Dua bulan
lebih sekian minggu, kita merapal beberapa mantra dan teori. Aku jadi ingat satu
buku tebal berjudul ‘Suara Surabaya Bukan Radio’ yang tak habis kita telaah,
meski cuma sehalaman. Penulisnya Arifin B.H. dan aku juga tidak tau siapa orang
ini, Koes. Tapi seperti biasa kau nyerocos dan mengharuskanku membaca. Baiklah,
aku membacanya. Sekian halaman dan kuletakkan buku itu di tempat biasa,
sebagaimana almarhum Adit biasa menaruhnya setelah membaca, di loker tengah
nomor tiga dari atas dan samping.
“Kenapa
berhenti sebelum mencapai klimaks?”
“Harus aku
jawab ulang?”
“Perlu kau
tau, Ruk. Ini bakal di luar kebiasaanmu.”
“Yaa, aku
paham. Dan sudah kupikirkan akan dibawa kemana tubuh dan pikiranku, Koes…”
Aku tak
yakin. Ini hal baru yang tak pernah kumasuki sebelumnya. Bertemu dengan studio,
ruang produksi, menyentuh mixer, mikrofon, berbicara seolah punya daya
memengaruhi pendengar, menjadi liyan dari aku sebelum aku. Koes, benar katamu. Aku
telat menyadari bahwa duniaku bakal lebih kompleks dan akan sering berbalik
beberapa derajat.
Idealisme
saat menjadi pemimpin redaksi salah satu majalah di kampus harus rela
dirongrong idealitas media komersil. Hal-hal kecil, sepele, bisa jadi bakal
sering bertentangan, Koes. Dan itu sudah terjadi beberapa kali. Tak cuma soal
keberpihakan, tapi entah, ini lebih menyebalkan dari yang kupikir sejak awal
melangkahkan kaki di ruang tertua ini.
Kerja di
media seperti ini, laik memasung diri secara cuma-cuma. Kau tak bisa berharap
lebih banyak, memimpikan sesuatu yang lebih tinggi, atau berjalan ke
ruang-ruang sunyi. Pekerjaan ini terlalu menuntut banyak, Koes. Tak sepadan
dengan waktu yang harus dihabiskan mencari ini dan itu, meladeni ia dan mereka,
atau hal yang paling sederhana, merapal mantra-mantra informasi dan berita yang
bisa mendatangkan attention getter pihak ketiga.
“Ruk… berarti
kamu belum menemukan sesuatu.”
“Maksudmu?
Aku sudah belajar banyak hal, Le…”
“Bukan,
nduk. Bukan sekedar belajar. Tapi menemukan sesuatu. Menemukan passion.”
“Maaf, Koes.
Aku belum paham.”
“Lagipula, penyiar
itu bukan pekerjaan, tapi profesi.”
Aku diam
menyeruput robusta tanpa gula. Jam 00.45, tanda mata masuk masanya memejam. Tapi
kuhentikan sebab Koes, kau membuatku berpikir soal beberapa hal. Apa maksudmu
pekerjaan dan profesi?
“Ruk,
harusnya pernah dengar soal beda pekerjaan dengan profesi. Dokter, profesi atau
pekerjaan?”
“Orang
menyebutnya profesi sih.”
“Nah,
karyawan toko, profesi apa pekerjaan?”
“Pekerjaan
sih biasanya.”
“Nah, tau
bedanya kan, Nduk? Kamu butuh keahlian?”
“Setahuku,
tidak semua manusia bisa melakoninya.”
Jadi, maksutmu
sekarang aku sedang menjalankan sebuah profesi, bukan pekerjaan? Mungkin kau
ada benarnya, Koes. Ah aku selalu telat menyadari hal sepele ini.
Announcer adalah
profesi, butuh keahlian khusus dan tidak sembarang orang bisa melakoninya. Menjadi
penyiar harus paham ilmu komunikasi, ilmu jurnalistik, operating skills,
announcing skills, dan teori-teori lain soal kepenyiaran. Ah, aku tak
pernah suka berdiskusi denganmu, Koes. Tapi beban di punukku terasa berkurang
tiap kali bincang singkat ini terjadi. Apa aku harus berterimakasih dan
membuatkanmu wedang jahe lagi?
“Haha, Ruk…
ada satu lagi yang kau lupakan.”
“Apa? Bagiku
ini sudah cukup, Koes.”
“Maksudku,
kau lupa ada satu mimpi terselip di balik mimpi-mimpimu yang terlalu ambisius.”
“Maaf,
memori jangka pendek ini makin lemah sepertinya.”
“Kau pernah
ingin menjadi seorang penyiar, sampai-sampai setiap grup di salah satu media
sosialmu cukup penuh, rekaman suaramu. Ingat? 3 atau 2 tahun lalu, Ruk…”
Aiyaa… Masih
kau satu-satunya orang yang ingat semua mimpi dan ambisi yang kusimpan rapat,
Koes. Bagaimana bisa? Baiklah kau benar lagi soal ini. Aku memang pernah sangat
berharap, tapi tak punya nyali, sama sekali. Bobot pengetahuanku tak layak, pun
soal bakat, ah… jangan pernah membahas itu, Koes.
Satu-satunya
alasan kenapa aku bisa berada di stasiun radio tertua di Tulungagung hanya
karena keberuntungan, iba Tuhan. Selain itu, aku tak menemukan kemungkinan yang
lain, sebab bakat hanya isapan jempol yang tak mungkin kupunyai. Itu kalau aku
boleh merendah di depanmu, Koes. Sayang, kau tak pernah menerima penjelasan
atas dasar merendahkan diri.
Tapi
beberapa jam yang singkat ini membuatku paham, Koes. Aku memang tidak sedang
bekerja. Hanya menjalankan misi Tuhan, jadi manusia yang punya manfaat. Media ini
adalah tempatku bernaung, belajar, berkontribusi memberikan informasi yang
dibutuhkan publik. Apa ini terlalu muluk?
“Sebenarnya
tidak, Ruk. Tapi sepertinya kamu melupakan satu hal lagi. Kalau kamu menganggap
profesimu ini beban, sampai kapanpun kenyamanan itu bakal sulit kau dapat, nduk.
Kecuali profesi ini adalah hobimu, seberat apapun beban tugas dan
tanggungjawabnya, kau bakal mampu menikmatinya. Percaya?”
“Maksudmu,
semacam menganggap ini sebagai hobi yang menghasilkan, begitu Koes?”
0 Comments