Perempuan itu hanya ingin segera mati. Melihat semua jejak hilang
dan luruh. Daun-daun kering pasti bisa mengantarnya menemui maut atau menuntun
ruhnya menyisir gelap. Bekas sepatu hak tinggi yang melukai tanah-tanah
marjinal, saling berdoa biar kematiannya dipercepat. Susuk-susuk ditubuhnya
mulai lepas. Tangan, leher, pipi dan betis juga mengendur, keriput. Matanya
yang binal, kosong. Mulutnya menganga seperti hendak memangsa serangga-serangga
yang lalu lalang di sekujur tubuh. Tapi beberapa jarinya masih menuntun bolpoin
bergerak membentuk huruf-huruf dan satu dua angka, hampir tak terbaca.
neszerse |
Apa yang bisa kita harapkan dari hidupnya yang sia-sia?
Biar dia dan mautnya yang menjawab. Kesia-siaan bagi kita, belum
tentu sepadan.
Apakah pesan ini segera sampai? Aku bisa menulisnya lebih panjang
dan membawa mereka menemui sekotak hampa udara. Mungkin hanya dewa angin yang bisa
membacakan pesan terakhirku.
Perempuan itu bicara, di usia yang masih seperempat abad. Tapi tak seorangpun
bisa mendengar suara yang keluar dari bibir kemaluan. Seperti teriakan
pesakitan, orang-orang di ambang sakaratul maut dan budak-budak kenisbian yang
ditunggangi segala bentuk keniscayaan. Tapi bibir itu benar-benar berteriak,
mengoyak gendang telinga anjing-anjing perumahan yang masih terjaga. Lolongan para
anjing berhasil menyulut api berkobar dari sudut ruang tamu, merembet ke
pembaringan dan membakar tikar tempat ia telentang.
Beberapa gagak tua memekik dan sulur-sulur muda dari taman Firdaus mulai
merayapi kaki si perempuan, sampai ke lulut lalu membungkam gundukan daging di
selangkangan yang penuh borok itu. Makin garang gagak memelik dan sulur-sulur
berapi masuk ke lubang menghunus seperti pedang sampai ke mulut perempuan yang
menganga, tanpa suara.
***
Rokis terhenyak. Ada kenikmatan yang sekelebat menyentak di antara
dua paha. Ia masturbasi lagi, lewat mimpi. Lalu ia memeluk tubuh dan mencium
satu persatu jemarinya.
Aku mencintaimu dengan sepenuh-penuhnya, diriku.
patchworksoul |
***
Dan pagi sudah menjadi racun bagi tubuh-tubuh yang gagal. Beberapa pertanyaan
menggelayut, bahkan sebelum kelopak mata pertama terbuka. Tanpa ancang-ancang,
pertanyaan-pertanyaan itu berbaris menunggu giliran bicara. Pertanyaan
pertama mirip saripati anggur –lebih kental dan berlendir, mungkin kadaluarsa.
Buat apa kita bangun?
Rokis diam, menatap langit-langit kamar yang mulai mengikis
mimpi-mimpinya. Sementara lampu 8 Watt yang ia bawa dari rumah sudah redup. Menambah
remang masa depannya. Ralat! Masa depan adalah kegelapan paling nyata. Sedang ia
tak pernah merasa menemukan apa-apa. Ia masih berpikir, bertanya ulang pada
diri sendiri, buat apa aku bangun? Tapi mungkin, kali ini ia bisa menjawab
pertanyaan pertamanya.
Aku harus bangun, sebelum bau pesing membebani hidungku sendiri.
Lalu ia bergegas melepas beban. Jongkok beberapa bentar di atas
kakus. Berupaya mengosongkan pikirannya dari pertanyaan kedua, tapi gagal. Pertanyaan
itu kini lebih mirip bau kencing yang didominasi kopi. Ia ingat, terakhir kali meneguk
mineral tiga hari lalu. Selebihnya teh, kopi dan beberapa kaleng bir. Tidak heran
kalau pertanyaan kedua mustahil lenyap begitu saja.
Apa yang kita rasakan?
Kita mendapati kematian demi kematian lalu keluarga yang ditinggal
memangku tangan. Tapi ia tak bisa merasai apa-apa. Bagaimana seharusnya sedih atau
iba dirasakan? Ia ingin menyesal, sebab melulu mendoakan manusia bertemu dengan
maut-mautnya. Tapi apa itu sesal? Sedang ia lega dan puas mendengar kabar
kematian dari banyak orang. Tapi bagaimana harusnya semua itu dirasakan?
Aku tau… Aku merasa ingin berak saja.
Rokis masih jongkok, menyalakan sebatang kretek dan menghisapnya
pelan. Mengikhlaskan tahi-tahinya berguguran. Lalu ia mulai lagi. Ingin segera
hilang dan luruh seperti berak, tak perlu berbekas –mungkin bisa sekali bilas. Tapi
tiba-tiba pertanyaan ketiga muncul seperti bayangan stiker, sebentuk lelehan lencung
ayam yang sempat ia jilat ketika merangkak –dan ia bangga menjadi bagian
dari generasi bayi-bayi yang sok tahu itu.
Kenapa kita masih hidup?
Sedang empat atau lima butir obat tidur selalu ia konsumsi
tiap-tiap malam. Obat apapun termasuk antibiotik dan antidepresan, biar bakteri-bakteri
segera resisten dan ia mati perlahan. Tapi ia tak pernah ditemukan sekarat,
sama sekali. Tubuhnya lebih kebal dari yang ia duga sendiri.
Mungkin tidak sekarang. Mungkin setelah ini, nanti? Setidaknya
jangan di kamar mandi. Aku masih berak.
fimela.com |
***
Berat badannya sudah susut, sisa 32 kg dari 56 lebih sekian.
Cucu pertama yang baru datang dari kota plat AB, bahkan bisa menggendongnya
sampai ke kamar tamu. Ia ditimang seperti bocah dan rakus perhatian dari
orang-orang dewasa. Satu-satunya perkara yang membuat Rokis menangis hanya
dirinya sendiri. Tapi jangan harap bisa mengembalikan keutuhannya. Tak ada
lemak yang berani berlama-lama singgah. Andai darahnya bisa segera beku…?!
Suapi mbah putrimu dulu sebelum berangkat.
Ia terkekeh mendengar anak yang ia asuh sudah bisa menyuruh anak
semata wayang, sekedar menyuapinya. Ternyata ia menua. Dan pertanyaan keempat
timbul tenggelam di lautan bubur sumsum, setengah santan dan gula merah.
Sampai kapan?
Sudah 20 tahun, sejak ia didiagnosis Melankolia. Termasuk manusia
yang bisa bertahan cukup lama. Harusnya ia mati muda, seperti cita-cita yang ia
dengung dan upaya. Sayang, ia selalu gagal mengakhiri hidup. Gairah untuk mati
kadang lenyap. Bukan berarti ingin merasai hidup lebih lama, tapi tak lagi
punya gairah merasai apa-apa. Semua kering yang mengundang gugur atau hujan
yang menghapus bekas lubang-lubang tikus, tak bisa dijamah. Ia sudah hilang dan
luruh, tapi tidak demikian dengan jasadnya.
docplayer |
Sedang bibir kemaluan itu masih menjerit. Meminta pertanggungjawaban
pada yang dulu ongas merisak perempuan di separuh abad usia. Kelopak tanpa bola
mata yang miskin. Hanya bisa menganga, menunggu dewa angin mendesir di kedua
daun telinganya. Dan ia tak bisa menjawab pertanyaan keempat. Sampai sepersekian
jam sejak cairan terakhir mengembara melewati liang, ia mulai mengulang.
Apakah pesan ini segera sampai? Tapi aku tak merasai apa-apa.
Lalu, buat apa sia-sia? []
0 Comments