau sadar menggugatnya.
Meski terlanjur melacur bersama mereka, golongan yang kukisahkan sebagai para
resi. []
0 Comments