Kau mulai
berkemas. Melipat tiga kemeja, dua kaos warna biru, tiga celana dan beberapa
pakaian dalam, satu novel yang belum khatam dan buku catatan, lalu
memasukkannya ke ransel hitam merk kenamaan, kesukaanmu. Beberapa jam lagi
perjalananmu akan kembali dimulai. Kali ini hanya untuk singgah ke dua atau
tiga kota. Bertemu dengan klien, karib lama dan seorang perempuan yang belum
ingin kau kenalkan pada ibu.
Seperti pagi
yang nyala redup dari sinar matahari belum menguning sempurna, kubuatkan
secangkir teh melati tanpa gula. Agak lama, setelah lulus SMA kau pernah bilang
untuk tidak mencampurkan gula pada tiap-tiap minuman pagimu, entah teh atau
kopi. Aku setuju sebab mungkin akan baik untuk proses pencernaan, maka aku juga
mengikutinya dengan takaran bubuk kopi yang lebih sedikit dari takaran di
cangkirmu.
dakwatuna |
Mau sarapan
dulu?
Tidak,
bawakan bekal saja.
Beberapa apel,
sekotak nasi dendeng dan termos berisi kopi kupastikan siap kau bawa dalam
sepersekian menit. Ritual pagi yang dingin dan singkat, menandai kesepian yang
semakin akut. Tapi aku tak bisa memintamu berlama-lama tinggal seperti
masa-masa yang sudah kau hafal rentetan ceritanya. Tahun-tahun kekanakmu
mungkin sudah kau anggap habis. Permainan-permainan jerami, sawah, lumpur,
sungai dan ikan-ikan sudah tak kau butuhkan. Tinggal perkara-perkara serius,
menantang dan capaian-capaian yang ingin kau tuju.
Mungkin,
rumah sekedar tempat memangkas lelah atau sembunyi sejenak dari kalut yang kau
hadapi di luar sana. Setelah merasa lebih baik, kau tidak akan membutuhkannya
lagi. Mungkin, rumah juga tak lebih dari tempat singgah mirip kos, tapi kau tak
perlu bayar sebab selalu terbuka menunggu langkah kakimu menjejak ubin-ubin tuanya. Tugasku hanya
memastikan tubuh ini ada untuk menyambut kepulanganmu yang entah, semakin tak ada
yang pasti.
Tapi aku
sudah terbiasa menghadapi apa-apa yang tidak pasti. Pernikahanku dan
kelahiranmu, kematian demi kematian yang selalu meleset dari prediksi,
kepergian bapakmu yang juga, entah. Aku memang takut kalau sewaktu-waktu kau
juga pilih tak kembali sebab merasai keadaan yang tidak sesuai dengan zamanmu,
di rumah ini. Sedang aku tak bisa berbuat apa. Oleh sebab itu aku tak pernah
bisa memintamu tinggal lebih lama. Meski bagiku kau tetap kekanak yang ceroboh
dan perlu dikhawatirkan.
Aku tidak
percaya kisah Malin Kundang sebab kau adalah orang terpelajar dan aku tidak
pernah membiarkan perut kita dihujani rasa lapar. Semenjak lulus strata satu
dua tahun lalu, kau pilih bekerja dan urung melanjutkan. Aku ingin, tapi katamu
nanti dulu.
Mari kita
bagi tugas, bu.
Aku masih
sanggup jika kau ingin melanjutkan lagi.
Setidaknya
biarkan aku merasai bagaimana menjadi buruh, pekerja. Aku tidak ingin menjadi
terpelajar tapi gagap realita. Bu, kau pasti mengerti ini.
Ngger, kita
tidak akan pernah bisa lepas dari jeratnya. Setiap jengkal langkah dan
saku-saku kita, tidak bisa keluar dari lingkaran itu.
Setidaknya biarkan
aku merasainya, bu. Tidak lama…
Percakapan itu
membuatku makin sadar, kau bukan lagi kekanak yang merengek minta diijinkan
bermain atau ikut persami di lapangan sekolah. Kau lebih terpelajar dariku,
melahap buku-buku di perpustakaan ibu lebih dini. Mungkin, mengijinkanmu
berpetualang dengan dirimu sendiri adalah kewajibanku sebagai ibu. Meskipun aku
akan kehilangan waktu mengelus kepalamu dan mendengar cerita-cerita heroik yang
kau alami di masa-masa belajarmu setiap hari itu. Tapi aku memang harus,
kehilangan. Apakah setiap ibu harus mencecap kehilangan demi kehilangan dalam
hidup –ketubuhannya, kesempatannya dan jabang yang keluar dari rahimnya?
***
“Malang,
Tujuan terakhir.
Selamat bertemu,
perempuanku.” – Yogyakarta, 2012
Kututup buku
harian pemberian ibu di ulangtahunku yang ke-23. Setelah ini Malang, akan ada
perempuan menyebalkan yang mengundang rindu itu di sana. Aku tidak bisa
menghubunginya lebih dulu. Kami selalu membuat kesepakatan yang konyol dan tidak
biasa. Tapi, aku menyukainya. Ia adalah karib yang mengajariku banyak hal soal
menghormati perempuan dan hak-haknya sebagai sesama manusia. Meskipun aku sudah
banyak belajar itu dari ibu, tapi aku menghargai penyampaiannya yang selalu penuh
hal baru, tidak menggurui.
Aku ingin
segera memperkenalkannya dengan ibu. Aku membayangkan kami bertiga bisa minum teh
tiap pagi dengan perdebatan yang lebih hangat. Tidak seperti beberapa waktu
terakhir, ibu murung dan aku kehilangan banyak konten untuk kubicarakan
dengannya. Mungkin dengan kehadiran perempuan menyebalkan itu, ibu bisa punya
teman bicara beberapa waktu. Rumah tidak akan sedingin hari terakhir sebelum
kutinggalkan.
Kami memang
tidak pernah punya relasi khusus selain karib. Ia tidak ingin menjalin hubungan
yang terlembaga. Tapi keterbukaannya membuatku lebih bisa menerima semua
keputusan yang ia sampaikan dengan lapang. Ia akademisi seperti ibu tapi sangat
jauh menyebalkan dan aku harus mengulang kata itu berpuluh-puluh kali dalam
buku harian selepas bertemu dengannya. Aku ingin mengajaknya bertemu ibu,
niatku sudah bulat. Aku harus meredakan kemurungan itu segera. Sebab tak ada yang
lebih membuat kalut selain dinginnya sikap ibu.
Kau jadi
ajak aku pulang, Koes? Ingat, tidak ada pembicaraan pernikahan.
Sans, aku
hanya minta tolong satu itu saja, tidak lebih.
Lagipula,
aku orang asing. Kau tentu yang lebih paham ibumu daripada orang lain.
Benar, tapi
aku gagal mengatasi kemurungan itu. Aku takut bertanya. Kuakui, kemurungannya
justru membuatku mengambil jarak.
Jam berapa
kita berangkat dan sampai di rumahmu?
Tidak lama,
sekira empat jam. Aku meninggalkan motorku di penitipan kendaraan di stasiun.
Janji kelingking.
Tidak menyoal relasi, atau aku akan pulang detik itu juga.
Seperti biasa,
hanya jari kelingking kami yang bisa saling berpagutan, tanda kesepakatan telah
kami buat, semacam amanah yang harus dipegang masing-masing. Kami percaya,
kesepakatan jika terjadi dalam relasi lain–bukan seperti yang kami jalani–hanya
jadi mitos dan sesuatu yang utopis. Maka persahabatan ini setidaknya jadi ruang
paling egaliter, tempatku menjalin kesepakatan demi kesepakatan dengannya.
suar.id |
***
Hari ini aku
akan bertemu dengan seorang perempuan seusia ibuku, mungkin. Tapi hebatnya, ia
adalah akademisi yang juga punya fokus pada masalah-masalah perempuan. Kata
Koesno, anaknya sekaligus sahabatku, ibunya pernah beberapa kali menangani
kasus perempuan tenaga kerja yang mengalami kekerasan oleh suami dan kehilangan
hak asuh atas anak semata wayang. Ibunya juga sempat tergabung dalam tim
advokasi dan menangani persoalan-persoalan perempuan di Indonesia yang kompleks
dan jarang mendapat perhatian serius.
Aku memang
kagum hanya karena mendengar dari Koesno tentang ibunya. Aku membayangkan bisa
bercakap banyak hal tentang fenomena-fenomena terkini. Terlebih kata Koesno,
ibunya punya banyak koleksi buku yang membuatnya dulu sangat betah berlama-lama
di ruang baca pribadi keluarga. Aku benar-benar tertarik dan akhirnya
mengiyakan ajakan Koesno menemui ibunya. Aku yakin saja bisa lekas akrab,
karena sangat mungkin kami satu frekuensi.
Menurutmu apa
hal yang paling mungkin membuat ibumu murung?
Setelah ia
pensiun, aku tidak pernah tau apa yang ia alami di rumah. kukira hal yang
membuatnya dulu sering murung adalah pekerjaan kantor.
Tapi ternyata
bukan? Baiklah, kita akan cari tau, bocah. Tidak usah memasang wajah ikut murung
begitu.
Kami sampai
di rumah Koesno jam dua siang, setelah sempat berputar-putar membeli beberapa
oleh-oleh untuk ibunya. Halaman rumah
tampak lengang, hanya ada beberapa daun mangga yang jatuh tertiup angin. Pintu depan
tertutup sedang pintu samping terbuka lebar seperti sengaja menunggu seseorang
memasukinya. Aku diajak Koesno menuju ke pintu samping, sehingga bisa melihat bayangan
tubuh sepuh di depan mesin jahit bersama beberapa kain batik coklat di
pangkuannya.
Sadar dengan
kedatangan kami, ia buru-buru menghentikan kegiatannya, menyambut Koesno dengan
sangat erat. Aku hampir-hampir dibuat meleleh dengan adegan itu. Aku tidak
ingat punya berapa teman laki-laki yang bisa sedekat ini dengan sosok ibu
setelah berumur sekian.
Rokis ya? Anak
sudah sering cerita kalau punya teman yang menyebalkan. Sambil sedikit
terkekeh ia menyalamiku dan hangat. Aku hampir-hampir tidak melihat kemurungan
seperti yang diceritakan Koesno sebelumnya. Ia sangat sehat dan baik-baik saja,
menurutku.
Dia mau
menemani ibu untuk beberapa hari.
Kau mau
pergi lagi?
Dua hari lagi
harus ke Surabaya, bu.
Baiklah. oh
kalian duduk dan istirahat dulu, ibu buatkan teh.
Aku buru-buru
pamit ke kamar mandi setelah menahan hampir tiga jam. Sekilas aku mengamati
rumah tua dengan halaman depan dan belakang yang sama-sama luas. Halaman
belakang menyekat dapur dengan kamar mandi sehingga butuh waktu untuk bisa
langsung menjangkaunya.
Selepas 15
menit kuhabiskan di rumah orang hanya untuk buang hajat, kusempatkan
berkeliling halaman belakang. Aku melihat tumpukan bingkai foto di pojok
halaman yang sedikit cekung, seperti sengaja disediakan untuk tempat membakar sampah.
Rasa penasaran menyuruhku mendekati tumpukan bingkai itu. Anehnya, ada bercak
darah di setiap bingkai yang jumlahnya lebih dari lima buah itu. Sementara foto-foto
di dalamnya kosong dan satu bingkai kacanya pecah tak beraturan.
Ro, mari
ikut makan…
0 Comments