Mata merah menatap sekumpulan orang yang duduk
lengang di sudut angkringan. Ia mengenal satu di antara orang-orang itu. Ingatannya
mungkin terbatas, tapi sosok jangkung yang duduk membungkuk itu mulai mengganggu.
Laci-laci dalam memori jangka panjangnya mulai terbuka dan ia menemukan satu
nama.
“Yusak, tidak salah lagi.”
Laki-laki berkumis tipis dengan tato bergambar
salah satu jenis Nepenthes itu tak lain ialah Yusak Setiadi, teman
sepermainan semaca kecil. Beberapa windu setelah kepindahannya ke Driyorejo,
komunikasi antara masing-masing orang tua dua sahabat itu terputus.
Tapi Yusak tak melirik sama sekali. Ia tak
memerhatikan sosok kurus yang ada di sisi lain mejanya. Ia asik memutar
kartu-kartu remi dan bermain bersama ketiga kawannya. Ditaksir usia mereka tak
jauh beda. Yusak masih sibuk mengocok kartu setelah terkihat kalah dalam
permainan kedua.
“Ada yang terus melihat kemari. Kau kenal?”
bisik seorang yang menghadap langsung ke arah selatan.
“Abaikan! Toh ia sendiri. mungkin kesepian.”
“Kau belai saja.” Membaca sinis pikiran di
sampingnya.
Sementara mereka masih saling menyindir. Yusak juga
abai. Tidak begitu peduli dengan omong kosong sekawanannya tentang laki-laki bertubuh
kurus di selatan meja yang memandanginya.
Beberapa menit berlalu dan ia mulia lihai dengan
permainan kartunya. Perlahan Yusak sadar kalau cuma dirinya yang tidak luput
dari perhatian laki-laki bermata merah itu.
“Apa ia masih melihat kemari?”
“Kau mengenalnya?”
“Aku ragu. Tapi barangkali dia kenal denganku,
atau kita pernah berurusan?” Yusak mulai serius menanggapi pemandangan itu.
Tak lama berselang ia pilih pulang. Kiranya ia salah
mengira bahwa yang dipandanginya barusan adalah kawan lama. Setelah selesai
dengan urusan kasir, ia beranjak meninggalkan angkringan, menyusuri jalanan
kota yang lebih dulu lengang. Ia masuk ke gang-gang sempit di pinggiran kota
Surabaya dan pulang, menuju rumah singgahnya di perbatasan.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Maaf?”
“Aku Yusak, Yusak Setiadi. Namamu?” kau
mengulurkan tangan dan menyimpulkan senyum sebentar. Akhirnya kau yang lebih
dulu memperkenalkan diri.
“Aku Sulung. Koesno Sulung.”
Dada Yusak sesak. Masih menimbang-nimbang, belum
percaya sepenuhnya. Pertemuan ini, ia tidak pernah duga. Terjadi tanpa tanda,
tanpa isyarat apapun.
“Aku tau kau akan segera mengakhiri jabat tanganmu
yang hangat ini, sahabat lama, Yusak.”
“Kau jalang! Seharusnya kau tidak di depanku
sekarang. Seharusnya kau tidak di sini.” Mata penuh guratan kebencian mulai
muncul dari pandangan Yusak.
Seperti diingatkan masa yang tidak pernah sudi
ditemuinya. Yusak menyimpan sesuatu yang sama sekali tidak diketahui kawan masa
kecilnya ini.
“Aku tidak pernah mau mengerti sesuatu tentangmu
karena malas saja. Tapi kali ini aku benar-benar tidak mengerti. Setelah sekian
lama saling hilang, kau malah membenciku?”
Kita terakhir bertemu 2 kali windu lalu. Ketika wajah
belum setegas saat ini. Tangan atau lengan kita masih sama-sama suci, kukira. Menurutku
tak mungkin kita menyimpan dendam di usia yang begitu muda.
Aku ingin luruskan. Tapi sepertinya ini bukan
masalah sepele yang bisa kuselesaikan dengan satu permohonan maaf. Juga bukan
sesuatu yang tanpa resiko jika keesokan harinya kuajak Yusak bertemu di tempat
yang sama.
“Bisa kita luruskan? Jika memang ada yang salah,
harusnya aku tau soal apa itu…!”
“Manusia diciptakan dengan tingkat kesadaran
yang jumawa. Kau tidak ingat sama sekali dengan tindakanmu?”
“2690 hari aku mencari keberadaanmu, dan ini
balasan ketika kita berhasil bertemu? Kau ini manusia atau bukan?”
Bukan, tak sesederhana itu. Ini jauh dari
perihal mutasi yang dialami oleh ayah Koesno. Ada kebencian yang salah, yang
disimpan terlalu lama oleh Yusak dan keluarga besarnya. Ia, kehilangan
bapaknya, tepat sehari sebelum ayah Koesno mengajak mereka semua pindah kota. Dan
tidak ada yang selesai. 2690 hari yang sia-sia dirasakan oleh keduanya.
“Jika bukan karena hutang budi, aku tidak akan
mau mencarimu.”
“Seharusnya bukan bapak, tapi ayahmu yang kudu
ke liang pekuburan.”
Tapi tak ada yang diucapkan oleh keduanya
selepas bertemu. Mata merah dan matayang penuh amarah itu hanya saling tatap. Tak
ada yang memulai memberi ruang bicara, tak ada yang sesumbar apa-apa.
“Terimakasih, terimakasih atas hening yang kau
ciptakan, Yusak/Koesno.”
Keduanya hanya membatin sembari saling beralih pandang,
berbalik badan, dan pulang. Tanpa ada sesuatu yang selesai atau pernah dimulai.
0 Comments