“Apa
yang bisa kulakukan sekarang? Aku sudah berusaha memikirkan sesuatu yang ingin
aku pikirkan. Aku juga mencari sesuatu yang ingin aku cari. Tapi, aku belum tau
apa yang aku pikirkan, apa yang ingin aku dapatkan.” – Koesno
Sulung
Ingat
film besutan sutradara Nayato Fio Nuola, Cinta Pertama? Baiklah jika tidak
ingat. Tak apa, anggap saja dengan begitu aku akan menceritakan ulang. Film ini
pertama kali rilis kisaran 2006, jika aku tak salah ingat.
“Kenapa
cerita soal film?” celetukmu tampak lebih tengil dari biasanya.
“Memang
kenapa?”
“Aku
cuma mau berpikir, menghindari distract.” Kau kembali menenggak wedang
jahe merah yang sulit sekali berkurang dari cangkir.
Aku,
tak lain korban film sejak pertama kali melihatnya. Aku bisa menghafal hampir
semua adegan yang tokoh perempuan lakukan. Sejak saat itu aku ‘plagiator’ yang
sebenarnya.
Si
pembuat skenario film ini tak lain seorang Titien Wattimena. Kau tau siapa dia?
Ah, Titien juga membuat naskah skenario untuk film ‘?’ atau kita biasa
membacanya Tanda Tanya. Keduanya memberi bekas, seperti dokumen penting yang
tersimpan rapi di salah satu loker di dalam otak.
“Aku
tidak mau membahas apa yang tidak aku tau. Tidak adil bagiku.”
“Aku
menceritakannya, setidaknya kau tahu gambaran singkatnya. Lagipula aku hanya
bercerita dan kita tidak dalam satu forum diskusi resmi, bukan?”
“Dan
hanya menghadirkan persepsi baru?”
Agustus
malam ke sembilan membawa hujan turun serta. Aku yakin sekedar gerimis lewat,
tak ada sekian menit dan mendung pekat mulai putar balik, menyingkir dari
langit di atas rumah kita. Tapi orang-orang masih sibuk memarkir motor dan
memelankan laju kendaraannya. Ini sudah lewat jam 11 malam, memang.
“Aku
hanya mau bilang, Koes. Kata-katamu persis dengan yang sempat nangkring di
naskah Titien. Diucapkan dengan nada resah oleh Alya, tepat ketika masa SMA
hampir habis.”
“Lalu
apa yang dilakukan Alya-mu?”
“Tak
ada. Ia tak siap meninggalkan apa-apa. Ia tak tau apa itu masa depan, untuk apa
dan bagaimana ia harus, seperti kosong.”
“Bukankah
itu cuma soal cinta? Dan akhir dari kisah Alya untuk Sunny adalah kematian?”
“Ingat
kata-kata ini? ‘Merasa ada yang hilang, tanpa tau apa yang sudah ditemukan.
Merasa menemukan tanpa tau apa yang dicari. Dan seperti mencari, tanpa tau apa
yang sudah hilang’ dan hari ini celotehmu…?”
Manusia
hidup dengan bayang-bayang. Tidak ada yang benar-benar baru, hampir segala yang
dilakukan sekedar bentuk perulangan. Kalau disebut baru, tak lebih dari hasil
perombakan, tambal sulam, atau manipulasi. Tak ada yang benar-benar baru, tak ada
yang tanpa bayang-bayang.
Koesno
melakukan perulangan. Ia mencari tanpa tau apa yang ingin ia cari atau yang
telah hilang sebelumnya. Ia berpikir tanpa mengerti hal besar apa yang tengah
mengganggu atau membuatnya gelisah. Ia berpikir tanpa tau apa yang ingin ia
selesaikan.
Perihal
tujuan, Alya dan Sunny tak pernah tepat waktu. Manusia tak punya waktu yang
tepat selama ia berdiam diri. Sementara perihal mimpi, tiga tipe manusia yang
dikatakan Titien, kita tak bisa mendaku diri menjadi satu-satunya. Kita pernah
mengejar mimpi dan sekuat tenaga mewujudkannya. Menjadi pecundang yang mundur
lantas membuang segala apa. Sempat diam, menyimpan mimpi-mimpi itu rapat,
tersembunyi di ruang paling pengap dan bersandiwara, seumur hidup pura-pura.
“Ruk,
apa cita-citamu setelah ini?”
“Pulang,
Koes… Sudah tak ada sisa permainan. Dadu sudah kita undi ratusan kali. Aku akan
kalah pada permainan terakhir. Kau?”
“Manusia
bisa memiliki apa pun, kecuali jalan hidupnya, bukan?”
“Sudahlah,
kenapa diulang? Kau tidak suka hasil perulangan yang disengaja.”
Akhirnya
wedang jahemu tinggal separo, dingin setelah ditilapkan suhu 24 menjadi
19 derajat. Tapi deru mesin beberapa motor masih hangat dan berisik lewat
dengan ongas di depan pekarangan rumah. Tanda bahwa malam belum berakhir, meski
sudah lewat jam satu. Bayang-bayang kesepian, menjadi asing, terkena penyakit
kronis, gejala komplikasi, dan masa tua yang tak luput dari kehilangan, tanpa menyusup
datang di depan mata.
The
Professor yang kita saksikan memberi sugesti yang sama, bahwa kita
adalah yang maha fana. Bedanya, mungkin kita belum gagal memahami kefanaan. Kita
belum gagal menjalani peran. Barangkali bayang-bayang itu memang hasil
manifestasi ketakutan. Satu dari sekian cara yang disediakan Tuhan, agar kita
ingat untuk hidup hari ini.
Hidup
untuk mencapai keputusan demi keputusan, menentukan pilihan-pilihan, mempersepsikan
sesuatu, menjadi konyol, menabrak aturan nilai, moral, melakukan ritual mandi
dan hal sederhana lain, mengenalkan diri pada tetangga, biar pelayat tau siapa
yang pernah tinggal di samping rumah tuanya, menanam bunga dan pohon untuk
menyedekahkan oksigen pada makhluk Tuhan, dan membuat jadwal harian.
“Apa
kita juga harus berpikir mencari, kebahagiaan?”
Tulungagung, 7-9 Agustus 2019
0 Comments