“Semua orangtua
pasti punya masalah. Pernikahan yang bisa bertahan berpuluh-puluh tahun pun
tidak akan menjamin biduk rumahtangga terbebas dari persoalan sepele dan menye-menye.
Apalagi terbebas dari kungkung pikiran dan budaya patriarkhal, sangat mustahil,
Le. Tapi kau sudah sekolah tinggi. Jadi aku berharap kelak istrimu tidak
merasakan apa yang ibuk rasakan. Semoga kelak kau juga tidak menjadi bapakmu
yang semena-mena memperlakukan perempuan.”
Itu… Hal yang
sering kuulang. Kukatakan pada kedua jagoan kecil sejak mereka masih nyaman di
dalam rahim. Dulu, aku berharap menjadi gadis yang bahagia dengan
pernikahannya. Sangat klasik dan sederhana. Mimpi perempuan desa usia 16 tahun
yang dipinang di bawah pohon kedondong. Dan aku ingat betul, bahkan aku belum
menyelesaikan kursus menjahit yang harus kujalani sembunyi-sembunyi, tiga bulan
lamanya.
Anak pertamaku
lahir dengan bau kenanga semerbak melewati celah jendela, tepat satu hari
setelah lewat purnama. Kubayangkan bulan masih bulat-bulatnya, jadi tidak heran
jika langit kala itu juga terlihat masih terang. Malam itu dibantu Mbah Sumi,
dukun bayi kenamaan di desa, si jabang lahir normal. Bobotnya 3,2 kilogram,
cukup besar. Tapi kebiasaan di sini agak berbeda. Si mbah dukun bayi tidak
langsung memberikan jabangku untuk menyusu. Setelah dimandikan, ia dibiarkan
lelap dan jauh dari tubuhku. Baru beberapa waktu setelahnya, aku bisa membelai
bocah mungil itu, anak pertamaku yang rambutnya sangat tebal, kedua mata dan
hidung yang sudah mirip dengan bapaknya.
Aku ingat. Bagaimana
hari-hari selanjutnya, selama tiga tahun lamanya kita lewatkan hanya berdua. Karena
bapakmu harus merantau ke Malaysia, sementara mbah kakung dan utimu, hanya bisa
mampir ke rumah setiap tiga sampai lima bulan sekali. Baru di tahun keempat bapakmu
pulang dan ibuk kembali mengandung, adikmu. Aku bisa menghitung selama bapakmu
di rumah, berapa kali mengelus perut atau menggendongmu. Berapa kali ia bangun
untuk menggantikan popokmu dan berapa kali ia memasak atau setidaknya menemani
ibukmu ini di dapur.
Tahun 2000
bapakmu kembali ke perantauan. Aku berusaha melarang dengan beragam alasan,
tapi bapakmu bilang kita akan sulit dapat makan enak kalau ia tidak mencari
nafkah di negeri orang. Akhirnya kuikhlaskan bapakmu pergi, dengan satu
perjanjian di antara kami. Uang hasil kerjanya akan dibelikan lahan persawahan,
agar kelak kita bisa menyambung hidup lewat apa-apa yang bisa ditanam di lahan
itu. Bapakmu setuju dan dua tahun kemudian kami berhasil membeli sawah, tidak
sampai satu hektar. Karena aku masih harus mengurusmu dan adikmu, sawah itu
kusewakan dengan sistem bagi hasil. Tapi begitu saja sudah bisa memberikan
penghidupan yang layak untuk kita bertiga. Toko sembako di depan rumah juga bisa
berdiri sebab hasil panen padi, kacang hijau, kadang semangka dan jagung,
tergantung musim.
Baru di tahun 2004
suamiku pulang. Tapi malam itu aku tak lantas bisa langsung memeluknya. Oh, aku
menyadari bahwa kami tak pernah sehangat itu. Ia sangat dingin. Tidak ada
senyum atau sekedar sapa untuk melepas rindu. Sejak awal pernikahan hingga
kelahiran anak kedua, tidak pernah sekali pun aku mendapatkan kecupan hangat. Jika
bukan bentakan maka pasti makian. Padahal aku tidak pernah menyela
kata-katanya, omelannya, ketidakjelasan kemarahannya, kekesalannya, sampai pada
hal-hal sepele yang kemudian kuanggap itu sebagai kesalahan dan
ketidakbecusanku dalam mengurus rumah dan anak.
Tentu bagaimanapun
aku masih mengenalnya, lelaki yang dijodohkan denganku, menikahiku di usia yang
masih sangat belia. Laki-laki yang pernah melemparkan biji kedondong mengenai
kepalaku lalu berdarah, tapi tidak pernah meminta maaf. Laki-laki yang tidak
pernah bersikap manis atau terbuka dengan istrinya sendiri. Laki-laki yang merasa
memiliki otoritas mutlak, tunggal pada perkara rumahtangga. Tapi yang terakhir
itu, kukira lumrah terjadi pada semua pasangan suami istri. Bahwa suamilah yang
punya kuasa untuk menentukan semua peraturan.
Tapi, nyatanya
tidak, Ngger. Beberapa teman arisan ibuk –orang-orang yang berpendidikan lebih
tinggi– bilang, pasangan mereka bisa sangat terbuka, bahkan untuk beberapa hal
yang dianggap privat. Ibuk mulai lebih sering bertanya pada mereka tentang
relasi yang mereka jalin dengan suami masing-masing. Tidak, naaak… bukan
menggosip atau menggunjingkan laki-laki. Aku hanya ingin tahu perbedaan
mendasar dari hubungan yang selama ini ibuk dan bapakmu jalin dengan relasi
yang mereka bangun.
Dari situ ibuk
juga mengenal kalau ada istilah patriarki, bias, apa itu domestik dan publik
dan istilah-istilah yang tidak ibuk temukan sebelumnya. Dari situ ibuk mulai
berani mempertanyakan otoritas yang bapakmu maksudkan. Tapi keberanian itu
justru sering jadi pemicu pertengkaran di antara kami. Hal-hal kecil yang
kulakukan untuk bapakmu, kadang disalahartikan dan membuat kami bertengkar
beberapa hari. Baiklah, mungkin jalinan komunikasi antara aku dan bapakmu
memang buruk sejak awal perjalanan biduk rumahtangga kami. Dan sampai usiamu
yang sudah beranjak dewasa, tidak lantas menjadikan komunikasi kami membaik. Kesalahpahamanku
dan tertutupnya bapakmu, menjadi boomerang yang sering menghantam kami
habis-habisan.
Aku manusia
biasa, pun bapakmu. Aku menyadari bahwa tidak bisa selalu mengerti apa yang
terkandung dalam pikirannya, apa yang dirasakan dan apa-apa yang menjadi
keinginannya. Tapi selama berpuluh tahun aku yang harus memenuhi keinginan yang
tak bisa bapakmu sampaikan. Dan apakah aku selalu bisa memenuhinya? Jelas
tidak. Kadang, Le, aku ingin sekali berteriak di depan bapakmu dan menuntaskan
hubungan yang tidak manusiawi ini. Tapi kata utimu, selama laki-laki tidak
memainkan tangan dan kakinya untuk menampar atau menendangmu, dia masih suami
yang harus dipatuhi segala ucapannya.
***
Bulan lalu bocahku
yang pertama mulai berani mengenalkan seorang gadis. Ia tampak malu-malu dan
bermuka merah. Aku menyambut kedatangan keduanya, mempersilakan anak gadis itu
duduk di ruang tamu. Kutawarkan kopi atau teh kepadanya lalu menyuruh bocahku
untuk membuatkannya. Sesederhana itu aku mengajarinya memperlakukan tamu, tidak
peduli laki-laki atau perempuan. Sebelum kedatangannya, bocah pertamaku sudah
sering menceritakan detail perkenalannya dengan si gadis. Aku ingin bocah-bocah
ini terbuka denganku, menganggapku tidak hanya sebagai orangtua, tapi juga
teman bercakap, lawan debat atau apa saja yang mereka inginkan dan butuhkan.
Tapi asal kau
tau, Ngger. Bapakmu tidak pernah sejalan dengan apa yang ibukmu ini lakukan. Ia
menentang relasi yang kau jalin dengan gadis anak buruh tani itu. Dalam perdebatan
kami minggu lalu, bapakmu bilang, “buat apa punya besan buruh tani? Bisa mereka
menaikkan derajat kita? Cari itu yang selevel. Itu kamu sama saja menyamakan
posisi kita sama babu.” Lalu bapakmu menyumpah serapah lagi pada ibuk, seperti biasa.
Kau tentu pernah dengar bapakmu mengucap sumpah serapah ingin membunuhku,
mematahkan lenganku dan bahkan mencongkel mulutku yang cerewet, meski tidak
pernah ia lakukan. Apakah menurutmu sumpah serapah itu wajar diucapkan selama
berpuluh tahun? Tentu bahasa Jawa lebih kasar dari apa yang aku katakan ini,
Le. Tapi aku tutup segera percakapan itu.
Kubilang pada
bapakmu, “Kamu tidak membantuku mengurus kedua bocah itu. Maka apa yang mereka
lakukan adalah hak mereka sendiri dan di bawah pengawasanku. Aku yang lebih
tau, yang lebih paham, yang lebih mengerti apa-apa yang dilakukan oleh mereka. Aku
yang melahirkan, menyusui, menggendong, mengganti popok, mengajarinya berjalan,
menyekolahkan dan mendengarkan seluruh keluh kesahnya. Kau? Kapan terakhir
mengganti celana ketika mereka ngompol? Kapan terakhir mendengar mereka
menangis? Kapan terakhir mengajak mereka berdiskusi atau setidaknya bercakap
dari hati ke hati? Mereka bilang, tidak punya figur bapak. Padahal kau ini
bapaknya. Sudahkah menyadari yang demikian itu, pak? Sampai kapan mengambil
jarak dengan kami? Kau sudah gagal menjadi suami lantas sekarang ingin
menggagalkan diri menjadi bapak? Kita sudah tua, sadarlah diri. Kau boleh ongas
di masa-masa dulu. Memusuhi semua orang yang menentang pendapatmu. Tapi kita
sudah sama-sama renta. Kau mau masa tuamu ditinggalkan kedua bocah itu dan
hidup di panti jompo? Jika iya, maka laranglah mereka memenuhi apa-apa.”
Apakah
menurutmu bapak mendengarkan ocehanku, Ngger? Tentu tidak. Setelah ia
menggebrak meja, ia pergi ke sawah. Dan seperti biasa, ia akan menangis
sesenggukan di sana. Berlama-lama di sana sampai surup. Baru ia akan kembali setelah tangisnya reda. Darimana ibuk tau? Kau
mulai becanda, Le. Aku sudah hidup dengannya berpuluh tahun. Bahkan sejak ia
membuang biji kedondong, melemparnya mengenai kepalaku. Bapakmu tak meminta
maaf, sebab ia langsung pergi ke ladang. Kawan-kawan yang mencarinya menemukan
bapakmu sesenggukan, menangis di bawah pohon pisang.
Seperti hari ini, wedang jahe sedang
kuseduhkan untuk seorang lain, bukan bapak dari kedua buah hati yang sekarang
mulai beranjak dewasa. Di ruang tamu, seorang itu tengah duduk bersila. Mungkin
sesekali menikmati remahan kripik tempe khas Trenggalek yang dibawa oleh ipar
kemarin sore. Aku berharap ia nyaman menunggu wedang jahe buatanku, meski tak
bisa duduk di sofa empuk. Maklum, aku dan suami tak suka membeli perabot yang
memenuhi rumah kecil kami. Pilih membeli karpet seukuran ruang tamu, hanya agar
ruangan 4x4 ini ramah dan nyaman bagi mereka yang datang berkunjung.
Sebelum sempat
kuhidangkan, bapakmu pulang. Ia bertanya dengan penuh curiga untuk siapa ibuk
meracik wedang jahe. Kubilang untuk teman jauh yang baru datang dari Kendari. Dengan
muka masam ia pergi meninggalkan dapur. Setelah selesai mencuci kaki dan
tangan, kukira bapakmu akan ke depan, menemui tamu yang ibuk ceritakan. Tapi kau
tahu hal konyol apa yang bapakmu lakukan? Ia pergi ke sawah meninggalkanku dan
tamu yang sedari tadi juga menunggu kepulangannya. Dan begitulah bapak. Ada waktu
untuk bapakmu menangis, Le. Ketika ia tidak bisa mengendalikan diri, merasa
bersalah dan cemburu seperti hari ini. []
0 Comments