sumsel.tribunnews.com |
"Keranda mayat di samping rumah itu
milikmu, pak?" tanya Rukmini yang baru datang dari Sulawesi, selepas
memungut rindu pada kota kecil di jantung Kendari.
"Buat apa aku bikin keranda dari bambu
reot seperti itu? lagipula aku belum pengen mati." kata Sengkuni.
Matahari melambaikan sinarnya pelan. Lalu
senja mulai nanar dengan geliat mega yang rakus menghambur keluar, seperti baru
bersembunyi lalu tertangkap basah kemudian terbirit-birit ia lari.
Tidak ada percakapan panjang sore itu antara
Rukmini dengan Sengkuni. Mereka berlalu seperti tak ingin saling tahu. Rukmini
menyegerakan diri menuju balai rumahnya yang tandus. Sementara Sengkuni
menghambur melewati denting waktu yang berjalan mundur menyepikan melodinya.
"Ruk, sudah lama sampai?" tanya
seekor ulat yang mulai membuat selimut dengan menggulung-gulung daun pisang
muda.
"Baru saja kuinjakkan kaki di bale ini...
kau mau apa menggulung-gulung daun pisang bapakku seenakmu?" tanya gadis
itu kecut.
"Sudah hampir malam, kau tau. Dan lihat
tubuhku yang dempal sudah mulai melumer. Jika tak segera tidur, aku hanya akan
menyakiti tubuh pemberian alam."
"Tunggu, berapa lama kau akan
tidur?"
"Kau belajar biologi di sekolahmu, bukan?
sesuai fase yang mereka teliti, kurang lebihnya akan sama, Ruk."
https://kompas.id |
Rukmini hanya berdehem dan mengangguk, lalu
membolak balik tubuh ringkih yang terkapar di lantai bale rumahnya yang tandus.
"Manusia memang sudah seperti Dewa ya,
Ruk. Mereka tau segala hal tentangku, bahkan tanda-tanda ke-ada-an dan
ketiadaanku. Ah... aku... merasa tidak punya ruang privat... untuk diriku
sendiri, Ruk. Suatu saat -mungkin- mereka akan berambisi melampaui
Tuhanmu." kalimatnya tersendat-sendat, sembari melafalkan, ia tertelan
daun-daun yang menggulung menyembunyikan keberadaannya.
***
Lalu ia berpuasa, tidak tau berapa lama, dan
tidak tahu apa ia akan bangun dengan mengepak atau tertimbun. Ia tidak tau akan
terbang kemana setelah mimpi panjangnya. Ia bisa ke fananya dunia, atau ke
surga. Ia juga tidak akan tau apa yang terjadi setelah ia memejam mata, karena
masa depan dan kenangan adalah kegelapan yang sama kaburnya.
Rukmini hanya diam sembari menghela napas yang
tidak lagi terasa hangat, tapi menyekat di kerongkongan. Ia membuka tas dan
mengambil beberapa potong jajanan yang sempat ia beli di pasar Turi. Ia
melahapnya, mencoba mengunyah dengan lembut setiap potong yang berhasil ia
gigit.
"Bedug maghrib belum ditabuh tapi sudah
ada yang makan enak, orang Islam kemplur." gertak Sengkuni
"Aku habis perjalanan jauh dan memang
tidak sedang berpuasa, pak. Apa salahnya?"
Tanpa berhasrat membalas jawaban yang
dilontarkan Rukmini, bujang tua itu enyah. Kaki kanan yang setengah pincang
terseret di aspal. Ia menghalau pandangan gadis itu dengan wajah datar seperti biasa,
menyisakan kegeraman.
"Mungkin orang tuanya salah memberi anak
mereka nama. Sengkuni dalam kisah Ramayana bukankah seorang yang picik,
Ruk?" teriak semut rang-rang di atas pohon mangga.
"Ah kau rang... mana saudara-saudaramu
yang lain?"
"Mereka tengah berburu makanan di
belakang rumahmu, Ruk... jam segini ibumu pasti sedang menyiapkan makan
berbuka, bukan?"
"Kau hafal sekali, kakek buyutmu pasti
memberi tahumu tentang hal ini. aku menebak kau cucu yang keseratus
sekian."
Semut itu melempar senyum yang nampak seperti
titik putih dibelantara semak perdu hijau.
"Tapi Sengkuni memang mirip Sengkuni kan,
Ruk?"
"Maksudmu?"
"Ia juga licik semasa hidupnya. Banyak
orang bahkan tetangga yang berhasil dibodohinya. Kau tidak merasa?"
"Heeiii... Selicik apapun paman itu, Ia
setidaknya pernah menyelamatkanku dari pohon besar yang ambruk di
pesawahan."
Dalam benak gadis 21 tahun itu, ia mengakui
bahwa Sengkuni tidak pernah baik terhadapnya. Pohon besar yang hampir mengenai
kaki Rukmini juga adalah hasil tebangan Sengkuni. Ia sengaja mendorong Rukmini
sampai jatuh ketika pohon itu akan rubuh. Tapi ia urungkan niat untuk
mencelakai Rukmini karena datang beberapa orang yang akan menggarap sawah,
hampir-hampir ia dipergoki.
"Kau tahu, kemarin ia didatangi dua orang
kekar berjaket kulit hitam. Masing-masing memakai topi dan punya tampang galak.
Sepertinya penagih utang."
"Lalu? Apa yang terjadi?"
"Ia berlari kabur, Ruk. Dua tahun ini ia
menganggur, dan orang-orang di selipan tidak mau mempekerjakannya."
"Kasihan pak Sengkuni kalau begitu.
Masalahnya dia seorang diri. Orang-orang tidak seharusnya menghakimi pak
Sengkuni seperti itu."
"Setidaknya ia tidak digebuki atau
dihajar orang sekampung kan, Ruk. Kau tau? seminggu sebelum kepulanganmu, Ia
masih sempat mencuri ayam di kampung sebelah. Ia tidak hanya berani hutang,
Ruk... tapi sudah berani mencuri."
"Iyaa,, itu parah memang. Untung tidak
ada hukum potong tangan disini."
"Rukk.."
"Iyaa.. apa kau akan menyusul saudaramu
mengumpulkan makanan sebelum musim hujan benar-benar datang?"
"Apa kau tidak ingin tau kematian
Sengkuni?"
"Maksudmu?"
Tiba-tiba semut itu pergi, menyusuri
reranting, cabang, dan batang besar pohon mangga yang kutaksir umurnya sudah
mencapai 10 tahun.
"Ruk... masuklah dulu nak... istrirahat
saja di dalam. kau pasti lelah. kenapa makan disini?" Ibu menepuk dari
belakang kemudian memeluk hangat tubuh Rukmini yang kecut kumal.
Rukmini mengikuti tubuh gemuk ibunya dari
belakang. Ia angkat lagi tas ranselnya yang berisi penuh oleh-oleh dari Kendari
dan Surabaya, termasuk baju lebaran untuk kedua orangtuanya.
Setelah melempar tas itu ke dalam kamar, gadis
itu kembali mengekor ibunya, sampai ke dapur.
http://kratonpedia.com |
"Ibu masak apa? tidak adalah lodho untuk
anakmu ini?" tanyanya manja sambil memeluk sang ibu
"Adaa... masih di wajan, belum masak
benar, nduk."
"Bapak di mana buk?"
"Bapak masih dipekuburan, sebentar lagi
pulang."
"Ada yang meninggal, buk? Siapa?"
"Itu, pak Sengkuni. Kemarin dia didatangi
dua polisi pakek jaket kulit. Dia ketahuan merampok indo**ret. Trus dia kabur.
Tadi pagi ketemu. Pas mau lari ditembak sama pak polisi. Eh nggak sengaja pas
kena jantung kayaknya Ruk. Lawong langsung tengkurap kok."
Dalam benak Rukmini ada sesuatu yang masih
mengganjal. Ia sangat yakin sebelum menuju rumah ia masih bepapasan dengan
Sengkuni. Bahkan ia masih menanyai Sengkuni perihal keranda bambu yang ada
disamping rumah laki-laki berusia 40 tahun itu. Ia yakin karena celetukan
Sengkuni adalah khas orang yang tidak menyukainya. []
2017
0 Comments