Dua bulan ini saya disibukkan dengan tuntutan menyelesaikan skripsi, minimal 80 halaman. Tidak cuma saya, ada 1.250 mahasiswa lain yang juga dituntut selesai gelombang pertama. Di akhir Maret, semua mahasiswa harus mengumpulkan empat eksemplar untuk masing-masing jurusan. Belum terhitung banyaknya revisi, yang juga harus selesai dua minggu pasca sidang. Tidak heran juga kalau masing-masing dari kami harus membeli, setidaknya, satu rim kertas HVS A4 untuk meringankan biaya secara keseluruhan.
Dua hari sebelum memutuskan bakal membeli
kertas, saya sempat berpikir, betapa munafiknya jadi aktivis lingkungan, yang
bilang cinta tapi ikut berkontribusi membunuh pohon berjuta-juta. Saya jadi
teringat film dokumenter berjudul Green. Dalam film itu menceritakan alih fungsi
lahan hijau jadi perkebunan sawit. Pohon-pohon yang ditebang dengan rakus,
kemudian dilarikan ke pabrik-pabrik dan berubah (saat negara api menyerang…
wkwk) seketika jadi lembar-lembar kertas dan produk-produk lain.
Lahan yang semula adalah hutan lindung,
tempat banyak satwa hidup berdampingan, jadi penuh abu sisa pembakaran.
Bukannya melakukan penanaman kembali, hutan itu justru jadi perkebunan kelapa
sawit dengan luas berjuta hektar. Ingatan saya –yang cepak– kemudian beralih ke
film dokumenter garapan mas Dhandy dan kawan-kawan berjudul Asimetris.
Di Film itu juga menceritakan bagaimana
pohon-pohon habis ditebang, digantikan dengan kelapa sawit. Dan di sini,
lagi-lagi keuntungan menjadi alasan paling utama.
Baiklah, yang saya tahu kelapa sawit
memang jadi penyumbang devisa negara terbanyak. Luas lahan sawit sekarang ini
juga sudah lebih dari 11,4 juta hektar. Tentu lahan seluas itu, dulunya
diambilkan dari hutan lindung, yang kaya dengan flora dan fauna. Hilangnya
fungsi hutan sebagaimana mestinya, turut memusnahkan atau memunahkan ragam
pohon dan satwa yang ada di dalamnya. Miris bukan?
Saya jadi berpikir ulang pas mau beli HVS
A4, mengingat kejahatan yang sudah dilakukan oeh manusia terhadap alam. hidup
saya jadi mirip simbiosis parasitisme, dimana cuma ada manusia yang
diuntungkan. Kan jadi tak adil? Sementara pohon-pohon makin berdarah-darah dan
punah, manusia justru makin rakus tak terkendali.
Saya jadi seperti yang melanggengkan
pelacuran. Di mana saya menjadikan produk-produk yang punya bahan dasar minyak
sawit sebagai candu. Memakai kertas-kertas HVS A4 itu sebagai komoditas primer.
Ini semacam pelacuran seonggok daging bernama manusia kepada kapitalisme. Dan
apa yang saya lakukan memang tuntutan atau keterpakasaan, bukankah sama saja? Bukankah
seorang pelacur juga bekerja karena tuntutan ekonomi dan bukan sebab
ketulus-ikhlasannya?
Yaaa… tapi pada akhirnya saya tetap kalah
pada sebuah peraturan, pada sebuah kebijakan. Finally, mahasiswa
semester akhir inipun terpaksa membeli satu rim kertas HVS A4 untuk modal
skripsinya. Dia –dan juga saya– tetap menggunakan sabun, shampo, hand and
body lotion, dan beberapa produk yang berbahan dasar minyak sawit. Yaa
akhirnya begitu. Kita belum bisa melawan candu. []
Tulungagung, 21 April 2018
0 Comments