Satu
gelas kopi sachet dengan sedikit tambahan gula sudah rampung diseduh. Di kamar
nomor 25 beberapa kali suara masih terdengar. Sesekali cekikikan lalu mendesah
pelan, takut didengar oleh penghuni kamar lain. Padma hampir lupa, ini sudah
lewat tengah malam. Tapi tak seperti biasanya, kali ini pemilik kos abai saja
dengan tamu laki-laki yang menginap.
Ia
masih ditemani secangkir kopi instan dan setoples opak gambir untuk
menuntaskan novel yang menang sayembara tahun lalu. Meski sudah khatam,
buktinya sisa iri dengki masih menyelimuti gadis 24 tahun itu. Sementara suara
desah di kamar sebelah makin tinggi intensitasnya. Padma bergegas turun dari
ranjang, ganti pakaian, membereskan sedikit rambutnya, lalu keluar. Suhu kota
yang bisa nyaris 40 derajat kala siang, benar-benar turun drastis di jam-jam
tertentu. Seperti pagi ini, memasuki jam 03.00, kurang dari 20 derajat.
Padma
masih berjalan tanpa tujuan. Sekira 10 menit kemudian, ia berpikir kembali dan
mengambil kunci motor. Ia buka gerbang agak lebar, menggiring Revalina –motor
bebek yang menemaninya singgah di beberapa kota dalam 5 tahun terakhir– ke
depan gang, lalu menyalakannya. Ia putuskan untuk pergi ke barat, ke kawasan
Tugu yang sudah lebih dulu lengang.
Sampai
di perempatan ke dua, dari arah kiri ia mendengar teriakan seorang bapak. Sepintas
melambaikan dua tangan ke arah Padma. Belum sempat ia menoleh sempurna, motor
dari arah selatan sudah lebih dulu menyambar. Padma terpelanting lebih dari
sembilan meter. Ia sempat membayangkan itu adalah salah satu adegan slowmotion
yang diminta sutradara teater. Bedanya, ia tak lagi menginjak panggung
pertunjukan.
“Mbak,
hei dia tidak menjawab…”
“Ambil
tasnya, ambil tasnya, amankan.”
“Nduk…
sek enom lo.”
“Jangan
dipegang-pegang, Pak… belum ada polisi ini.”
“Jam
segini mana mau polisi datang. Angkat.”
“Bantu
tolong ini, heh mas…”
“Tasnya
ambil. Biar diamankan nanti identitasnya.”
Samar-samar
Padma bisa mendengar banyak suara, mengerumuninya. Tapi dalam benak tak peduli.
Ia hanya ingin tahu nasib pengendara motor yang membuatnya oleng. Bagaimana
keadaannya? Tak ada yang menyebut nama atau menyeru untuk melakukan pertolongan
pertama. Atau sebenarnya ia tak benar-benar disambar? Masih samar-samar dan
Padma kehilangan kendali atas tubuhnya.
Grid.id |
Lima
bulan sebelumnya Padma mendadak kejang. Itu adalah kali pertama ia mengalami
kejang pada seluruh bagian tubuh. Bukan mengejang sebab klimaks atau menuju
orgasme. Gejala yang ia alami cukup serius. Setelah kejang, ia tidak ingat apa
yang terjadi. Kesadarannya menurun dan perilakunya sempat berubah. Padma gagal
mendapat diagnosis dokter, karena tidak sempat melakoni uji sampel darah.
“Kamu
harus periksa. Ini sudah lebih dari 10 kali.”
Ibu
membawakan beberapa jenis obat sesuai resep dokter. Sejak kejang kali ke-tiga,
dosisnya ditambah. Padma tidak pernah bertanya fungsi masing-masing pil yang ia
masukkan ke dalam tubuh, selain sebagai anti-kejang atau menstabilkan
kondisinya. Ibu Padma juga tidak pernah bertanya pada dokter, sebab ia percaya
bahwa medis pasti lebih paham soal yang dialami anak semata wayangnya.
“Minggu
depan kita akan ke Merapi. Bukan ke puncak, mungkin hanya di bawah, menikmati
pemandangan saja. Kau ikut?” Ajak Agus ketika menyambangi Padma di kediaman
karibnya itu.
“Aku
ke belakang dulu, bicaralah dengan ibuk. Siapa tau aku boleh ikut denganmu.”
Belum
sempat sampai ke kamar mandi, Padma mengeluh penglihatannya kabur lalu sebentar
kemudian ia sudah tergeletak di lantai ubin dekat ruang tamu. Agus dan ibu yang
tengah bicara perihal serius tentang kondisi yang dialami Padma, bergegas
masuk. Beberapa menit kemudian ia sudah bangun dengan perilaku dan perkataan
yang aneh.
“Kenapa
Agus melambaikan tangan tadi, bu?”
“Kapan
aku melambai-lambai, Ma…?” Tanya Agus sembari menyerahkan segelas air untuk
Padma.
“Aku
ingin bicara hal yang serius dengan Ibu, Gus.. Kau mau mendengarkan di sini
atau pulang?”
“Maksutnya?”
“Kita
ndak bisa memberi jarak pada maut, bu. Bahkan ketika bapak tidak bersalah atas
apapun, ia disiram air keras bercampur racun. Sebelumnya diserempet motor tiga
kali di hari yang sama. Dan keberuntungan tidak akan selalu datang. Sekali dua
waktu maut memang berwajah manusia, bu.”
Bapak
Padma meninggal awal 2019 lalu, setelah air keras bercampur racun masuk lewat
mata sebelah kiri dan hidungnya. Sempat dilarikan ke rumah sakit namun
penanganan yang sarat administratif membuat tubuh yang sudah sakaratul maut itu
tak sempat ditangani.
Hasil
autopsi juga tak pernah sampai pada pencarian tersangka penyiraman. Ibu dan
Padma pasrah melihat mendiang bapak kesakitan setelah tubuhnya dicabik-cabik.
Tambah sakit sebab tak bisa diungkap dalang dari serangkaian teror berujung
pembunuhan itu.
“Dua
bulan setelah kematian bapak, Padma mulai sering kejang tanpa sebab. Mau
diperiksaken, ndak mau. Jadi cuma obat jalan.”
“Padma
kan tidak apa-apa buk. Besok sudah balik ke kos lagi. Senin kuliah perdana.”
Tegasnya.
“Nanti
biar Agus yang ngawasin Padma, bulek… Kan kos kita juga lumayan dekat.”
“Aku
bukan perempuan yang berkalang lelaki lo ya, Gus… haha. Iyaa, buk. Nanti kalau
aku butuh apa-apa kan bisa bilang sama Agus. Jadi ndak perlu khawatir.”
dreamer.id |
Perihal
yang paling serius dari sikap khawatir ibu Padma sudah bisa ditebak. Ia tak
yakin anaknya mau menyusahkan orang lain selama di tempat asing –bukan
rumahnya. Ia pun membawakan beberapa jimat sebagai pegangan Padma agar
terhindar dari bahaya. Ibu percaya doa-doa yang terkumpul dalam jimat itu
akan melindungi putrinya dari maut yang dibawa oleh manusia, yang pernah tidak
menyukai bapaknya. Termasuk untuk menenangkan emosi Padma yang cepat berubah.
Pesan
yang diingat, ia tidak boleh keluar malam sama sekali, pun jika Agus yang
menemani. Padma juga tidak punya niat melanggar nasihat ibu. Tapi malam itu ia
benar-benar tak bisa tidur. Karena sudah jam 03.00, tidak tahan mendengar
lenguhan yang semakin tidak tahu tempat, Padma memutuskan menghirup udara di
luar. Ia pergi ke Tugu Jogja, sekira 15 menit dari tempat kosnya.
Di
sepanjang jalan ia mengingat kembali perihal paling serius yang ibu dan Agus sempat
bicarakan di teras rumah. Dengan suara lirih nyaris luput, ibu bilang bahwa
Padma mengalami gangguan jiwa pascatrauma. Kata dokter, bisa jadi itu sebab
dari teror-teror yang dialamatkan pada bapaknya beberapa tahun terakhir yang ia
saksikan sendiri. Termasuk ketika tiga sepeda motor dalam kurun sehari, hampir menyambar
tubuh bapaknya.
Kalimat
itu coba ia pahami, sembari bertanya berulang kali pada dirinya sendiri. Sampai
di perempatan kedua sebelum Tugu, Padma berhenti. Mulai berpikir, mungkin selama
ini ia tidak benar-benar kejang? Obat yang diminumnya adalah anti depresan? Dan
beberapa pertanyaan lain tiba-tiba datang menggelayut, mengawang-awang, datang
dan pergi lalu kembali lagi bersarang di pikirannya. Sampai teriakan
bapak-bapak melenyapkan satu persatu pertanyaan itu.
Ia
melirik ke arah kiri dan gagal menemukan sosok yang meneriakinya. Belum sempat
memastikan, motor bebek yang dikendarainya seperti disambar motor lain dari
arah selatan, dan tubuhnya terasa lebih ringan beberapa bentar. Padma terlempar
dan tersenyum. Di saat tak punya kuasa menggerakkan tubuhnya, ia lamat-lamat
ingat pernah mengucapkan sesuatu pada sang ibu.
“Tidak
ada sesuatu yang paling serius kecuali kematian, bu. Perihal maut yang sering
kita tinggal lari menjauh, tak akan bisa benar-benar pergi. Bukankah ia sedekat
nadi? Sia-sia kita sembunyi.” []
0 Comments