Kopi lelet
cangkir bercampur susu selesai diantar, bersanding dengan es jeruk pesanananmu.
Malam ini setelah lewat satu bulan lalu, kita kembali duduk di kedai kopi yang
sama. Lagi-lagi tanpa banyak bicara. Kau sibuk dengan desain pesanan karibmu,
dan aku sibuk mencari kalimat pertama untuk naskah pesanan seorang klien dari
tanah Gayatri moksa. Seperti biasa, kita haus capaian untuk menandai
kemandirian diri sendiri.
Harusnya semua
jelas.
Tidak bisa, mana
mungkin kita minta jatah sebelum semua pekerjaan selesai?
Bukan minta
jatah. Setidaknya ada pembicaraan soal berapa yang kamu dapat. Kita kerja
profesional, kan?
Yaa, kau
benar. pekerjaan ini tidak segampang yang mereka pikirkan. Sayangnya aku tidak
seberani itu bicara soal harga.
Perbincangan
mengenai ‘harga’ memang jadi masalah semua orang. Apalagi ketika berurusan
dengan mereka yang lebih sepuh, kita yang merasa punya hutang budi, sehingga
takut menciderai kepercayaan yang pernah dilimpahkan. Masalah krusial yang
harus sedari awal disepakati ini pun menjadi boomerang bagi bocah-bocah
yang baru memulai usaha mandiri macam kita, mendedikasikan diri sebagai freelancer,
tapi selalu canggung ketika harus menentukan harga.
Walhasil,
kita terpaksa riweuh sendiri. Terpaksa mengerjakan semua tanggungjawab
yang dibebankan oleh klien, demi mendapatkan bayaran sesuai ekspektasi. Belum
lagi jika bertemu klien yang punya banyak kemauan tingkat dewa, perfeksionis? Bisa
jadi akan membuat pekerjaan kita makin lama selesai. Sementara bayaran hanya akan
kita dapat, jika semua pekerjaan tuntas diterima oleh klien tersebut.
Yaa, begitu.
Malam ini kita mengeluh lagi perkara yang sama dengan sebelum-sebelumnya. Beberapa
bentar balasan chat karibmu yang ingin tambahan desain ini dan itu jadi guyonan
yang menyebalkan. Kukira hal itu juga yang kualami siang tadi. Beberapa pesan
yang kuabaikan sedari pagi, lama-lama menggunung. Kuputuskan membukanya satu
persatu.
Lalu kutemukan
pesan dari seorang dosen yang meminta dibuatkan narasi soal perempuan. Tanpa
basa-basi ia bertanya, kapan tulisannya selesai? Sementara sebelumnya
sudah kujanjikan akhir Januari naskah bab dua itu kukirimkan. Tapi sampai
cerita ini selesai, satu halaman naskah itu belum juga kukerjakan. Berdosa? Anggap
saja tidak ada dosa di antara kita. Sebab menulis tidak semudah itu, bu… Rasanya
ingin kukatakan demikian, tapi tak berani. Akhirnya kubalas pesan singkat itu
dengan meyakinkannya, bahwa naskah bab dua akan segera selesai, tepat waktu.
***
Kau mau
membantuku?
Tidak lihat
aku sedang apa? (ketus seperti biasanya)
Sibuk, aku
tahu… Tapi kali ini aku benar-benar butuh bantuanmu.
Jangan sekarang!
maksudku kita bicarakan setelah desain ini selesai, bagaimana?
Kalau tidak
mau membantuku, bilang!
Bukan begitu,
bocah.
Baik aku
minta maaf. Setelah ini, pasti kubantu.
Lalu kita
diam beberapa bentar, menatap laptop masing-masing. Sesekali menyeruput kopi
Temanggung Arabica yang kau bawa sendiri dalam termos mini. Mengabaikan sekeliling.
Bahkan baru sadar musik kedai sudah lama berhenti. Lagu terakhir yang diputar
pun kita lupakan. Hanya selingan gitar dari meja sebelah yang terdengar,
ditambah beberapa tawa dari segerombol orang di sisi barat.
Tak lama
berselang, pesan kembali muncul. Kali ini dari seorang ibu, meminta dibuatkan
naskah puisi untuk gadis kecilnya yang duduk di bangku kelas dua sekolah dasar.
Sekali lagi tanpa basa-basi.
Mba, bisa ya
buatkan adek puisi soal perjuangan seorang ibu?
Adek lusa
disuruh ikut lomba baca puisi. Temanya soal ibu.
Ditunggu yaa,
mbaa. Terimakasih.
Aku hafal
benar, ibu ini tidak pernah memberikan apa-apa selain rasa terimakasih yang
mendalam. Menolak pun tidak mungkin, karena relasi yang kami jalin sejak satu
tahun lalu membuatku tidak berjarak dengan keluarganya, terutama gadis
berkacamata yang selalu didoakan oleh sang ibu, mengikuti jejak sebagai penyiar
radio.
Siap, bunda.
Nanti segera kakak kirimkan yaa, bund.
Akhirnya satu
tugas gratis meminta dikerjakan secepat mungkin. Tanpa tahu berapa banyak pekerjaan
yang antre untuk segera diselesaikan. Setidaknya aku masih berkecimpung di
dunia yang sama, perkara menulis yang hampir tidak ada harganya sama sekali. Setidaknya
aku menyukai pekerjaan ini, sebagai profesi dan bukan sekedar hobi.
Aku tidak
tau, bagaimana denganmu?
Yaa, hampir
sama. Mungkin perkara menulis dan desain tak ada bedanya.
Atau kita
yang kurang tegas dan tidak profesional?
Mungkin,
bisa jadi begitu. Lagipula, kita masih merintis.
Kurang sabar
apa kita?
Aku sabar,
kamu aja yang nggak sabaran. Ngadepin gitu aja ngeluh.
Aku diam
lagi. Sebab kau mulai menyebalkan seperti sebelumnya. Menjadi karib baru yang anti
mendengarkan keluhan. Padahal kita punya nasib buruk yang sama. Menjadi pekerja
tidak tetap dengan bayaran yang tidak tepat pula. Mungkin kau merasa lebih
beruntung, sebab ada tambahan amunisi dari berjualan kopi. Tapi dari sisi lain,
aku juga merasa lebih beruntung sebab ada tambahan amunisi dari menjual diri…?!
[]
0 Comments