Aku
Nepe. Ibu bapakku adalah kesalahan. Saudara-saudaraku dimusnahkan 20 tahun yang
akan datang. Mereka dibuang ke sumur-sumur tua di pinggiran kota. Tapi
jabang-jabang itu tidak pernah berbekas, berbau, tidak pernah jadi bangkai.
Mereka melayang-layang, saling berebut oksigen. Jika menginjak tanah, pasti
berbayar. Maka mereka pilih mengudara, biar tetap bisa saling sapa tanpa takut
dimiskinkan keadaan.
Kabarnya
di masa depan, 160 spesiesku telah berkembangbiak lebih banyak, lebih jinak.
Manusia yang bekerja sebagai observer memilih menahbiskan diri menjadi
ekoseksual –mengawini para Nepenthes, setelah menemukan spesies baru dengan
beragam ciri khas, keunikan dan jatuh cinta pada pertemuan pertama. Tidak heran
jika sekarang saja aku sudah lahir di tengah dunia manusia. Separoh Nepenthes,
tapi didominasi darah manusia. Entah model persilangan macam apa yang dipakai
manusia laki-laki bernama Vallis ketika mengawini ibuku, Maxima.
Pertemuan
pertama mereka tercatat di hutan Sulawesi. Vallis yang tengah berburu,
mendapati Maxima rungkut di kelembapan yang sempurna bagi habitatnya.
Tapi ia tak langsung mendekat. Sebab saat itu Maxima sedang asyik
bermain dengan tiga ekor nyamuk. Mereka begitu menikmati, berselanjar di bibir Maxima
yang ranum.
“kalian
mau bermain lagi? Tapi hati-hati tergelincir.” Kata Maxima memperingatkan
ketiga induk nyamuk.
“kenapa
kau tidak menjulurkan sulurmu? Supaya kami bisa berayun?”
“oh,
kau ingin? Dengan senang hati.”
Maxima
pun
menjulurkan beberapa sulurnya, membentuk ayunan dan siap menjadi ladang bermain
untuk ketiga nyamuk yang perutnya penuh dengan darah. Ketiganya berayun
bergantian. Terbang sejenak, berayun, terbang lagi, tertawa cekikian seperti
kembali menjadi kekanak. Mereka lupa dengan siapa tengah bermain.
“aku
lelah kawan-kawan, kalian terlalu berat untuk berayun di sulurku. Ini membuatku
merasa lapar…” kata Maxima mengeluh.
“kalau
kau lapar, kau tinggal cari makan. Tidak perlu menggerutu dan jangan mengganggu
waktu bermain kami.” Kata satu dari tiga nyamuk yang sedang mengayun-ayunkan
diri dengan sulur Maxima.
“kenapa
kalian tidak menjaga anak-anak kalian? Di mana mereka?”
“kami
baru saja pulang mencari makan. Tidak ada salahnya bermain terlebih dulu. kami
juga butuh waktu untuk melayani diri kami sendiri.”
“bagaimana
jika kalian tidak bisa pulang? Mungkin saja ada pemangsa serangga di sekitar
sini.”
Tak
lama berselang, sulur itu mendekat ke bibir ranum. Dua nyamuk yang kehilangan
keseimbangan tergelincir masuk ke dalam kantong dan tercebur begitu saja. Satu induk
yang sempat terbang buru-buru menghindar dari mulut Maxima yang sedari
tadi menahan lapar. Ia selamat.
Melihat
Maxima begitu lahap dan santun dalam menelan menu makan siangnya, Vallis
tertegun. Ia merasakan daya tarik Nepenthes di depannya begitu kuat. Bibir
ranum hijau segar membuatnya ingin berlama-lama tinggal. Ia bahkan ingin
mengulum bibir itu dengan bibirnya. Lalu ia menyadari sesuatu, “aku tidak
pernah jatuh cinta sedalam ini.”
Tapi
panggilan kawan di sisi lain hutan membuatnya lekas beranjak. Ia kembali ke
perkampungan tanpa membawa apa-apa. Kawannya salah tembak, sasaran –seekor biawak
yang ditaksir punya bobot tiga kilo– lepas dari bidikan. Tak ada hasil buruan
yang bisa dinikmati siang itu, kecuali bayangan Maxima yang terus
membelenggu pikirannya. Hutan Sulawesi yang ia sangka sama saja dengan hutan
Kalimantan dan Sumatra, ternyata menyimpan banyak spesies yang asing baginya
sekaligus bakal membawa serumpun kenangan manis.
Lawatan
Vallis ke tengah hutan Sulawesi belum selesai. Hari itu ia terlalu gugup,
sehingga tak berani menemui Maxima. Tapi dua hari kemudian ia kembali.
membawa pisau kebesarannya dan meminta ijin untuk membawa serta Maxima pulang
ke kampung halaman, di Jawa. Lewat bisikan angin, alam menyetujui niat baik
Vallis dan mengijinkan Maxima ikut serta. Tapi, perjalanan laut yang
memakan waktu hingga empat hari membuat Vallis agak takut. Ia memang mengenal
banyak jenis Nepenthes, tapi spesies yang ia bawa terlalu istimewa.
“aku
sudah berjanji pada alam, akan membawamu dalam keselamatan. Jika perjalanan
sedikit panjang ini membuatmu dekat dengan maut, tolong maafkan aku.”
“alam
merestuimu. Sudah barang tentu Ia tau apa-apa yang akan anak kandungnya alami.”
Selama
empat hari berlayar, banyak hal yang Maxima dan Vallis bahas dalam
percakapan mereka. Mulai dari bagaimana manusia menggantungkan hidupnya pada
alam, bagaimana manusia mengambil, mengeruk, sempat mengganti dan mulai arogan
memperlakukan ibu bumi. Dari situ Maxima tahu dunia manusia dan
persoalan apa yang bisa sewaktu-waktu menelan hidupnya. Sebelum itu, Vallis
telah meminta maaf atas keadaan tidak menyenangkan yang akan dialami Maxima.
Tapi spesies dioesis ini telah siap dengan segala konsekuensi.
“aku
mungkin akan bisa menghindari manusia berjuta-juta tahun, tapi tidak selamanya.
Sudah saatnya aku keluar, menikmati dunia yang lebih menantang.”
“apa-apa
yang abadi dalam dirimu, sebelumnya, mungkin tidak akan bertahan lama. Tapi aku
upayakan menjadi manusia yang tahu diri.”
***
Green
House di belakang rumah masih hening, beberapa anggrek tampak
sangat manis memasang wajah dari bunga-bunga lain yang mulai mekar. Sementara beberapa
sudah lebih dulu kering secara alami. Vallis membuka pintu rumahnya, meminta
dengan halus kepada Maxima untuk beradaptasi sesegera mungkin. Suhu puncak
dan green house selisih 12 °C, tapi perlakuan
Vallis membuat semua perbedaan menjadi hal yang bisa ditolerir oleh Maxima.
Mereka
mulai bisa menjadi akrab dan menghilangkan canggung. Sesekali Vallis mengajak Maxima
bertemu saudaranya di puncak Wilis. Sesekali ke puncak yang lain, bertemu
dengan spesies baru atau tumbuhan dari jenis lain, seperti anggrek, kamboja,
mawar, edelweis dan kawan-kawan yang lain. Semakin lama semakin akrab dan
semakin banyak buah cinta yang hadir di antara mereka. Beberapa tahun kemudian green
house Vallis yang berukuran 9x6 m² juga telah penuh dengan Nepenthes, hampir
seribu pot dengan total 36 jenis Nepenthes yang berbeda.
Sampai
pada satu titik Maxima harus mengakui bahwa manusia tak bisa hidup hanya
dengan dirinya. Manusia butuh sesuatu yang disebut uang, dan kaumnya adalah
komoditas paling menjanjikan untuk bisa mendatangkan berlembar-lembar uang. Di tahun-tahun
itu, satu pot Nepenthes bisa dihargai minimal 300 ribu rupiah untuk jenis
paling umum.
“kau
akan tetap menjadi yang paling utuh.”
“tapi
kau menjual anak-anakku.”
“aku
tidak memperdagangkan anak-anak kita.”
“tidak
untuk mereka yang mirip denganmu, tapi kau menjual anak-anakku, spesiesku,
saudara-saudaraku, kau memperdagangkan kami semena-mena.”
“aku
harus makan, aku butuh sandang dan keperluan-keperluan yang umum manusia
butuhkan.”
“tapi
kau menjualku. Aku kekasihmu? Oh, barang daganganmu saja, manusia.”
Begitulah
kisah Vallis dan Maxima, dimulai dan berjalan dengan sangat pelik. Hingga
lahir generasiku, Nepetera yang sangat jauh dari dunia ibu. Hanya dua daun
telingaku saja yang kira-kira mirip dengan kaum ibu. Hampir-hampir lupa bagaimana
cara menjadi diri sendiri kecuali seonggok daging bertulang belakang yang
sangat anti dengan serangga.
Lalu
pada tahun ke-20, ketika Vallis dan Maxima yang mulai keriput datang ke
dataran tinggi Dieng, sesuatu yang mungkin terlihat buruk terjadi. Belum sampai
tempat tujuan, di perjalanan ibu melihat beberapa toko menjajakan beberapa
jenis Nepenthes secara tidak manusiawi, dengan harga jual yang lebih murah dari
pot plastik.
“aku
lupa, aku bukan golongan manusia. Jadi tak ada hak menuntut kemanusiaan,
apalagi dimanusiakan.”
“kemarin
aku mendengar banjir menghanyutkan semua jenis Nepenthes yang ada di toko
langganan bapak. Yang tidak bisa diselamatkan dibuang begitu saja di
sumur-sumur tua, bu.
“Nak…
itu sudah kuprediksi jauh sebelum kau lahir. Kiranya aku dan bapakmu adalah
kesalahan, sebab kami tak benar-benar jatuh cinta. Aku luruskan bahwa daya
tarik kita adalah untuk menarik mangsa, bukan manusia.”
“kenapa
bisa lahir aku?”
“kau
adalah percobaan yang sangat sempurna. Jadilah manusia yang menghormati ibumu,
bumimu dan nenek alam.”
“tapi
saudara-saudara manusia tidak bisa melakukan hal yang sama, bu.”
“pekerjaanmu
akan menjadi yang paling abadi. Lupakan menjadi ibu dan gunakan keganasan itu
hanya untuk melumat keongasan manusia.”
"misalkan, bu?"
"suatu nanti, manusia akan saling berebut tempat bernapas. Sekarang tanah sudah diperebutkan, nanti oksigen, nak... apa yang kamu hirup itu. Pastikan manusia yang ongas tak bisa mendapatkannya. Biar mereka membusuk menyusul ibu."
"misalkan, bu?"
"suatu nanti, manusia akan saling berebut tempat bernapas. Sekarang tanah sudah diperebutkan, nanti oksigen, nak... apa yang kamu hirup itu. Pastikan manusia yang ongas tak bisa mendapatkannya. Biar mereka membusuk menyusul ibu."
Pesan
itu mungkin jadi pesan terakhir ibu sebelum ia membusuk. Maxima meninggalkan
Vallis dengan penuh kekecewaan. Tapi hari berikutnya, Vallis datang menemuiku
membawa spesies lain kesukaannya dari Sumatra, rigidifolia. []
0 Comments