Pengunjung masih beriringan datang. Raut-raut wajah pasien,
keluarga pasien, teman, masing-masing was-was, lelah, payah, musam, dan
kesan-kesan lain yang menandakan sebenarnya enggan menginjakkan kaki di sini.
Kecuali bocah-bocah itu.
Mereka datang sumringah, seperti melihat area bermain maha
luas, tapi penuh sesak dengan manusia. Satu bocah tampak asyik bermain di kursi
tunggu, ia nyanyi saja, tak peduli suaranya nyaring, sumbang, atau apa saja.
Bocah itu terus nyanyi di kursi tunggunya tanpa takut dimarahi, tak ada rona
sesal, seperti tak takut pada kematian.
Di lantai dua, ada dua ruangan yang bisa langsung terbaca
bersamaan dengan habisnya anak tangga. Pertama, ruang kelas dan satunya lagi
bertuliskan 'Soenarjo Sadikin'. Di ruang Soenarjo Sadikin, ada tembusan ke
ruang studio rumah sakit dan ruang lain yang pintunya ada di sudut studio
sebelah kiri.
Dalam ruang studio, tak ada kesan muram sebagaimana lantai
satu. Semua melepas topeng iba topeng luka dan topeng-topeng pura-pura. Sampai
seorang laki-laki berseragam masuk lewat pintu sebelah kiri diikuti beberapa
pengawal.
Ia menyalami direktur rumah sakit yang tengah duduk
berbincang dengan dua orang ghost writer. Mereka sengaja dipanggil untuk
menulis biografi hidup sang direktur. Biografi yang nantinya akan menjadi
sejarah -katanya. Mengingatkan orang-orang pada jasa besar sang direktur, yang dianggap
telah mampu menumbangkan tingginya tingkat penderitaan orang-orang desa dan
kota, karena sakit.
"Bos besar sudah datang... Mari saya perkenalkan
dengan dua penulis. Mereka nanti yang membantu bikin buku saya."
"Saya juga akan segera daftar dibuatkan."
Lalu sedikit tawa receh dari penulis bayaran, perbincangan
dua orang penting di kabupaten pesisir itu menjadi lebih intim, serius dan
mulai mengabaikan keberadaan para pengawal dan ghost writer yang sudah
lebih dulu punya jadwal bertemu dengan direktur rumah sakit.
"Posisi itu sudah pasti jatuh di jenengan. Tak
bisa tidak."
"Dia salah meletakkan kaki. Kalau kita sedikit saja
lupa jarak, tak ada yang selamat."
"Siapa lagi yang diseret?"
"Untungnya beliau berhenti bicara. Tapi tetap ambil jarak.
Kita harus main aman."
"Kalau jenengan butuh sesuatu, seperti biasa
saja."
Lalu dengan beberapa kode, calon bupati itu melangkah pergi
lewat pintu yang sama. Studio sebelah kiri, diikuti oleh para pengawal dan
derap sepatu yang melangkah dengan hati-hati.
Rekaman sudah di masing-masing android. Hanya beberapa
menit wawancara itu berlangsung. Direktur mencukupkan bicaranya, mengundang
bagian humas dan meminta dua penulis bayaran untuk melanjutkan perbincangan.
"Jangan sampai memuat hal-hal yang beresiko."
"Maksutnya, pak?"
"Tanya sama bosmu. Kerangkanya sudah dibuatkan. Kalian
tulis sesuai kerangka saja."
Direktur mempercepat nada bicaranya dan meninggalkan
pikiran-pikiran yang dibuat penuh tanya. Desas desus yang terdengar membuat
semua semakin ambigu.
Dua penulis itu mulai menyadari, mereka tengah berada pada
posisi sulit. Mereka sedang membuat perjanjian dengan musuh sekaligus dokter
bagi masyarakat di kota kecil itu. Mereka sedang melayani pembunuh berdarah
dingin yang mengobati sekaligus memaksa tubuh-tubuh masyarakat miskin semakin
sakit.
Bulan kedua mereka kembali menemui direktur rumah sakit.
Pertemuan setiap Senin pertama di awal bulan itu akan berlangsung kurang lebih
empat bulan lamanya. Bulan ini mereka punya waktu lebih banyak bercakap
dengan laki-laki yang berusia hampir separuh abad itu. Secangkir teh dan dua
cangkir kopi menemani perbincangan kaku yang perlahan mulai mencair dengan
kejujuran demi kejujuran dilontarkan oleh pak Dir.
“Saya mungkin salah satu orang paling tidak disukai di
pemerintahan.”
“Bagaimana mungkin, pak? Anda dekat sekali dengan wakil
bupati dan birokrasi.”
“Mereka sahabat, tentu lebih mengenal siapa saya. Yang saya
maksud adalah orang-orang pusat.”
“Anda ingin ceritakan detailnya, pak? Jika berkenan.”
“Beberapa tahun lalu, saya pernah menolak kerjasama
pengadaan obat dengan salah satu merk ternama. Saya pikir, masyarakat di
kabupaten ini tidak butuh itu. Harganya mahal dan bisa diganti dengan
alternatif lain. Tidak harus obat jenis itu.”
“Apa respon mereka?”
“Tentu saja, mereka marah. Saya dianggap kolot dan
merugikan mereka. Tapi apa peduli saya? Daripada tetangga dan anak-anak yang
rugi?”
Dua orang penulis itu menyandarkan punggung ke belakang.
Menarik napas panjang dan berat. Berpikir sejenak untuk mencerna cerita yang
baru saja mereka dengarkan. Bersamaan mengangkat cangkir masing-masing dan
menyeruputnya.
“Suatu saat nyawa saya hampir-hampir dibuat lenyap. Saya
tidak tahu sudah berapa banyak yang menganggap saya musuh. Saya pernah disekap
sehari semalam, waktu di bandara.”
“Anda tidak mengusutnya? Bagaimana Anda bisa lepas?
Ceritanya bagaimana, pak?”
“Mereka mengancam akan membunuh saya jika saya menolak
kerjasama dengan salah satu perusahaan penyedia obat.”
“Masih dengan perusahaan yang sama?”
“Beda lagi. Kali ini lebih besar. Jika saya ambil, tentu
saya akan dapat keuntungan lebih banyak dari gaji sebagai dokter atau direktur.”
“Bagaimana Anda bebas?”
“Mereka lupa bahwa saya juga bagian dari orang pusat. Jika
mereka membunuh saya pun, mereka tidak akan mendapat tempat layak di Indonesia.
Akhirnya saya dilepaskan dengan ancaman yang bertubi-tubi, sampai hari ini.”
“Apa yang membuat Anda berbuat seperti itu, pak?”
“Saya pernah jadi orang biasa. Saat itu ibu saya sakit dan
terpaksa harus dirujuk ke rumah sakit besar. Uang darimana? Saya masih kuliah,
uang beasiswa pas-pasan. Tapi ibu saya dipaksa harus membeli obat-obat kimia yang
mahal itu. Mereka mencekik. Taruhannya hidup atau mati. Dari situ saya bertekad
tidak akan berbuat hal yang sama. Tidak ada tubuh yang ingin menelan pil-pil
mahal. Kecuali dipaksa untuk benar-benar seperti sakit parah.”
Anggapan awal mereka tentang orang di depannya mulai
bergeser. Dua penulis itu sama sekali tidak mengenal siapa orang yang akan
mereka tulis kisah hidupnya. Sebelum sempat berpikir lebih lanjut, direktur itu
berdiri, mengajak keduanya keluar dari studio, turun ke selasar. Mereka bertiga
berkeliling dari paviliun Graha menuju instalasi gawat darurat, melihat sistem
baru yang dibuat pihak rumah sakit.
surabaya.bisnis.com |
Di gedung IGD itu ada tiga jenis pelayanan untuk pasien
kritis. Ruang pertama dengan simbol warna hijau diperuntukan bagi orang-orang
non-kritis, termasuk pasien kecelakaan dengan luka ringan. Ruang kedua
disimbolkan dengan warna kuning untuk pasien semi kritis. Lalu simbol merah
untuk pasien kritis dan butuh penanganan cepat.
“Anggap saja mereka semua adalah keluarga dekat. Tidak
mungkin kita memperlakukan keluarga dekat seperti orang asing, bukan?”
“Anda benar, pak. Anda sudah melakukan sesuatu yang besar
di sini.”
“Ini belum cukup. Perjuangan kita belum selesai. Sebab di
luar sana masih banyak tubuh-tubuh yang dipaksa sakit, lalu membeli obat mahal.
Kita harus menjadi besar, bukan untuk menguasai, tapi memutus mata rantai
penyiksaan yang dilakukan para penguasa.”
Perjalanan menyusuri selasar itu berakhir di depan ruang
jenazah. Dua penulis bayaran kini dibuat kebingungan melihat puluhan anak-anak
bermain riang, tertawa lepas dan berlarian tanpa beban. Sepersekian menit
kemudian anak-anak itu tanpa jejak, selasar sudah kembali sepi. []
0 Comments