Kita
meneguk secangkir. Malam kemarin lebih singkat, sedikit manusia, banyak karbo,
dan semesta menyapa tepat di menit ke 18. Katanya ini bakal sulit. Lebih sulit
dari menceritakan apa-apa yang pernah. Ini cerita antara bapak dan ragil, di mana
karena kesalehan bapak, ragil lantas memanggilnya abah. Dan kisah itu menjadi
panjang. tak seperti saat aku memanggil orang tua laki-lakiku dengan bapak.
Karena nyatanya, antara bapak dan abah, punya sekat.
**
Aku
bertemu bapak 15 tahun lalu. Kata manusia di sekeliling rumah, tiap pagi bapak
menggendong ragil dengan jarik coklat lusuh, ada robek di beberapa sisi sebab
kena amuk tikus. Tapi bapak tak suka pakai selain yang ia gunakan buat
menggendong tubuh mungil dengan berat tak lebih dari 7,8 kg itu. Setahun, dua
tahun, sampai lewat 3 tahun, rutinitas itu masih dilakukan. Semacam jadi dosa
jika bapak tak menggendong ragil dengan jarik coklat lusuh dan berjalan ke arah
selatan menuju taman kanak-kanak Dharma Wanita.
“Sok
lek wes wayae sekolah, kudu gelem budhal dewe, cah wedok kuwi kendhel.” Bisik
bapak dan kukira ragil tak mengerti apa-apa. Hanya manggut-manggut mengikuti
gerak kepala bapak.
Kita
masih meneguk dan dwarapala menyepahkan lagi kalimat-kalimat sukar itu.
Katanya, ragil tak seharusnya memanggil bapak dengan abah, jika tidak ingin
kisahnya jadi serumit sekarang. Memang apa yang terjadi pada ragil? Tak
ada. Seperti anak gadis pada umumnya, ia berkepang dua. Mulai bersekolah di TK
Dharma Wanita, berteman dengan anak perempuan lain, bermain bola bekel,
rumah-rumahan dari tanah, bongkar pasang, Barbie bekas –dipungut dari tukang
sampah atau pengepul barang-barang bekas, dan tentunya masak masakan.
Jauh
sebelum ragil lahir, bapak dan warga masyarakat sedusun berbondong-bondong membangun
surau. Surau itu diletakkan tepat di depan rumah pak lurah, kakek bapak. Mau
tak mau anak laki-laki keturunan keluarga itu harus jadi penerus, mengurus
surau. Tak terkecuali bapak yang pada masa mudanya masih giat ikut pencak
silat. Sebelum menginjak dewasa, bapak dikirim ke pondok pesantren dan belajar
banyak soal agama. Alhasil bapak jadi pendekar sekaligus santri, ditakuti dan disegani,
di dusun itu.
Waktu
ragil berusia 5, bapak masih melatih calon-calon pendekar di pelataran surau.
Tapi karena perang antar kelompok pencak silat, rumah bapak disterilkan. Tak
ada kegiatan malam atau latihan-latihan bela diri. Berbulan-bulan rumah dan
surau sepi, tak ada pemuda yang berani sekedar jaga malam di surau. Sampai pada
akhirnya ibu ragil berinisiatif membuka taman baca al-qur’an untuk anak-anak
seusia ragil sampai 12 tahun. Rumah dan surau jadi ramai, ragil kembali punya
teman bermain dan belajar.
Setelah
kematian ayah bapak, penerus imam surau dan pengajaran ngaji anak-anak dusun
adalah bapak dan ibu. bertahun-tahun kemudian, derajat kesalehan bapak
meningkat. Buku-buku dan kitab-kitab kuning terkumpul sealmari penuh. Kakak
kedua ragil pun diberangkatkan ke pondok. Tujuannya tentu sama, menjadi penerus
ketika bapak sudah tiada nanti. Sebagaimana bapak, selama di pondok kakak kedua
juga mempelajari banyak ilmu agama, sampai pada nahwu-sharf-balaghah, dari
imriti sampai katam alfiyah, hingga akhirnya memutuskan pulang. Semua berjalan
sesuai dengan apa-apa yang sudah digariskan oleh para pendahulu. Tak ada yang
memesan takdir lain.
Cerita
berubah ketika ragil lulus sekolah dasar. Bapak tak mengijinkan ragil ke SMP.
Sebab bagi bapak, ragil sudah waktunya mempelajari ilmu agama yang lebih
banyak, dan ragil juga harus membiasakan menutup aurat. “Ngelawan bapak itu
Allah ndak redho. Lek wes kewanen (berani, red) ngelawan, keluar!!!” bentak
bapak buat pertama kali. Ragil pun sekolah sesuai keinginan bapak dan ibu,
tanpa perlawanan. Setahun, dua, tiga,
ragil jadi pribadi dewasa sebelum masa dewasa tiba. Menjadi gadis penurut,
pendiam, menerima segala kehendak bapak.
“Agama
itu nomor satu. Biar Gusti redho. Wes titik iku.”
“Agama
itu penyelamat dari nerakane Gusti. Ndak iso setengah-setengah, ndak iso
nego-nego. Sing wis baligh iku wajib hukume ngerti.” Tambah
Abah.
Di
usia 15 tahun, panggilan bapak secara tak disadari berubah, jadi abah. Sebab
usia semakin sepuh dan hampir semua masyarakat sedusun memanggilnya abah. Kesalehan
pun bertambah seiring bergantinya panggilan. Abah juga jadi lebih sering puasa
mutih, senin kamis, qiyam al-lail, dan segenap ritual atau amalan-amalan
dalam basis agama.
Kesalehan pribadi itu merambah ke lingkungan masyarakat sedusun. Abah jadi tokoh agama, tempat merujuk. Kata-katanya jadi fatwa, pesan-pesan sehabis melakoni ibadah pun laik ketentuan yang harus dijalankan oleh masyarakat sedusun. Tak bisa tidak. Jika ada yang menentang, ia bakal dapat masalah, sebab abah juga jadi provokator, menyeru pada kelompok mayor, tak memberikan tempat pada penentangnya. Kesalehan itu berbuntut panjang pada hal-hal privat yang mestinya tak diurusi oleh abah. Seperti bab ibadah individu, abah pula yang ikut jadi hakimnya.
Kesalehan pribadi itu merambah ke lingkungan masyarakat sedusun. Abah jadi tokoh agama, tempat merujuk. Kata-katanya jadi fatwa, pesan-pesan sehabis melakoni ibadah pun laik ketentuan yang harus dijalankan oleh masyarakat sedusun. Tak bisa tidak. Jika ada yang menentang, ia bakal dapat masalah, sebab abah juga jadi provokator, menyeru pada kelompok mayor, tak memberikan tempat pada penentangnya. Kesalehan itu berbuntut panjang pada hal-hal privat yang mestinya tak diurusi oleh abah. Seperti bab ibadah individu, abah pula yang ikut jadi hakimnya.
Kita
tinggal meneguk botol terakhir. Sedang perbincangan soal ragil jadi semacam
guyonan lalu. Tanggapan ragil soal bapak yang jadi abah tambah bikin suasana
malam itu riuh.
“Bedalah…
ketika kamu bicara dengan abahmu, ada tatanan yang mengharuskanmu berlelaku
lebih sopan. Sedang ketika aku bicara dengan bapak, biasa saja, kita bisa
kekancan.” Seloki mengarah pada mulut dwarapala
pertama. Kuhitung ia menenggak lebih dari selusin anggur dalam seloki.
Giliran
dwarapala kedua, lebih tak punya nyali bicara. Tapi seperti biasa, anggur
membuatnya hilang kendali. Dan demi apapun, aku lebih suka melihat mulut manisnya
itu tak terkontrol. “Nilai yang dihadirkan bapak dan abah beda, Ra…
Perbedaan itu nyata dan di-aamiin-i banyak orang. Dan dari kanca-kanca yang tak
kenal, 3 anak yang manggil bapak dengan abah, pasti akan punya tatanan laku
dan bahasa rumit. Harus lebih halus,
harus lebih ini dan itu. Tak boleh melakoni apa-apa yang bisa dilakoni anak
bapak semau udel. Yaaa to? Makanya jangan panggil bapak dengan abah. ah, tapi
bapakku toh sama saja, pikirannya tak mau terbuka, melihat dari satu sudut, dan
menyalahkan selainnya. Manusia-manusia…”
“Bapakku
itu orang yang shaleh. Aku dihormati ya berkat bapak.”
“Oh,
iya jelas, kamu mulai gila rasa hormat.”
“Bapak
itu kadang bener, anak gadis ndak boleh kayak gini. Ndak punya urat malu.”
“Oh,
wis punya malu juga toh…”
“Kesalehan
bapakku itu ada untungnya juga. Aku ndak perlu repot-repot minta tempat di hati
masyarakat sedusunku.”
“Kau
gila jabatan juga ternyata…”
“Tapi
aku ndak menemukan bapak dalam kesalehannya. Itu bukan bapakku. Itu cuma abah
sedusun, bukan bapakku. Bapak tak punya tangan dingin, bapak selalu menyuruh
anak-anaknya mandiri, teliti, ngati-ngati, waspada. Itu ya bukan abah… Yang
menyuruh ibadah-ibadah-ibadah, taat-taat-taat, tapi tak menaruh percaya sama sekali
pada anak gadisnya.”
“Aku
itu bisa berbuat lebih banyak. aku ini perempuan, kudu kendhel. Gitu kata
bapakku, sebelum kesalehan bapak bikin pesanan takdir buatku dicancel. Ah
mungkin aku sudah lama tak punya bapak…”
Seloki
terakhir di tangan ragil. Seloki berisi anggur dari botol terakhir, bukan lagi
cap orang tua. Sebab baginya orang tua tak bisa memberi kebebasan sebagaimana
yang sering ia mimpikan dalam gendongan bapak. []
0 Comments