Setiap persidangan itu
digelar, tiap-tiap warga harus menyetor uang. Lebih dari satu juta rupiah untuk
satu kali menghadiri sidang. Biaya sewa pengacara kondang dari ibukota memang
tidak murah. Maka mau tidak mau mereka harus iuran, demi hak-hak mereka terwakili
saat berhadapan dengan pihak TNI. Belum lagi iuran buat sewa tiga sampai empat kendaraan
untuk bisa ke tempat persidangan yang memakan waktu sepersekian jam. Berapa biaya
yang harus mereka keluarkan jika dalam kurun satu bulan sidang digelar 3-5
kali?
Tapi bagi warga Kaligede,
keluar uang akan lebih baik daripada kehilangan rumah yang sudah mereka tempati
berpuluh-puluh tahun, yang diwariskan oleh moyang sejak babat pertama dusun
itu. Ganti rugi dan rumah yang rencananya disediakan oleh pihak lawan dianggap abang-abang
lambe oleh warga. Sedang Bu Kepala Desa pilih main aman.
Sejak awal, hubungan kepala
desa dengan warga Kaligede memang tidak harmonis. Dari tiga dusun yang
dibawahinya, Ia dan suami –yang masing-masing sudah menjabat dua periode– menganggap
warga Kaligede teramat kolot dan susah diatur. Sementara itu, warga Kaligede
yang selama ini merasa dianaktirikan, karena tidak pernah mendapat jatah kursi perwakilan
sebagai perangkat desa, pilih mengambil jarak.
Kegeraman warga Kaligede
semakin memuncak tatkala mengetahui kepala desa beserta beberapa perangkat
justru menjalin kerjasama dengan pihak yang ingin mengambil tanah warga, dengan
alasan dijadikan markas tetap. Kerjasama kali ketiga itu terjadi satu bulan
lalu. Tidak ada warga yang dilibatkan, kecuali ketua karangtaruna. Tidak hanya
warga Kaligede yang bersungut-sungut, tapi beberapa warga dari dusun Panggungkalak
dan Dlodo, yang notabene membela saudara-saudaranya yang tinggal di Kaligede
juga ikut geram.
Kalau terus begini, tidak cuma
nepotisme lagi, kita bakal diombang-ambingkan ndak jelas, mereka terus yang untung,
kita bakal tetap kehilangan tanah ini.
antaranews.com |
***
Auf, pemuda Kaligede. Baru saja
pulang merantau dari Hongkong. Sejak tiga tahun meninggalkan rumah sampai
kembali, ia merasa tidak ada perubahan. Tanah di dusun tetangga tetap menjadi
sengketa, posisi kepala desa tetap dipegang oleh keluarga yang sama,
perangkat-perangkat desa juga dipilih dari kerabat dekat si kepala desa. Ia merasa
dipecundangi, tapi pemuda-pemuda seumurannya belum pada kembali dari merantau. Hanya
Auf dan tiga perempuan yang kembali di waktu bersamaan.
Lalu kita mesti apa, Auf?
Kita harus bicara dengan
ketua karang taruna sialan itu. Setidaknya dia bisa kita paksa menceritakan apa
yang kemarin dia dengar waktu pertemuan.
Baik, setelah itu baru kita
susun rencana, begitu?
Bisa jadi, Ro.
Rokis menunggu waktu yang
tepat untuk bertemu dengan Sulung, ketua karang taruna. Atas permintaan Auf,
Rokislah yang bertugas mengajak Sulung bertemu di sebuah warung kopi di sisi
timur pantai Dlodo. Tak perlu waktu lama, Sulung mengiyakan ajakan singkat pagi
itu dan memutuskan berangkat menuju pantai sekitar pukul 14.30.
Di sana sudah ada Auf dan Kisan.
Mereka menunggu-nunggu kehadiran Sulung, tanpa berharap banyak. Mengingat
Sulung seringkali tidak bisa mengutarakan semua hal yang ia ketahui pada
karib-karibnya secara jujur. Apalagi antara Sulung dan Auf juga tidak pernah
punya riwayat hubungan baik.
asapua.com |
Aku sudah tau kalian di sini.
Sulung datang lebih awal
sepersekian menit.
Kau datang, akhirnya. Rokis
persilakan tamu kehormatan kita untuk duduk dengan nyaman.
Kau jangan mulai, Auf. Duduklah,
bang. Kau kan hapal siapa yang suka bikin onar. Pandang yang bikin kau rindu
saja, misal aku, bang. Oh, biar kupesankan kopi dan gorengan dulu. Rokis berusaha mencairkan
ketegangan antara Auf dan Sulung.
Sekembalinya Rokis, tiga orang itu masih belum bicara. Hanya saling memandang ke arah laut, entah
canggung atau memang berusaha mendengar kalut yang dibawa tiap debur.
Bang, aku tidak suka
bertele-tele. Tentu kau paham, kita semua di sini ingin tau apa yang kemarin kau
dengar dari ibu kepala desa dan antek-antek TNI itu.
Hmmm… Aku sulit memulainya. Tapi
aku sudah punya niat untuk menyampaikan kabar ini secepat-cepatnya.
Lalu kenapa tidak kau
sampaikan setelah pertemuan itu selesai? dasar muka dua.
Auf, kau selalu menuduhku yang
bukan-bukan. Sudah kubilang aku sulit memulainya. Lebih takut ketemu kalian.
Sul… kita teman dari kecil,
kan? Anggap saja seperti itu. Lupakan dulu perseteruan yang pernah terjadi. Sekarang
kau bisa menceritakan detailnya. Biar kami dan orang-orang Kaligede bisa segera
ambil sikap.
Kisan, mulai cemas. Rumah orangtuanya
adalah satu dari beberapa puluh rumah yang akan digusur jika pengadilan
memenangkan pihak lawan. Sementara ia sendiri menyadari kekuatan lawan jauh
lebih mengerikan, sebab ia punya apa-apa yang tidak dipunyai orang-orang
dusunnya, terutama kekuasaan.
Kisan, maafkan aku. Setelah ini
kau bisa kabarkan ke seluruh warga. Pengacara yang selama ini membantu warga
Kaligede, sudah dipastikan bakal menerima suap. Jika itu benar terjadi, dalam
waktu dekat kalian sudah pasti kalah.
Kenapa bisa? Pengacara itu
sudah 8 tahun lebih membantu warga. Sudah banyak uang yang kami keluarkan, sul…
Anjing semua ini.
Bang, apa tidak ada yang bisa
kita lakukan? Kau punya banyak kenalan kan? Mereka bisa membantu kita dan warga…
Auf, Ro… maafkan aku, setelah
pertemuan kemarin, aku sudah berusaha menghubungi kawan-kawan di ibukota. Masalahnya
beberapa warga Kaligede sudah menerima uang ganti rugi dan siap direlokasi ke
perumahan atas. Dan masalah sengketa tanah, kau tentu tau siapa yang bakal
dimenangkan pengadilan.
Tinggal tiga bulan lagi,
untuk sidang terakhir, Kis… ini kabar buruk untuk kita.
haluanriau.com |
***
Kelopak mata Kisan tidak bisa
lagi membendung air matanya. Ia segera berlari, memacu kendaraannya dan pulang
menemui bapak ibunya. Mendengar apa yang disampaikan anak perempuannya, Sunaryo
memukul kentongan di depan rumah. beberapa sandi yang sudah sangat hafal di
telinga warga membuat beberapa warga langsung berkumpul di pelataran rumah Sunaryo.
Dengan muka muram, Sunaryo
berusaha mengatakan apa yang didengarnya kepada warga lain. Masing-masing yang
mendengar kabar itu menundukkan muka, menganggap perjuangan mereka selama
beberapa tahun terakhir akan segera sampai pada kesia-siaan. Sementara ibu-ibu
mulai mengutuk kepala desanya dan perangkat-perangkat yang dianggap sudah
mencerabut hak-hak warga Kaligede atas tanah yang mereka tinggali.
Auf, Sulung dan Rokis
buru-buru menyusul ke rumah Kisan. Mereka kaget melihat warga Kaligede sudah
mengerubungi rumah Kisan dengan wajah murung yang marah. Mereka bertiga paham sumber
kemurungan dan kemarahan itu. Tapi tak bisa berbuat banyak. Sebelum mereka
sempat masuk ke rumah Kisan, tiba-tiba kerumunan warga itu bubar. Ternyata mereka
sudah lebih dulu menyepakati sesuatu tepat sebelum ketiga bocah itu sampai di
depan pekarangan.
Terimakasih sudah memberitahu
kami. Setelah ini urusan orang-orang tua Kaligede. Kalian pulanglah. Sunaryo berbicara dengan lebih
tenang daripada sebelumnya.
Tapi maaf pak. Boleh tau apa
yang barusan kalian sepakati dengan warga?
Hanya sedikit rencana, untuk
membuat orang yang gila kekuasaan jera.
Tanpa bertanya lagi, ketiga
pemuda itu akhirnya pilih kembali ke rumah masing-masing. Mereka sadar diri
bukan bagian dari Kaligede, tak boleh terlibat dalam rencana, sama sekali. Mereka
hanya harus menyusun strategi untuk menggagalkan pembebasan lahan Kaligede,
atau setidaknya mengulur waktu.
Dua hari berikutnya sesuatu
yang aneh terjadi. Tak ada seorang perangkat pun yang datang ke balai desa. Padahal
masih Selasa dan bukan tanggal merah. Tapi tak ada kegiatan apapun yang
dilakukan. Setelah dicaritahu, ternyata semua perangkat yang kemarin menghadiri
pertemuan menderita cacar dan diare secara bersamaan, termasuk kepala desa dan
segenap keluarga besarnya. Hanya Sulung, anak terakhir kepala desa yang terbebas
dari cacar. Sebab ia lebih dulu pergi ke Dlodo menemani kedua karibnya menyusun
strategi. []
0 Comments