“Satu
hilang, satu datang, dan mereka gontai menunggu kekasihnya pulang. Katamu
orgasme bakal terasa nikmat kalau bisa berlama-lama? Aku suka menunggumu
klimaks. Tapi waktu mengejar tak tahu diri. Jadi aku yang kehabisan akal
mencari cara biar bisa tahan lama. Mungkin ada saatnya kita berlama-lama
bercinta, merasai klimaks satu sama lain, dan orgasme di bawah langit dengan
banyak kumulus, menutupi ketelanjangan kita dari sengatnya. Dan… Itu mimpi!”
Terlepas
dari mimpi atau bukan, kamu masih membaca. Dari Pulang menuju Malam
Terakhir dan kamu bakal sampai di persimpangan. Kamu harus memilih membuka
ruang baru atau menuju Laut, dan membiarkan Laut Bercerita perihal
keberadaannya.
“Kamu
terlalu lama menatap kertas dan melupakanku, Koes.” Desir benakmu, membujuk
biar cepat enyah dari kursi.
“Kelamaan
di sini bakal bikin pantatmu penuh bisul…”
Berdiri,
menghadap keluar jendela dan kamu belum sempat menyapa pagi. Kacamatamu turun,
tapi lebih jelas menerawang ke langit. Melihat beberapa gugus bintang dan orion
tepat di atas atap lotengmu. Hasratmu mulai berontak lagi. Tapi matamu seperti
ingin ditinggal saja di jendela dan merekam semua, rutinitas langit saat para
kumulonimbus tidak hadir.
Masih
jam 6 lebih 28 menit. Belum saatnya kamu turun dari loteng. Tapi ritualmu sudah
harus diulang lagi. Tak ada desahan sore, celoteh, dan bising. Tak ada lupa
yang patut dicurigai, kamu lekas menyampirkan piyama, pakai celana dan memaksa
matamu berpaling dari candunya. Bergegas turun tangga tanpa memedulikan
foto-foto dinding kumal.
“Kamu
cuma ingat terakhir membersihkannya satu setengah tahun lalu.”
“Jelasnya
harus segera kamu buang yang ini… ini… dan tadi, nomor dua dari atas.”
“Kamu
harusnya sudah bosan bolak balik melihat lukisan ini. Segera buang, kalau perlu
bakar saja. Atau jual kalau masih laku.”
“Terserah.”
Tepat di anak tangga terakhir perdebatanmu selesai.
Air
keran dingin. Mungkin suhu udara sedang di titik 19 derajat celsius. Tepat
seperti AC kantor yang tak pernah lebih dari dua angka itu. Jari-jarimu
berkerut, tapi ritual harus tetap lanjut. Telingamu juga sudah mulai peka
panggilan-panggilan dari toa surau sebelah. Hampir setahun kamu pisahkan jasad
dari manusia perempuan itu, kekasih yang biasa mengganggu jam tidurmu.
“Pesan
apa malam ini? Aku bakal lapar kalau sampai jam 7 tidak makan, Koes.”
“Kamu
masak.”
“Koes…
bangun. Ayo kita keluar jalan-jalan. Malam ini puncak orion, bakal tepat di
atas kita.”
“Iya,
duluan.”
“Aku
yang traktir. Dua buku satu porsi soto. Tertarik?”
Kamu
sudah bangun, bergegas mandi. Mengingat ada menu apa di jadwal kuliner pasar
yang kamu buat. Tapi ritualmu belum selesai. tak ada hitungan 10 menit selesai
mandi atau sekedar mengingatkanmu sikat gigi malam. Semua jadi fana, tapi air
keran tetap dingin.
Ruang
3x3 di bawah tangga, tersisa satu sajadah coklat. Kamu pilih munfarid,
sebab tak ada ajakan menuju surau. As-Sajdah terbaca sekali semalam. Tak
ada Kahfi, Yaasiin, atau Tabarok. Perempuanmu mungkin lupa
membuat jadwal bacaan tiap minggu.
“Makan
apa kamu malam ini, Koes?” dan kamu sedang tidak menghasrati sesuatu pun. Di
ruang baca ada beberapa sisa buku yang tak ingin kamu pindah posisi, sebab ada
bekas tangan terakhir selain tanganmu. Ada dua gelas sisa kopi, di dalamnya
sudah dipakai tempat beranak semut dan bangkai cicak.
Kamu
naik lagi, melewati tangga. Kali ini mengamati foto-foto yang tercantel di
dinding satu persatu. Kamu ambil tiga, termasuk nomor dua dari atas. Tanpa
membersihkan, kamu taruh ketiganya di jendela menghadapkan masing-masing ke
arah luar.
“Kamu
mulai tak waras, Koes.” Sambil meringis, kamu ambil bola mata sebelah kanan
yang berlumur darah. Tapi tak bisa lagi memasangnya. Sepanjang ruang yang kamu
lewati sudah bau anyir. Debu, sawang, bercampur tetesan darah, hampir
kering.
“Malam
ini kamu mau baca buku yang mana, Koes?”
“Aku
belum dengar kamu baca Koesno Sulung. Bacakan dan kita bakal bercinta
lagi malam ini.” Salah satu permintaan yang tidak pernah bisa kamu tolak.
Kamu
naik ke ranjang, membacakan sinopsis buku bersampul coklat, berlanjut ke
pengantar, satu dua halaman awal dan berhenti, seperti biasa. Perdiskusian
mulai lagi. Perempuanmu tak bisa menahan diri untuk mengatai buku itu sesuatu.
“Tak
bisa kita menikmatinya lebih lama? Ini bahkan belum setengah jalan.”
“Kamu
suka berlama-lama? Seperti jalan menuju orgasme saja.” Dan lagi-lagi kamu
tersenyum cuma karena itu.
“Aku
harus pergi, Koes.”
Kamu
gontai sebelum sampai ke ranjang. Bola matamu menggelinding entah kemana. Satu
sayatan di nadi dan perempuanmu akhirnya hadir lagi. Kepalamu menatap dipan,
buku yang kamu pegang juga ikut jatuh. Kamu tersedak, susah napas, nyeri,
tulang-tulangmu seperti ingin lepas, sudah kehabisan darah.
“Aku
suka menunggumu klimaks, Koes. Berlama-lama menungguimu menuntaskan satu cerita
dan orgasme. Akhirnya hari ini, bisa juga klimaks bersamaan.” Perempuanmu tepat
di samping, telentang, tersenyum, sambil menunjukkan ketelanjangan di bawah
langit biru. “Koes, ada banyak kumulus menggantikan plavonmu.”
0 Comments