Koesno berangkat ke rumah tukang pijat itu selepas maghrib. Ia tidak
tahan mendengar bapak mengeluh sejak seminggu lalu. Badannya pegal, seperti
rontok semua tulang. Meski ketika beranjak pagi, ia akan tetap pergi ke sawah –sebab
masih musim tanam. Tapi tak pernah telat semalam saja ia mengeluh.
Akhirnya setelah dari surau ia bergegas ke rumah si tua, Akad dan
memintanya langsung datang ke rumah, mengurut bapak. Tidak butuh waktu lama
untuk mengiyakan permintaan itu. Akad bersiap-siap dan Koesno menunggu di teras
rumah. Beberapa menit kemudian mereka pergi bersama ke rumah orangtua Koesno.
Di perjalanan yang memakan waktu sekira 10 menit itu, percakapan
singkat sesekali hadir mengisi sepinya pematang sawah yang dilalui keduanya.
Kamu anaknya Sukab? Yang ketiga?
Iya, pak… tapi saya nomor empat, ragil.
Oh, pantes ndak pernah dengar suaramu, Le.
Hehe… jarang di rumah, pak. Kerja di luar kota.
Yaa, anak-anak sekarang banyak begitu. Alasannya di luar kota,
gajinya lebih banyak.
Lalu Koesno hanya terkekeh. Segan mengomentari apa yang Akad katakan.
Ingin sekali membenarkan perkataan bapak yang ia taksir juga seumur dengan
bapaknya, tapi ia memilih tidak mengeluarkan sekata pun.
Kalau aku punya anak, bakal tak larang ke luar kota.
Lha kenapa, pak?
Ya biar buka usaha di rumah, cari pasarnya baru di luar. Tapi yaa
mimpi.
Lagi-lagi Koesno tak bisa menimpali. Siapapun yang tinggal di desa
itu tau Akad tidak menikah. Tapi ia ingin punya anak laki-laki yang bisa
melanjutkan mimpi-mimpinya. Pernah sekali waktu ia mengadopsi anak laki-laki,
tapi karena tak tau bagaimana harus mengurusnya sendiri, anak umur lima tahun
itu terpaksa diberikan ke orang lain.
Sampai sekarang ia masih hidup di rumah berdinding anyaman bambu itu
seorang diri, dengan tongkat rotan setinggi setengah lebih tubuhnya, menuntun
perjalanan ke rumah orang-orang yang butuh jasa pijat.
Adzan Isya’ menandai sampainya Akad di rumah Sukab, karibnya sedari
kecil. Mendengar deru mesin sepeda motor milik si ragil, Sukab lantas keluar
rumah, memberi sambutan pada Akad dan memersilakan tamu istimewanya itu masuk. Koesno
diminta menumbuk beberapa ramuan dari daun-daun yang telah dibawa Akad dari
rumahnya, untuk blonyoh. Sementara Akad mengajak Sukab bernostalgia
sembari mulai melakukan jasanya sebagai pemijat ulung di desa itu.
***
Anak-anak di desa Cobek sering menganggap Akad tidak waras, karena
menggerutu sendiri di sepanjang jalan. Kadang menyanyikan tembang-tembang
Asmaradhana atau Dandhanggula dengan nada yang amburadul. Kadang seperti
mengajak orang bercakap-cakap, padahal tak ada orang di sisi kanan atau
kirinya.
Seperti kebiasaan anak-anak di desa-desa lain, mereka juga kerap mengganggu
perjalanan Akad. Hal yang paling sering dilakukan adalah berada jauh di
belakang Akad kemudian berteriak lantang, ‘Hoe di depan ada orang gila, namanya
Akad’ atau ‘Orang gila, orang gila’ atau ‘Akad orang gila…’ dan ujaran-ujaran
lain yang disertai tawa bahagia mereka. Dan Akad, akan ikut tersenyum mendengar
tawa ria itu.
Bedanya, ia tidak marah sama sekali. Karena ia bukan orang gila
atau tidak waras. Akad juga tidak akan memukul atau meneriaki anak-anak yang
sengaja mengganggu perjalanannya. Ia begitu senang diikuti oleh mereka. Setidaknya
bisa sedikit menghilangkan kesepiannya yang abadi.
Kadang orangtua dari anak-anak itu datang ke rumah Akad dan memberi
beberapa sembako, atau kopi dan gula sebagai permohonan maaf. Seringnya si tua
itu menolak pemberian cuma-cuma dari para tetangga, kecuali jika pada akhirnya
mereka sekalian minta dipijat kepala dan kaki atau bersedia ngobrol lama
dengannya, baru Akad bersedia menerima apa-apa yang mereka bawa.
Kalo anak-anak gangguin mbah Akad, gertak saja tidak apa-apa, mbah.
Biar mereka kapok.
Anak-anak itu jangan digertak. Mereka bisa dikasih tau kok. Yaa, kalo
orangtuanya mau ngasih tau.
Sudah tak kasih tau lo, mbah… buandel apalagi kalo sudah ikut
teman-temannya. Ndak kapok-kapok padahal sudah dijewer juga, mbah.
Berarti caramu ngasih tau yang salah. Ngerti apa mereka sama bahasa
jeweran? Jadi dendam mereka nanti. Bisa lo anak dendam sama orangtua. Ati-ati.
Kali ini ia nembang Macapat dengan pelan, meminimalisir sumbang
nada yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Ia ingin orangtua itu mendengar apa yang
ia lantunkan. Tapi jengah dengan sanggahan yang dilontarkan Akad terhadap
sikapnya, oangtua dari salah satu anak yang mengolok Akad tempo hari,
memutuskan pulang lebih awal dan meninggalkan beberapa bungkusan berisi kopi
dan dua kilogram gula di atas meja ruang tamu.
***
Selepas mengurut Sukab, Akad mohon ijin untuk pamit. Tapi karena
jarang bisa bersua dengan karib lamanya, Sukab meminta Akad tinggal lebih lama.
Kemudian mereka bersila di ruang tamu sembari meneruskan cerita di masa lalu
yang masih keduanya kenang hingga di usia yang sudah lebih dari ¾ abad. Setelah membuatkan tiga cangkir kopi
tanpa gula, Koesno juga ikut bergabung dengan bapak dan karibnya itu.
Sukab mulai ingat dengan kejadian setahun silam, yang menewaskan
tetangga mereka dari dusun berbeda, Wedari. Tidak ada yang pernah menyangka
hidup perempuan itu berakhir dengan pembunuhan yang terencana.
Kalau saja dia nurut apa katamu, Kang…
Aku malah merasa bersalah waktu itu seperti sudah mendoakan yang
tidak-tidak.
Tapi harusnya waktu itu bu Wedari diautopsi, pak.
Buat apa, lawong sudah pada tau siapa yang bunuh.. temenmu dulu,
Le. Anaknya yu Wedari.
Badrun? Anaknya pak Akad?
Sayangnya ndak ada mantan anak, Le… Aku pernah ketemu Badrun sekali
setelah itu. Aku hapal to suaranya. Dia mau mukul tapi kena tongkatku, dua
kali. Trus datang bapakmu.
Tapi Koesno tau, tak banyak yang bisa dilakukan oleh si tua yang
kehilangan penglihatannya sejak disiram air panas oleh Badrun, anak yang ia
adopsi dulu. Wedari dan suami yang dianggap lebih punya kuasa mengajari hidup
anak itu, pada akhirnya harus mengalah dengan kematian Wedari dan lumpuhnya
sang suami. Malam itu Sukab datang tepat sebelum Badrun menyabetkan parang ke
kaki kiri suami Wedari. Ia kabur lewat pintu samping. Sementara Sukab berteriak
meminta pertolongan para tetangga. Satu orang menghubungi pihak berwajib dan beberapa
orang berusaha mencari jejak Badrun, tapi tidak ditemukan, hanya parangnya
tertinggal di pagar rumah.
Aku tak pulang jalan kaki aja, Kab… toh masih sore…
Saya bisa antar pak Akad sampai rumah.
Saya kan bawa tongkat, saya bisa sendiri, Le. Temani bapakmu saja.
Lalu mereka hanya mengantar Akad sampai pintu. Beberapa bentar ia
sudah hilang bersama sisa-sisa lampu kendaraan yang baru saja lewat. Ketukan tongkatnya
perlahan jadi samar sebagaimana suaranya yang masih asik nembang Pucung. Perlahan,
lenyap dari pandangan Sukab dan Koesno. Ketika sampai di tengah pematang sawah,
Akad mendengar langkah kaki mendekatinya dari arah depan.
Bapak…
Badrun? []
0 Comments