Sen mengira kau akan pergi lebih muda. Tapi tidak, nyatanya kau masih hidup setahun lebih lambat. Sen tidak menahu perihal tatanan hidupmu yang kini penuh sesunggukan. Sen hanya utusan peri gigi yang menaruh iba padamu sampai hilang dini.
Kuperkenalkan Sen padamu tahun lalu, saat kau masuk ruang pesakitan. Ia dan kau cepat akrab, tanpa sekatapun sudi merambati lesung bibir masing-masing. Sen sudah sangat lelah dan memintaku mengantarnya pulang, baru esoknya ia kembali menjengukmu. "Nii, ajak aku bertemu Ruk esok hari. Dia tidak akan punya teman sepertiku." Bisik Sen padaku setelah keluar dari pintu ruang pesakitan itu.
Keesokan hari, benar saja, Sen merengek minta menemuimu. Bajuku yang sudah sangat lusuh jadi tambah lusuh, tak keruan lagi karena tarikan tangan Sen. "Baik-baik, sebentar Sen... Biarkan aku menyelesaikan bebersih kamar." Dan dia terus mengawasiku dari jarak 3 meter.
Dua jam kemudian aku dan Sen sampai di depan kamar berjeruji, tempatmu sembahyang. Tapi baik aku, Sen, juga dua penjaga kamarmu tak mendapati jasadmu di sudut manapun. Tampak wajah Senku merah padam, kemudian ia teriak, "Mana Rukmi, mana Nyii, mana sahabat baruku?" Saat itu juga semua orang di rumah tahanan, tempat anak-anak seusiamu diisolasi, panik bukan main, kalang kabut mencarimu. Di bawah meja, di dalam almari, di atas almari, di kamar mandi, gudang, dapur, di segala sudut rutan, dan tidak ada yang berhasil menemukanmu.
Aku hanya bertanya dalam batin, "Kemana kau ini, Ruk? Tau kau semua disini sekonyong-konyong sayangi kau." Ketika senja mulai menggembala awan-awan merah muda, datanglah tukang pos membawa kabar keberadaanmu. Ia kata kau tengah terdampar di bukit ujung selatan kota kelahiranmu. Kubayangkan kapan kau bisa sampai ke kampungmu, sementara jarak Ibukota dengan kadipaten Ngrawa sangatlah jauh. Tak mungkin jarak itu kau tempuh sedemikian cepat, kurang dari setengah hari.
Sen terdiam, lalu duduklah ia pada kursi panjang, bersandar. Ia teringat sesuatu tentangmu. Yaa, Ruk... Senku sempat memimpikanmu di malam setelah pertemuanmu dengannya. "Nyii, kuimpikan Rukmi pulang kampung esok hari."
***
"Sen, Aku pulang tanpa pamit pada sesiapa. Perempuan sepertiku tak bisa melulu jadi akrab denganmu atau laki-laki lain. Aku perempuan berpendidikan sekenanya, tak bisa melakukan pekerjaan domestik apalagi berkarir sebagaimana perempuan muda di luaran sana. Aku pamit, Sen. Kita akan berteman lewat angin-angin dan hujan, lewat kekolotan dan kecongkakan, lewat kabar burung soal tindas-menindas, sehingga kita bisa saling sesenggukan di bawah langit mega. menyerupaimu, dan namamu, Senja."
Sen habis mendongak, melangkah pulang tanpa menoleh. Di trotoar jalan ia melihat papan reklame besar bertuliskan namamu, Ruk. Memegang kendali atas kedirianmu. Dan ini masih hari yang sama, belum genap 12 jam berlalu, belum genap sebagaimana masa itu, ketika ia meninggalkanmu. Tapi kau sudah lebih dewasa, menjadi tak layak berakrab dengan Senku. Perempuan bujang dengan gincu merah, bernapas dengan bau eslen, asap nikotin, dan bekas peluru di tungkai kakimu. []
Desember 2017
0 Comments