Koesno merasa punya hutang budi pada setiap daun yang merisak. Entah
angin, ranting kering atau tetes hujan yang membuatnya jatuh, Koesno selalu
berpikir bahwa tiap-tiap daun manyimpan satu nyawa manusia. Jika semua daun
jatuh, maka manusia juga akan terpapas, habis. Oksigen yang ia hirup tiap
sepersekian detik seakan punya daya magis yang mengingatkannya pada proses
panjang pohon-pohon, untuk bisa memproduksi apa-apa yang dibutuhkan manusia. Sejak
kesadarannya penuh untuk mencintai pohon-pohon, ia tak pernah lagi absen
menanam, meninggalkan pekerjaannya di kampung sebelah, nyenso. Sebab ia
tak mau berurusan dengan penebangan pohon. Ia anggap itu adalah agenda kotor
dan hanya menyakiti kekasihnya, aneka jenis pohon-pohon.
Hingga kini, Ia masih merasa bersalah karena sekawanannya kerap
menebang habis tanpa menyisakan pohon-pohon muda. Hampir tak ada pertimbangan
serius ketika mereka akan mulai menebang. Mereka tak peduli berapa diameter
apalagi usia lingkaran tahun pada batang-batang yang mereka tebang. Hal utama
yang ada di dalam pikiran masing-masing hanya mendapatkan banyak pohon dalam
waktu sesingkat mungkin, untuk bisa meraup keuntungan berlebih. Masa bodoh
dengan hewan-hewan yang menggantungkan hidup pada dahan-dahan pohon itu. Masa bodoh
dengan dampak jangka panjang dari penebangan yang mereka lakukan. Masa bodoh
dengan murka alam yang bisa berwujud banyak wajah bencana.
Dan seperti yang lain, Anwar juga tak menaruh peduli sama sekali. Sebagai
penebang pohon paruh waktu yang merasa dirinya paling profesional, Anwar hanya
akan menuruti apa yang diminta klien, mengambil semua pohon yang ada di hutan untuk
ditebang –tanpa ijin resmi. Lalu atas apa yang dilakukannya, harga yang diminta
telah dikalkulasi sedemikian rupa, termasuk upaya kongkalikong, dengan tambahan
uang kopi dan rokok untuk beberapa preman kampung.
“besok dini hari, ambil jam tiga di jalan Mayor Sujadi. Nanti titik
persisnya aku kirimkan.” Ucap Sodikin kepada pengepul kayu-kayu langka via
telpon.
“kau sudah sepakat harganya, Kin?”
“sudah jangan kuatir, ini orang berani bayar mahal. Udah DP jadi pasti
bisa dipercaya.”
“bisa ruwet lagi kalo urusannya ketauan petinggi kabupaten.”
“yang satu ini kita aman, War. Bos besar sudah kasih kode ke Ibuk. Amanlah
kalo sudah sama Ibuk. Kita tinggal jalanin rencana.”
Sadikin masih berusaha meyakinkan Anwar, kalau ‘Operasi Fajar’ esok
hari tidak akan menimbulkan masalah yang menyulitkan mereka. Tapi meski sudah
dijelaskan panjang lebar, Anwar masih saja was-was. Khawatir kejadian 5 tahun
silam kembali menimpanya. Kekhawatiran bocah 28 tahun itu beralasan, sebab di
operasi sebelumnya Koesno melaporkan illegal logging yang dilakukan oleh
Bos besar dan sekawanannya, termasuk membeberkan keterlibatan Anwar dan Sadikin
dalam operasi fajar.
Akan tetapi kasus itu ditutup begitu saja tanpa tindak lanjut. Berkat
pertolongan salah satu calon dewan perwakilan rakyat yang lebih sering mereka
panggil dengan sebutan ‘Ibuk’. Mereka semua selamat dari jerat hukum, tanpa kehilangan
anggota. Hanya saja, keuntungan ekspor kayu-kayu langka saat itu harus rela
dibagi tiga dengan pihak-pihak yang sudah bisa diajak kompromi.
***
Koesno mendatangi Anwar di kontrakan lama mereka, bekas kantor
salah satu radio kenamaan di kota plat AG. Di sana, ia memberanikan diri bicara
dan mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh saudaranya itu keliru. Percakapan yang
sangat dingin terjadi beberapa bentar, sebelum akhirnya Sadikin datang dan
langsung menghujani Koesno dengan bogemnya.
“kau ini tolol, tidak punya otak, bodoh. Apa maksudmu melaporkan
kita?”
“kalian yang goblok. Mau-maunya jadi budak orang-orang yang makan
uang rakyat. Sudah gitu kalian masih mau diperalat.”
“kowe kudu inget, Le. Di perutmu itu juga ada duit hasil kerja kita
semua di sini. Kowe ndak usah sok suci. Kerjamu yo tau di sini. Banyak bacot.”
Dan beberapa bogeman lagi mendarat sempurna di kedua pipi Koesno. Membuat
muka tirus lusuh itu makin tak karuan bentuknya. Baru ketika darah segar mulai
mengalir dari lubang hidung sebelah kiri, Sadikin menghentikan tinjunya. Anwar
yang tidak tega melihat adik semata wayangnya hampir tak sadarkan diri sesegera
mungkin mengangkat tubuh Koesno dan memindahkannya ke kursi ruang tamu.
Dengan cepat ia juga mengontak dokter Eko yang membuka praktik
tidak jauh dari kontrakan mereka. Namun karena sedang tidak begitu sehat,
dokter sepuh itu tidak bisa datang memenuhi panggilan Anwar. Ia hanya memberi
saran agar Anwar mencari daun sirih untuk membantu menyumbat aliran darah dari
hidung Koesno. Dengan gugup ia minta tolong Sadikin untuk mencarikan daun sirih
dan apapun yang bisa membuat adiknya merasa lebih baik.
“kau berlebihan. Dia adikku satu-satunya, Kin.”
“dia yang mulai. Kita hampir membusuk di penjara gara-gara
kekonyolan adikmu.”
“tapi kita ndak dipenjara kan?”
“iyaa tapi anak ini bahaya, War. Dia tega melaporkanmu, kakaknya
sendiri.”
“wes-wes… iyaa Koesno salah. Biar nanti aku yang kasih pelajaran ke
dia. Tolong carikan apapun biar dia cepet pulih, cepet sadar.”
Sadikin masih mengomel sembari keluar mencari daun sirih. Ia setengah
marah, setengah menyesal telah memukul Koesno dan bertindak keterlaluan. Tapi 75%
di dalam pikirannya, Koesno harusnya dihabisi. Sedangkan beberapa menit
kemudian ia berubah pikiran dan merasa masih punya kesadaran dan nurani untuk
tidak berlaku sembrono.
Setelah berjalan 150 meter ia menemukan daun sirih. Dipetiklah daun
itu sejumlah ganjil dan langsung membawanya kembali ke kontrakan. Lagi-lagi
tanpa mendapatkan ijin dari si empunya tanaman. Sementara di kontrakan, Koesno
tak bisa bangun. Ia masih merengek, merintih dan cengar cengir menahan sakit di
sekujur wajahnya. Tinju-tinju Sadikin nampak membuat bekas lebam keunguan di bagian pelipis
dan di kedua batas bibir. Baru pada waktu Sadikin kembali, Koesno mulai bisa
membuka mata dan berbicara pada keduanya, tersengal-sengal.
Koesno meminta Anwar dan Sadikin berhenti menebang dan melakukan
operasi fajar. Sudah cukup banyak kerugian yang keduanya alami hanya karena
mati-matian membela pejabat kabupaten yang terbukti ikut dalam operasi fajar
tersebut. Lalu ia menceritakan mimpi-mimpinya tentang tangisan manusia yang
bersujud di bawah pohon-pohon memohon ampun pada alam yang telah mereka rusak
dan telah mereka ambil semena-mena. Dari mimpi berulang itulah beberapa tahun
sebelum pelaporan, Koesno memutuskan berhenti dan meletakkan topengnya. Topeng yang
sudah diwariskan oleh mendiang bapak, agar adik kakak itu bisa bertahan hidup.
Topeng itu, sebagai penanda bahwa dulunya, Koesno, Anwar dan Sadikin adalah
remaja yang dipaksa dewasa sebelum usia membuatnya dewasa. Lewat topeng itu
mereka bisa mengubah jati diri dan leluasa menebang pohon-pohon dan menjual
atau mendistribusikannya tanpa diketahui orang-orang yang hidup satu lingkungan
dengan ketiganya.
***
Jam 02.45 WIB Anwar dan Sadikin mulai bersiap menjalankan aksinya. Kali
ini Sonokeling, di mana kayunya memang dicari-cari untuk bahan properti berkualitas
tinggi. Dua minggu sebelumnya mereka berhasil menebang 59 pohon Sonokeling
tanpa perlawanan berarti dari masyarakat. Sekarang saatnya mereka membawa kayu
gelondongan itu keluar Jawa, sesuai pesanan Ibuk dan Bapak Bos.
Anwar masih gusar, takut kalau apa yang sudah lama tidak mereka
lakukan ini tercium celahnya. Meski sudah tidak mencurigai Koesno, akan tetapi
tetap saja nurani Anwar berkata lain. Sementara Sadikin sudah memberi arahan di
mana mereka harus bertemu dengan pengepul kayu yang berasal dari kawasan Lombok
itu. Setelah lokasi terkirim, mereka mulai ke belakang, membuka bagasi dan
mengeluarkan dua truk berisi Sonokeling berbagai usia.
Tepat jam tiga dini hari, pertemuan itu terjadi antara calon
pembeli, Anwar dan Sadikin. Semua berjalan lancar, bahkan Ibuk dan Bos besar
ditelfon segera oleh Sadikin setelah menerima upah sesuai dengan kesepakatan.
Anwar yang sempat waswas segera bisa mengendalikan diri dan tenang. Tapi tidak
berselang lama, dari kejauhan tampak beberapa orang memegang parang datang
menghampiri tiga orang yang mulai kehilangan canggung satu sama lain.
Tanpa basa basi parang itu disabetkan dan mengenai tubuh Sadikin. Anwar
yang berdiri agak jauh dari Sadikin karena harus mengangkat telfon dari Koesno,
membuang topeng dan langsung berlari menghampiri tubuh Sadikin. Darah segar
kehitaman menyeruak memunculkan bau anyir, menyengat. Belum sempat beranjak
dari tempatnya memangku Sadikin, parang itu menyentuh dada bidang Anwar.
Toa masjid lamat-lamat mulai sedikit mengusik gendang telinga
orang-orang yang lelap. Deru truk yang membawa gelondongan Sonokeling segera
dikemudikan oleh pembawa parang, meninggalkan dua mayat yang masih menganga
luka bekas sabetannya. Lalu angin membawa beberapa daun terpisah dari
rantingnya. Terbang menjauh dari inang dan entah menuju ke mana. []
0 Comments