A. Latar Belakang Masalah
Haramayn
merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut dua kota yang disucikan oleh
umat Islam, yakni Makkah dan Madinah.[1]
Lewat dua kota ini sejarah Islam dimulai, mengalami perkembangan, pasang surut
hingga semangat pembaruan. Pada abad ke-15 menuju abad ke-16, Haramayn juga mulai
dikenal sebagai pusat pertemuan para ulama dan intelektual muslim yang berasal
dari berbagai negara. Pertemuan tersebut tidak hanya dalam rangka berhaji, akan
tetapi juga dalam rangka membentuk jaringan yang berusaha menghadirkan
wacana-wacana segar dengan semangat pembaruan Islam.[2]
Selain dari ulama Timur Tengah, banyak ulama yang berasal dari Nusantara juga
terlibat dalam jaringan ulama di Haramayn tersebut. Jika ditelusuri lebih
lanjut, persebaran nilai-nilai dan semangat pembaruan Islam yang dilakukan oleh
jaringan ulama mulai berkembang ketika memasuki abad ke-17.[3]
Namun
dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa semangat pembaruan dalam Islam baru
terlihat ketika sudah memasuki abad ke-19.[4] Hal ini ditandai
dengan mulai munculnya tokoh-tokoh pembaharu yang membawa banyak kontribusi,
baik dalam pemikiran, perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Di wilayah
Timur Tengah, wajah baru Islam tampil dalam pemikiran yang dibawa oleh Muhammad
Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha. Keduanya berupaya menghadirkan gagasan
mengenai Islam yang mampu berjalan beriringan dengan semangat modern.[5]
Sementara
di Nusantara, adanya pembaruan Islam baru muncul di awal abad ke-20, yakni
dengan kembalinya para sarjana muslim Indonesia dari Timur Tengah.[6] Para sarjana
tersebut pulang dengan membawa gagasan modernis yang dipelajari dari Muhammad
Abduh.[7]
Namun demikian, beberapa sumber kebanyakan hanya mencatatkan perkembangan dan kemajuan
dalam bidang politik, sehingga belum sampai lebih jauh menyentuh penyebaran
gagasan mengenai pembaruan pemikiran Islam itu sendiri.
Menurut
Azyumardi Azra, ada beberapa hal yang luput dari fakta kesejarahan pembaruan
Islam. Sebenarnya jauh sebelum itu, gagasan mengenai pembaruan Islam sudah muncul,
yakni telah dimulai pada paruh kedua abad ke-17 dengan adanya jaringan ulama
global. Keberadaan jaringan ulama tersebut, yang pada saat itu berpusat di Haramayn
atau Makkah dan Madinah, membawa proses pengembangan dan penyebaran pembaruan
pemikiran Islam yang sangat dinamis. Berangkat dari hal tersebut, Azyumardi
Azra merasa perlu membongkar fakta sejarah Islam yang terjadi pada paruh kedua
abad ke-17 dan 18, yang kerap dianggap sebagai masa kemunduran dan sejarah
gelap umat Islam, hanya karena saat itu entitas politik mengalami kemerosotan.[8] Padahal di masa
itu, juga tengah terjadi proses sejarah yang berkaitan dengan aspek sosial-intelektual
di antara umat muslim, yang juga berkaitan erat dengan keberadaan ulama-ulama dari
Nusantara.
Dalam
desertasi yang telah diterjemahkan yakni ‘Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII’, Azyumardi Azra memang fokus pada
upaya melacak sejarah Islam lewat transmisi gagasan ulama Timur Tengah pada
murid-murid yang berasal dari Nusantara. Ia mengungkapkan bahwa relasi intelektual-keagamaan
antara ulama Timur Tengah dengan ulama Nusantara ini penting dan harus dikaji
secara lebih komprehensif. Hal tersebut untuk mengetahui peran jaringan ulama
dalam penyebaran gagasan pembaruan Islam di masa awal, sekaligus untuk mengetahui
sumber-sumber yang berkaitan dengan pembaruan Islam di Nusantara.[9] Kaitannya
dengan hal tersebut, dalam makalah ini penulis akan berusaha menguraikan model
penelitian yang digunakan oleh Azyumardi Azra, untuk mengetahui sejarah Islam,
utamanya yang berkaitan dengan pembaruan pemikiran Islam oleh jaringan ulama
sebagaimana di bahas di atas.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana
Azyumardi Azra melacak akar-akar pembaruan pemikiran Islam?
- Apa
kontribusi keilmuan yang ditawarkan oleh Azyumardi Azra?
C. Tinjauan Pustaka
Sebelum
penelitian yang dilakukan oleh Azyumardi Azra, ada beberapa karya yang membahas
mengenai pembaharuan Islam. Akan tetapi kebanyakan fokus pada gerakan
pembaharuan Islam dalam bidang politik, sehingga bisa dikatakan sama sekali
tidak membahas mengenai jaringan ulama yang ada di abad ke-17 dan ke-18. Dua di
antara karya yang dimaksud adalah buku ‘Metode dan Alternatif Neomodernisme
Islam’ karya Taufik Adnan Amal. Dalam buku tersebut salah satu pembahasannya
yakni mengenai revivalisme beragama.[10] Selain itu
Fazlur Rahman dalam bukunya, ‘Islam dan Modernitas, Tantangan Transformasi
Intelektual’ juga membahas mengenai pembaharuan Islam, akan tetapi lebih fokus
pada kritik terhadap gerakan kaum muslim yang mengadopsi secara mentah
gagasan-gagasan modern dari Barat.[11]
D. Metodologi Penelitian
Adapun
jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini berupa library
research (penelitian kepustakaan) dengan metode deskriptif-analitis. Setelah
melakukan pengumpulan dan telaah terhadap data primer maupun sekunder, data
yang didapat akan ditulis secara detail sesuai hasil interpretasi. Terkait
dengan data atau sumber primer, penulis menggunakan buku karya Azyumardi Azra
yang berjudul, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaruan Islam di Indonesia”. sementara untuk
sumber sekunder, penulis mengambil beberapa literatur, baik buku maupun jurnal
yang isi pembahasannya berkaitan dengan sumber utama.
E. Pembahasan
- Jaringan
Ulama di Haramayn
Sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra
dalam pendahuluan bukunya, sejarah keberadaan jaringan ulama tidak bisa
dipisahkan begitu saja dengan Makkah dan Madinah (Haramayn), bahkan sejak
dasawarsa terakhir abad ke-15.[12] Dari kedua
tempat tersebut, bertemu ulama-ulama dari seluruh wilayah di dunia. Awal
kedatangan mayoritas memang untuk berhaji, tapi kemudian para ulama yang
memiliki latar belakang dan tradisi keilmuan yang berbeda tersebut berkumpul
dan membuat semacam jaringan satu dengan yang lain. Lewat jaringan itulah
mereka berhasil menghadirkan wacana-wacana segar terkait pembaruan Islam yang
kemudian juga disambut berbagai tanggapan dari masyarakat muslim yang lain. Gagasan
awal yang berhasil para ulama di Haramayn tersebut cetuskan yakni membarui dan
merevitalisasi ajaran Islam dengan cara merekonstruksi sosio-moral masyarakat
muslim secara keseluruhan.[13]
Sebelumnya, perkembangan madrasah yang
ada di Haramayn tidak begitu dilirik, selain karena dari segi keuangan
mayoritas hanya mengandalkan waqaf, kebanyakan kegiatan pengajaran lebih banyak
dilakukan di masjid-masjid. Hal tersebut membuat diskursus keilmuan tidak
banyak berkembang di madrasah-madrasah. Baru kemudian pada abad ke-16 menuju
17, kebangkitan madrasah di Haramayn
mulai terlihat, terutama setelah pemerintahan ‘Ustmani Mesir rutin mengirimkan
bantuan keuangan. Hal tersebut pada akhirnya juga berpengaruh pada perbaikan
sarana dan prasarana di tanah suci, termasuk ribath, madrasah, sampai
asrama haji. Ini juga mendorong semakin banyaknya ulama dan para murid yang
singgah ke Haramayn, baik untuk menunaikan haji, menuntut ilmu atau
meningkatkan kapasitas keilmuan.[14]
Kemajuan ilmu pengetahuan di Haramayn
tidak terlepas dari pengaruh ulama-ulama yang ada di Timur Tengah seperti
Muhammad bin Ala al-Din al-Babili al-Qahiri al-Azhari, yang telah berkontribusi
menghubungkan ulama-ulama Mesir dengan Haramayn. Sejarawan Makkah, Taqi al-Din
al-Fasi al-Makki al-Maliki juga mengatakan bahwa perkembangan diskursus ilmiah
di madrasah yang ada Haramayn tidak terlepas dari pengaruh kebangkitan madrasah
di Timur Tengah.
- Hubungan
Ulama Timur Tengah, Haramayn dan Nusantara
Sejarah telah mencatat bahwa relasi yang
dibangun antara Timur Tengah dengan wilayah Nusantara sudah terjadi sejak
periode awal Islam. Hal tersebut juga dapat dijelaskan dengan beragam teori
mengenai kedatangan Islam di Nusantara. Setelah para pedagang muslim yang
berasal dari Arab, Persia, maupun India datang dengan misi penyebaran ajaran
Islam, proses penetrasi Islam kemudian kiranya lebih banyak dilakukan oleh para
sufi yang melakukan pengembaraan sejak abad ke-12 M.[15] Setelah itu,
pada abad ke-13 ketika beberapa kerajaan muslim yang ada di Nusantara mulai
bangkit, hubungan yang terjalin dengan Timur Tengah menemui momentum yang
tepat, tidak hanya berkaitan dengan pertalian agama, tapi juga diperkuat dengan
adanya unsur politik. Meski dengan kata lain relasi yang terjalin sedikit
mengalami pergeseran dari sebelumnya, akan tetapi membuat penyebaran Islam ke
wilayah Nusantara semakin intensif.[16] Relasi
religio-kultural[17] yang kemudian
terbentuk dari hubungan pertalian yang lebih akrab antara agama dengan
kebudayaan masyarakat, membuat unsur tasawuf dalam penyebaran Islam di
Nusantara semakin kental.
Hubungan lanjut antara muslim di Nusantara dengan Timur
Tengah setelah kebangkitan kerajaan muslim di Nusantara, memberi kesempatan
para tokoh muslim Nusantara untuk pergi ke pusat keilmuan di Timur Tengah. Perjalanan
keagamaan yang di kemudian hari semakin meningkat –didukung oleh pemerintahan
‘Ustmani yang memberi pengamanan pada jalur haji– pada akhirnya mendorong
keberadaan komunitas Ashhab al-Jawiyyin tumbuh subur di Haramayn. Hal
inilah yang turut melatarbelakangi munculnya ulama Nusantara dalam jaringan
ulama global.[18]
- Gagasan Pembaruan dan Neo-Sufisme
Ciri
yang paling menonjol dari keberadaan jaringan ulama yakni adanya interaksi
antara ulama yang berorientasi pada syariat dan para sufi. Pendekatan yang
terus terjadi antara syariat dan sufisme, ditambah dengan masuknya para ulama
ke dalam tarekat, mengakibatkan munculnya Neo-sufisme. Jika mengacu pada
pandangan Fazrul Rahman, ulama muslim yang berkontribusi dalam merealisasikan
kebangkitan neo-sufisme tidak lain adalah para ahli hadis. Hal ini tidak bisa
dilepaskan lagi dari pengaruh beberapa sufi yang juga tidak asing dalam tradisi
ilmiah penelaahan hadits di Mesir dan Afrika Utara. Misalnya saja al-Qusyasyi,
al-Kurani dan al-Nakhli. Masing-masing ulama tersebut juga kerap melakukan
pelacakan hadits mengenai ajaran-ajaran yang ada dalam tasawuf, dan lain
sebagainya, lewat ketersambungan guru dengan murid.[19]
Adapun mengenai neo-sufisme, Azyumardi Azra membeberkan secara detail bahwa ini berbeda dengan tasawuf di masa sebelumnya. Menurutnya neo-sufisme memberikan penekanan yang lebih besar kepada para penganutnya untuk menaruh kesetiaan dan kepatuhan pada syari’at. Sebenarnya penekanan ini sudah dimulai oleh al-Ghazali dan al-Qusyairi, tapi baru menemukan momentumnya lewat jaringan ulama.[20] Jika di ajaran tasawuf sebelumnya menuntut manusia (sufi) harus pasif, maka di neo-sufisme manusia dianjurkan untuk bisa bersikap lebih aktif dalam upaya menjadi sufi. Kebangkitan neo-sufisme ini juga tidak dari ruang kosong. Seperti yang disebutkan sebelumnya, gerakan ini muncul akibat adanya interaksi antar tradisi, baik dari ulama Mesir, Yaman, India, Syria, termasuk juga Haramayn.
Pada gilirannya keberadaan neo-sufisme tersebut juga menjadi ciri khas dari keberadaan jaringan ulama baik di Timur Tengah maupun di Nusantara. Wacana ilmiah yang berkembang selalu terkait dengan hadits dan tarekat. Keterkaitan antara guru dengan murid atau ulama dengan murid-muridnya diprakarsai dari proses telaah terhadap hadits. Hasil dari proses telaah tersebut kemudian dijadikan rujukan atau wawasan baru dalam rangka merekonstruksi sosio-moral masyarakat muslim, sebagaimana cita-cita awal terbentuknya jaringan ulama. Konsepsi-konsepsi yang timbul dari adanya telaah terhadap hadits tersebut juga mendorong relasi yang seimbang antara hukum dengan tarekat, yang pada akhirnya sedikit demi sedikit merubah doktrin-doktrin yang awalnya hanya berdasar pada spekulasi mistis, menjadi ajaran moral yang berbasis syariat.[21]
Adapun mengenai neo-sufisme, Azyumardi Azra membeberkan secara detail bahwa ini berbeda dengan tasawuf di masa sebelumnya. Menurutnya neo-sufisme memberikan penekanan yang lebih besar kepada para penganutnya untuk menaruh kesetiaan dan kepatuhan pada syari’at. Sebenarnya penekanan ini sudah dimulai oleh al-Ghazali dan al-Qusyairi, tapi baru menemukan momentumnya lewat jaringan ulama.[20] Jika di ajaran tasawuf sebelumnya menuntut manusia (sufi) harus pasif, maka di neo-sufisme manusia dianjurkan untuk bisa bersikap lebih aktif dalam upaya menjadi sufi. Kebangkitan neo-sufisme ini juga tidak dari ruang kosong. Seperti yang disebutkan sebelumnya, gerakan ini muncul akibat adanya interaksi antar tradisi, baik dari ulama Mesir, Yaman, India, Syria, termasuk juga Haramayn.
Pada gilirannya keberadaan neo-sufisme tersebut juga menjadi ciri khas dari keberadaan jaringan ulama baik di Timur Tengah maupun di Nusantara. Wacana ilmiah yang berkembang selalu terkait dengan hadits dan tarekat. Keterkaitan antara guru dengan murid atau ulama dengan murid-muridnya diprakarsai dari proses telaah terhadap hadits. Hasil dari proses telaah tersebut kemudian dijadikan rujukan atau wawasan baru dalam rangka merekonstruksi sosio-moral masyarakat muslim, sebagaimana cita-cita awal terbentuknya jaringan ulama. Konsepsi-konsepsi yang timbul dari adanya telaah terhadap hadits tersebut juga mendorong relasi yang seimbang antara hukum dengan tarekat, yang pada akhirnya sedikit demi sedikit merubah doktrin-doktrin yang awalnya hanya berdasar pada spekulasi mistis, menjadi ajaran moral yang berbasis syariat.[21]
- Jaringan
Ulama Nusantara Abad 17 dan 18
Adanya jaringan ulama di Haramayn,
sebagaimana disebutkan di atas, telah banyak memengaruhi umat muslim yang ada
di Nusantara. Adanya pertukaran gagasan
mengenai pembaruan pemikiran Islam, dalam perjalanannya menjadi penting sebagai
wacana keagamaan Islam di Nusantara. Setidaknya efek tersebut telah dirasakan dan
direalisasikan oleh beberapa ulama perintis gerakan pembaruan Islam yang
berasal dari Nusantara. Mereka menjadi tokoh paling menonjol dari sekian banyak
ulama yang ada pada saat itu. Beberapa nama ulama Nusantara tersebut antara
lain:
a. Nur al-Din al-Raniri
Sosok al-Raniri selalu dilekatkan
sebagai salah satu ulama yang berasal dari Nusantara, yakni Aceh. Sebagai tokoh
perintis di abad ke-17, kontribusinya sangat nyata dalam penyebaran ilmu
pengetahuan. Hal ini ditunjukkan dengan kehadiran Nur al-Din al-Raniri yang
dianggap membawa periode baru. Sebelumnya di Aceh dan juga wilayah lain di
Nusantara, praktik-praktik Islam yang mistik, yang dibawa oleh aliran
Wujudiyyah pada saat itu masih sangat massif berkembang. Persepsi syariat yang
lebih dulu diupayakan, nyatanya tidak membuat praktik tersebut berkurang
intensitasnya.
Kedatangan al-Raniri dianggap membawa jawaban
atas fenomena tersebut. Al-Raniri dengan sikap tegasnya juga menyatakan bahwa doktrin-doktrin
yang diajarkan dan dibawa oleh aliran Wujudiyyah yang ada pada saat itu tidak
perlu diikuti, bahkan ia menyebut mereka sebagai ‘sufi gadungan’. Kemampuan
al-Raniri dalam menjelaskan ke-alphaan syariat yang dibawa oleh doktrin
Wujudiyyah, juga mendorong salah seorang ulama bernama al-Attas menyebut al-Raniri sebagai ‘pembawa
kebijaksanaan dan pengetahuan yang otentik’.[22] Lebih jauh
kontribusi al-Raniri juga terlihat pada pengutipan nama-nama ulama, baik
gurunya maupun ulama Haramayn dan Timur Tengah lain yang menjadi rujukan pada
tiap-tiap tulisannya. Secara tidak langsung hal yang rutin dilakukan oleh ulama
ini membantu muslim lain di Nusantara mengetahui, mengenal dan memahami
nama-nama ulama ahli beserta dengan pemikiran yang dibawanya.
b. ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili
Satu lagi ulama neo-sufisme
Melayu-Indonesia yang berasal dari Aceh adalah al-Sinkili. Ia merupakan sosok
ulama yang paling menonjol dari yang lain. Hal itu karena al-Sinkili sudah 19
tahun lebih membangun relasi dengan jaringan ulama di Timur Tengah, sehingga
dari segi kekuatan relasi, ia cenderung lebih kuat jika dibandingkan dengan
al-Raniri. Meski demikian baik al-Raniri maupun al-Sinkili, keduanya sama-sama
aktif dalam kesultanan. Di mana al-Sinkili juga menjadi Qadi Malik al-Adil sekaligus
khalifah utama di tarekat yang menjadi jalan hidupnya, yakni Syattariyyah.
Al-Sinkili memiliki beberapa murid yang sangat dekat dengannya, antara lain
Syech Abdul Muhyi yang ada di Jawa Barat dan Shaikh Burhanuddin Ulakan yang
berasal dari Minangkabau. Dua orang tersebut juga menjadi tokoh sentral di
daerah masing-masing.[23]
c. Muhammad Yusuf al-Maqassari
Tokoh sentral yang disebutkan Azyumardi
Azra selanjutnya adalah al-Maqassari. Ia merupakan salah satu tokoh yang sekembalinya
dari Timur Tengah, justru diasingkan ke beberapa negara karena menyatakan
perang terhadap kolonialisme. Al-Maqassari sempat diasingkan ke Belanda, lalu
dipindahkan ke Sri Lanka, sampai akhirnya ia diasingkan ke Afrika Selatan.[24] Konflik perang
yang menuntut keterlibatannya, dikatakan tidak membuat semangatnya untuk
menyebarkan apa yang telah didapatkan dari Haramayn, luntur. Sebagaimana dua
tokoh sebelumnya, al-Maqassari juga merupakan sorang neo-sufisme yang gigih.
Menurut Azyumardi Azra, ia bahkan memiliki hubungan yang kompleks dengan
jaringan ulama Timur Tengah.
Selain ketiga nama di atas, ada beberapa
nama lain yang juga memiliki kontribusi dalam penyebaran neo-sufisme dalam
lingkaran jaringan ulama. Misalkan saja Syihab al-Din, Kemas Fakhr al-Din, ‘Abd
Shamad al-Palimbani, Muhammad Nafis al-Banjari, Abd al-Wahab al-Bugisi, Abd
al-Rahman al-Mashri al-Batawi, Abd Allah al-Fatani dan beberapa nama lain.[25] Adapun dari
beberapa nama tersebut, neo-sufisme juga menjadi aspek penting yang dibawa
dalam rangka pembaruan pemikiran Islam. Dalam proses penyebarannya, selalu
terjadi rekonsiliasi antara syariat dengan tasawuf. Hal tersebut misalnya
terjadi pada pembaruan Islam di Minagkabau. Jamal al-Din yang merupakan ulama
asli Minangkabau setelah pulang dari Bayt al-Faqih, Aden Haramayn, Mesir,
memperkenalkan tarekat Naqsyabandiyyah kepada masyarakat Minangkabau. Sebagaimana
yang diketahui, di Minangkabau juga terdapat tarekat Syattariyyah. Maka disitu
terjadi pendekatan dan usaha yang berbeda dari Jamal al-Din, agar tarekat yang
diajarkannya dapat diterima dengan jalan yang damai.[26]
F. Sumbangan Keilmuan
Dari
apa yang telah dipaparkan oleh Azyumardi Azra dalam bukunya tersebut, setidaknya
ada beberapa poin penting yang menjadi bukti baru sekaligus menunjukkan adanya
kontribusi keilmuan yang disumbangkan oleh Azyumardi Azra. Adapun beberapa
temuan dan kontribusi tersebut yakni dari rentetan sejarah yang dijabarkan,
dapat diketahui bahwa relasi yang terjalin antara Nusantara dengan Timur Tengah
sudah terjadi sejak lama. Azyumardi Azra juga berhasil membantah asumsi mengenai
sejarah umum yang berkembang. Ternyata pada abad ke-17 dan 18, gagasan mengenai
pembaruan Islam sudah mulai digaungkan oleh jaringan ulama internasional.
Sehingga menjadi tidak benar jika di kedua masa itu Islam mengalami kemunduran.
Lewat
pelacakan yang dilakukan, pada abad ke-17 ditemukan bahwa orientasi ulama sudah
bukan lagi murni tasawuf yang didominasi unsur mistis, akan tetapi sudah mulai
bergeser pada hukum atau syari’at. Bahkan di paruh kedua abad ke-17 tersebut,
jaringan ulama di Nusantara sudah mengenal neo-sufisme yang kemudian mulai
disebarkan secara massif di seluruh wilayah Melayu-Indonesia. Selain itu ia
juga menemukan bukti dan fakta bahwa banyak tokoh pembaruan Islam di Nusantara
yang lahir dan merupakan bagian dari jaringan ulama sejak abad ke-17 dan ke-18.
Mereka sudah lebih dulu mentransmisikan wacana-wacana ilmiah yang dibawa oleh
jaringan ulama di Timur Tengah, melalui kitab, buku, serta majalah-majalah.
G. Kesimpulan
Dari apa yang telah
dipaparkan di atas, kiranya ada dua kesimpulan yang dapat diambil dari makalah
ini. Pertama, Azyumardi Azra berhasil melacak akar pembaruan pemikiran Islam.
Selain lewat teori kedatangan Islam, juga lewat hubungan antara jaringan ulama
Timur Tengah dengan ulama di kepulauan Nusantara pada abad ke XVII dan ke
XVIII. Selain itu pelacakan yang dilakukan juga menunjukkan bahwa ulama
Nusantara memiliki kontribusi yang besar dalam penyebaran Neo-sufisme ke
wilayah Nusantara, bukan pada abad ke-19 melainkan sejak abad ke-17. Kedua. sumbangsih
yang diberikan Azyumardi Azra dalam keilmuan Islam adalah bahwa pada abad ke
XVII dan XVIII yang dianggap sebagai kemunduran Islam, justru menyimpan relasi
yang harmonis dan penyebaran tarekat berbasis syariat yang massif. Pembaruan
Islam berbasis Neo-Sufisme yang berhasil dijabarkan oleh Azyumardi Azra
tersebut menjadi penanda yang penting dalam sejarah pengkajian Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah,
Sitti. Dunia Islam Abad ke-19 M, Jurnal Adabiyah, Vol. XIII, No. 1, 2013
Amal,
Taufik Adnan. 1987. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Bandung: Mizan
Ansharuddin,
Upaya-upaya Pembaharuan dan Dasar-dasar Modernisasi di Dunia Islam, Cendekia, Jurnal
Studi Keislaman, Vol. III, No. 2, Desember,
2017.
Azra,
Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Melacak
Akar-akar Pembaruan Pemikiran
Islam di Indonesia. Bandung: Mizan
Dewi,
Rusmala. Isu-isu Pembaharuan Islam di Beberapa Negara Perspektif Sejarah, dalam Jurnal Nurani, Vol. XVI, No. 1,
Juni, 2016
Nasuha,
Model Penelitian Sejarah Islam, Jurnal Saintifika Islamica, Vol. I, No.
2, Juli-Desember, 2014.
Rahman,
Fazlur. 1985. Islam dan Modernitas, Tantangan Transformasi Intelektual. Bandung: Pustaka
Fathurrahman,
Oman. Jaringan Ulama; Pembaharuan dan Rekonsiliasi dalamTradisi Intelektual Islam di Dunia
Melayu-Indonesia, dalam Studia Islamika;
Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. XI, No. 2, 2014
Ismail
Amin, Antara Haramain dan Kerajaan Monarki Arab Saudi, dalam https://arrahmahnews.com/2015/04/17/antara-haramain-dan-kerajaan-monarki-arab-saudi/
diakses pada 27/12/2019
[1] Ismail Amin, Antara Haramain dan
Kerajaan Monarki Arab Saudi, dalam https://arrahmahnews.com/2015/04/17/antara-haramain-dan-kerajaan-monarki-arab-saudi/,
diakses pada 27/12/2019
[2] Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Melacak
Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994),
h. 16
[3] Ibid,.
[4] Rusmala Dewi, Isu-isu
Pembaharuan Islam di Beberapa Negara Perspektif Sejarah, dalam Jurnal Nurani,
Vol. XVI, No. 1, (Juni, 2016), h. 20
[5] Oman Fathurrahman, Jaringan
Ulama; Pembaharuan dan Rekonsiliasi dalam Tradisi Intelektual Islam di Dunia
Melayu-Indonesia, dalam Studia Islamika; Indonesian Journal for Islamic
Studies, Vol. XI, No. 2, (2014), h. 365
[6] Sitti Aisyah, Dunia Islam
Abad ke-19 M, dalam Jurnal Adabiyah, Vol. XIII, No. 1 (2013), h. 75
[7] Ansharuddin, Upaya-upaya
Pembaharuan dan Dasar-dasar Modernisasi di Dunia Islam, Cendekia, Jurnal
Studi Keislaman, Vol. III, No. 2, (Desember, 2017), h. 55
[8] Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII… h. 15
[9] Ibid… h. 19
[10] Taufik Adnan Amal, Metode dan
Alternatif Neomodernisme Islam, (Bandung: Mizan, 1987)
[11] Fazlur Rahman, Islam dan
Modernitas, Tantangan Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1985)
[12] Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII… h. 75
[13] Ibid… h. 16
[14] Ibid… h. 62-75
[15] Nasuha, Model Penelitian
Sejarah Islam, Jurnal Saintifika Islamica, Vol. I, No. 2, (Juli-Desember,
2014), h. 114
[16] Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII… h. 45
[17] Adapun contoh dari terbentuknya
relasi religio-kultural ini, dapat dilihat dari konsepsi penciptaan alam yang
dipercaya oleh masyarakat Minangkabau. Di mana dalam konsep tersebut sangat
dipengaruhi oleh teori emanasi dalam tasawuf. Baca Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII… h. 45
[18] Ibid… h. 17
[19] Ibid… h. 110-115
[20] Ibid… h. 18
[21] Ibid… h. 295
[22] Ibid… h. 169
[23] Oman Fathurrahman, Jaringan
Ulama; Pembaharuan dan Rekonsiliasi… h. 374
[24] Ibid… h. 375
[25] Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII… h. 243
[26] Ibid… h. 291
0 Comments