Tak banyak orang tahu mengenai ia, begitu pun kami. Ia datang tiba-tiba dari sebuah daerah yang bernama asing, tak mudah diingat, dan tentu saja susah diucapkan namanya. Beberapa bulan ia mencoba beradaptasi dengan warga kampung yang tak terbiasa dengan kehadiran orang asing. Kampung ini tertutup, kecil dan terpencil di sebuah tempat terluar, nyaris dimakan ombak jika saja tak dihuni oleh kami yang berkulit gelap dan bertubuh tak lebih tinggi daripada warga negara tetangga.
Kala itu ia datang sewaktu musim hujan sedang membikin basah pelataran dan atap genting rumah kami. Desah napasnya tak terdengar, nyaris sama sekali, sebab derasnya air lebih banyak menyibukkan pendengaran kami yang tengah berteduh di pos ronda. Entah mengapa kala itu kami tak menawarinya bergabung di bawah naungan pos ronda, alih-alih membiarkan sekujur tubuh dan kakinya yang bersepatu basah kuyup tanpa pelindung.
Ia menoleh sesaat pada kami, mengawasi kami dengan kewaspadaan telanjang, lalu melanjutkan jalan kaki hingga berbelok ke sebuah gang yang mengarah ke rumah Pak Kyai Wakijo. Semua orang—termasuk kami—yang bertanya-tanya mengenai orang itu kemudian tahu, bahwa ia bernama Sreno. Kami rasa itu bukan nama asli, sebab saat salah seorang dari kami memeriksa kartu tanda pengenalnya, ada nama lebih panjang dan lebih rumit. Tiga kata meliputi nama dan marga, dan tentu saja nama tengah, yang ketiga-tiganya sangat sulit untuk dirapal, apalagi dihafal.
Ia berusia sepuluh tahun lebih tua daripada kami, demikianlah ia memperkenalkan diri setelah tahu usia kami yang rata-rata belum lebih dari sembilan belas. Lalu saat salah satu dari kami mengorek informasi mengenai pekerjaannya, ia tak serta-merta mengaku, bahkan cenderung menutup suasana keakraban di beranda surau itu dengan buru-buru pergi.
Alasan buang kencing adalah alasan yang paling sering kami dengar. Alasan lain adalah pakaian kotornya yang mesti dicuci, kendati malam sedang menampakkan mendung muram, tanpa sesorot cahaya apa pun di permukaannya. Namun bagaimanapun bentuk alasannya, akhirnya kami mesti mafhum bahwa kiranya kami masih terlalu muda, atau kiranya masih bocah ingusan menurutnya, yang kerap kali diliputi rasa ingin tahu berlebihan tanpa dapat dipertanggungjawabkan.
Malam seusai mengaji nadzom ‘Imrithi, kami sempat mencuri dengar pembicaraannya dengan Pak Kyai Wakijo. Dari suara yang amat pelan itu kemudian kami disuguhi kisah mengenai latar belakang Sreno yang sedang berusaha menemukan jati dirinya. Tak lama kemudian kami mendengarnya menirukan kalimat syahadat yang terlebih dulu digaungkan Pak Kyai Wakijo. Ia salah beberapa kali, dan Pak Kyai Wakijo membenarkannya beberapa kali.
Dengan keengganan yang dimantapkan kemudian ia benar-benar bersyahadat, disaksikan sorot lampu dan beberapa makhluk tak kasat mata, dan juga kami yang diam-diam menyelinap dalam kegelapan di belakang surau. Sesaat setelahnya kami benar-benar tahu mengapa Sreno bersikeras mengupayakan langkah kakinya kemari.
“Jadi gara-gara si orang Inggris itu kamu kemari, Nak?”, tanya Pak Kyai Wakijo dengan suara berat.
“Betul, Pak Kyai.”
“Apa lagi yang dikatakan si George…”, tanya Pak Kyai Wakijo sambil mengingat-ingat nama orang Inggris yang dimaksud.
“George Bernard Shaw, Pak Kyai.”, potong Sreno membenarkan.
“Ya. Apa lagi katanya?”
https://www.romadecade.org |
“Katanya, ‘apabila orang semacam Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, dia akan berhasil mengatasi segala permasalahan yang sedemikian rupa hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia… Dia adalah manusia teragung yang pernah menginjakkan kakinya di bumi ini. Dia membawa sebuah agama, mendirikan sebuah bangsa, meletakkan dasar-dasar moral, memulai sekian banyak gerakan pembaruan sosial dan politik, mendirikan sebuah masyarakat yang kuat dan dinamis untuk melaksanakan dan mewakili seluruh ajarannya, dan ia juga telah merevolusi pikiran serta perilaku manusia untuk seluruh masa yang akan datang.’”
“Jika memang ia berucap begitu, berarti ia tidak berdusta.”
“Jadi siapakah sebenarnya Muhammad itu, Pak Kyai?”
“Kanjeng Nabi. Mulai sekarang sebutlah Kanjeng Nabi. Aku menghormatinya. Kita menghormatinya sebagai manusia yang sungguh-sungguh terhormat, bukan hanya berdasarkan status sosial.”
“Maafkan saya, Pak Kyai. Jadi, siapakah Kanjeng Nabi itu, Pak Kyai?”
“Singkatnya, beliau bisa disebut sebagai simbol semesta alam. Makhluk terbaik. Makhluk terkasih.”
Saat ucapan itu kami rasa belum selesai, hujan tiba-tiba turun. Sontak kami berlarian demi menemukan tempat berlindung. Kami yang tak tahu kelanjutan percakapan itu hanya bisa pasrah menanggung penasaran selama beberapa waktu.
Dari hari ke hari, kami melihat Sreno amat rajin beribadah. Sekali-dua tampak sepasang tangannya berlepot semen dan buutiran pasir saat memutuskan ikut membantu mengecor bangunan yang akan dijadikan pondok pesantren. Ia mulai akrab dengan para tukang, dan tak jarang kami melihat mereka merokok bersama di waktu mengaso kala menunggu adzan sembahyang Dzuhur. Dan di malam hari, ia masih meluangkan waktu bertanya kepada Pak Kyai Wakijo, sebagaimana yang pernah kami dengar di malam-malam sebelumnya.
“Jadi, apa yang sebenarnya dibutuhkan manusia, Pak Kyai?”
“Manusia hanya butuh hidup. Ya, kebutuhan primer di antara yang paling primer adalah hidup.”
“Yang lain?”
“Tidak ada, No. Sandang, pangan, papan hanyalah penunjang dan bekal untuk beribadah.”
“Sesederhana itukah, Pak Kyai?”
“Harusnya sesederhana itu, No. Tapi manusia sering lupa. Keinginannya terlalu.”
“Lalu, apa yang sebenarnya diinginkan manusia, Pak Kyai?”
“Pulang. Kembali pada yang membikin hidup. Itulah yang sebenarnya paling diinginkan. Kamu boleh merenungkannya.”
---
Bulan Oktober datang lebih cepat dari yang dapat kami sangka-sangka. Setelah memimpin sembahyang Magrib, Pak Kyai Wakijo bercerita pada kami mengenai fatwa dan resolusi jihad yang dicetuskan oleh Hadratussyekh dari Tebuireng. Kami dibuat melongo oleh cerita yang berapi-api dan penuh romantika menyegarkan itu. Para santri yang berjuang di palagan melawan para penjajah asing membikin kami bergidik sekaligus mendidih dalam emosi tak menentu. Kami merasa bukan apa-apa, tapi kami juga santri.
“Apa yang perlu dirayakan oleh santri masa kini, Pak Kyai? Bukankah kebanyakan orang hanya menilai santri sebelah mata?”, tanya Sreno sesaat setelah Pak Kyai Wakijo membuka sesi tanya jawab.
“Banyak sekali, No. Para santri patut berbangga karena sejarah telah membuktikan bahwa santri-santri terdahulu telah dengan gigih ikut berjuang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Santri adalah cikal-bakal Negara berdaulat, kita bisa menyebutnya begitu. Dan tanpa perlu embel-embel status sosial apa pun, para santri dapat dengan mudah merayakan diri sebagai bagian dari bangsa, sebagai manusia yang punya hak dan kewajiban menjaga keutuhan Negara ini. Kamu paham?”
Sreno mengangguk.
“Jadi, apakah kamu akan ikut merayakan hari santri?”
“Insyaallah, Pak Kyai.”
---
https://www.republika.co.id |
Seperti halnya nama tokoh utama dalam novel Sang Penyair karya Mustofa Lutfi Al-Manfaluthi, Sreno adalah juga seorang penyair. Selama beberapa tahun ia berkutat dengan dunia kepenyairan sebelum akhirnya menempuh jalan sunyi dan belajar agama pada Pak Kyai Wakijo.
Tanggal 22 Oktober, pagi hari usai sembahyang Subuh, Sreno berpamitan kepada Pak Kyai Wakijo dengan harapan dapat meredakan sengketa lahan di kampungnya. Pak Kyai Wakijo hendak memberinya uang untuk ongkos naik bus. Sreno menolak. Pak Kyai Wakijo memaksanya sekali lagi, dan Sreno tak dapat menolak.
Niat meredakan sengketa lahan itu dibarengi dengan niat memperistri Rokisan (ini juga nama salah satu tokoh di novel Sang Penyair), janda yang ditinggal mati suaminya kala merantau di negeri Jiran. Niat itu ia pegang teguh selagi bus melaju hingga beberapa kilometer. Ia tak henti merapal wirid-wirid pendek sambil memandangi gambar Rokisan yang terpajang di dompetnya. Ia tersenyum beberapa bentar pada gambar perempuan yang amat ia cintai bahkan sebelum menikah dan menjadi janda itu.
Entah apa yang terjadi kemudian, harusnya tak perlu diceritakan di paragrap ini. Ah, singkatnya, bus yang ditumpangi Sreno menabrak truk yang menuju arah berlawanan. Lima penumpang meregang nyawa, termasuk Sreno.
http://lumajangsatu.com |
Bambang, salah satu santri di lingkaran kami, mengeluarkan sebungkus rokok kretek dari saku bajunya, menawarkan pada kami satu per satu. Kami merokok sambil bercanda beberapa bentar, lalu suasana berubah hening. Sebab kami berlima, termasuk Bambang, sama-sama digelayuti ingatan mengenai Sreno. Ya, dari pukul sembilan hingga seorang muadzin hendak mengumandangkan adzan Subuh, kami masih membicarakannya, Sreno itu, seraya mengucapkan “selamat hari santri” dengan suara lamat-lamat.[]
04:17
19102019
(Ditulis oleh Hari Niskala,
Si Pengamen Sadha)
0 Comments