Bayangan
itu masih duduk mematung, menghadap sungai yang bermuara ke pantai selatan.
Memegang bolpoin merah dan semacam buku catatan berukuran 10x15 cm. Ia tak lagi
membuka halaman awal. Mungkin sudah rampung membaca. Ia langsung ke halaman 20
dan menuliskan beberapa kode rahasia di antara petak yang tersedia. Sebelum
itu, ia sempatkan memandang sekeliling. Memastikan tak ada orang yang
memata-matainya. Termasuk para penjual minuman dan pengamen, tidak pernah habis
meminta jatah beberapa rupiah dari sakunya.
Setelah
selesai mengisi semua petak, ia bergegas memasukkan buku kecil itu ke dalam
ransel hitam, sedikit berembun. Ia berdiri dan berjalan ke arah utara,
mempercepat laju. Lalu mengambil ponsel dari saku jaket biru yang sedari tadi melindunginya
dari suhu kota, masih diambang wajar, 14°C. Bayangan setinggi 168
cm itu masih memandang ponsel sembari mencari satu kontak yang harus ia hubungi
segera. Tak lama, ia menemukan nomor itu, menekan tombol panggil, menunggu.
Sudut
utara, seperti biasa, empat menit.
AG,
6325. Timur.
Ia
bergegas lagi. Menuju titik yang telah disepakati. Mempercepat langkah kaki,
tanpa peduli mata tiap-tiap kepala mengawasi. Sesampainya di sudut utara, mobil
silver mendatanginya, tepat waktu. Lalu dua bayangan itu lebur bersama
roda-roda yang lain.
Perjalanannya
tidak memakan banyak waktu. Tapi sebelum sampai tempat yang mereka tuju, ia
membuka kembali buku berpetak itu. Sekali lagi mengamati deret angka yang
berjejal, hitam-merah. Berharap tak ada kesalahan. Sebab satu kotak saja
meleset, seluruh rencana besarnya akan gagal.
***
Gadis
itu masih menghafal deretan angka yang diberikan oleh sang ibu. Delapan angka
pertama tak lain tanggal, bulan dan tahun kelahirannya, ditambah beberapa angka
kesukaan ibu dan bapak. Total hanya 12 tapi ia begitu sukar menghafalkannya. Ia
tak berani mencatat. Takut lembar catatan berpindah tangan. Sepanjang jalan ia
terus menghafal, mengabaikan panggilan-panggilan tetangga atau karib yang
menyapa. Sesekali ia berhenti, menarik napas lalu melanjutkan menghafal 12
angka yang mulai melayang-layang di kepala membentuk pohon, ikan, mainan dan
tumpah menjadi sepiring menu makan siang.
Sampai
di perbatasan desa ia melihat sekelebat bayangan mirip seseorang yang ia kenal.
Ia merasa sangat tidak asing dengan bayangan yang lenyap seketika itu. Tapi
segera ia lupakan sebab tak ingin bayangan itu mengacaukan apa yang telah susah
payah dihafalkannya. Gadis itu kini melebarkan jarak antar kaki. Ingin berlari,
tapi yang ia lakukan hanya jalan cepat, semakin cepat untuk bisa menyampaikan
kode rahasia kepada Ladirah, nenek dari ibu.
Jarak
rumah dengan tempat tinggal Ladirah memang tidak begitu jauh, hanya 13 km
melewati dua sungai kecil. Tapi tak ada kendaraan yang bisa ia gunakan untuk
menjangkau tempat sang nenek, kecuali dengan kakinya sendiri. Kadang ia merasa
aneh, karena sang nenek tinggal seorang diri di tempat yang hampir sulit
terjamah manusia. Tak ada rumah lain di samping kiri atau kanan. Bahkan mungkin
hanya gadis itu dan keluarganya yang bisa hafal dengan jalan setapak yang harus
dilalui, agar bisa sampai ke rumah tua Ladirah.
Rokis-2806
Siapapun
tau Rokis bukan angka. Berapa yang dibawa? Sebutkan semuanya.
12,
nek… 280320052806. Empat angka terakhir ibu-bapak.
Lalu
pintu lapis tiga itu otomatis terbuka. Tanpa perlu si tua renta membukanya. Ia
memiliki banyak teknologi canggih di seluruh sudut rumah. Usia Ladirah memang
sudah hampir satu abad. Tapi tak ada yang bisa menandingi kelihaiannya meramu
rakit teknologi. Sementara obat-obat yang membuatnya awet muda ia racik sendiri
dari apa-apa yang bisa ia petik di sekitar pondok tuanya.
Kenapa
bapak dan ibu tidak tinggal di sini saja, nek? Aku capek harus bolak balik
mengunjungimu.
Ada
yang belum selesai, nduk… Sabarlah dulu. Menunggu satu orang.
Siapa?
Kamu
itu kok kepo. Sana ke dapur, ada makanan kesukaanmu.
Oh
iya, nek… Tadi di perbatasan desa, Rokis seperti melihat paman Sogi. Tapi
mungkin hanya perasaan Rokis saja. Mana mungkin paman Sogi hidup lagi.
Ladirah
menimbang-nimbang cerita yang dibawa cucu semata wayang. Sogi, anak ketiganya
telah mati terlilit awan panas ketika berusaha membunuh Rokis, tiga tahun lalu.
Tapi tak ada bangkai atau bau daging bakar yang tersisa. Keluarga besar itu
mengira mayat Sogi menjadi asap atau dibawa kabur predator belantara. Jika
tidak demikian, sangat mungkin ia memang masih bertahan dan hidup sampai hari
ini.
Itu
tandanya kamu harus hati-hati. Siapa tau itu penculik?
Rokis
hanya manggut-manggut. Ia tak pernah mau tahu kenapa Sogi sampai tega ingin
mengakhiri hidup keponakannya. Ia hanya pernah mendengar, tak boleh ada pewaris
lagi. Semua harus selesai dan si mbah harus mati. Tapi Sogi tak sampai hati
jika harus membunuh ibunya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah
membunuh Rokis, cucu tunggal yang digadang-gadang bisa menjadi pewaris ilmu
yang Ladirah miliki.
***
Mobil
Silver sampai tujuan. Membawa sesosok bayangan dengan buku catatan rahasia.
Tapi ternyata itu bukan buku catatan, hanya buku Sudoku yang sudah jarang
dimainkan orang. Dan ia masih membawa buku itu, menandai halaman ke-20 tempat
beberapa angka rahasia ia sematkan.
Strategi
mulai ia mainkan. Beberapa kejadian mengerikan hari itu terjadi sesuai dengan
kode-kode yang ia pasang. Beberapa orang kepercayaannya berperan dengan sangat
total, dua diantara lima yang terlibat, mati terpanggang. Sedang tiga lain
berhasil mengecoh para pemburu bayangan dan ransel yang ia bawa, selamat.
Setelah
ini aku bisa ke rumah ibu dan bertemu anakku.
Bagaimana
dengan Sogi? Hanya dia yang menghalangi berkumpulnya kalian.
Keparat
itu harus benar-benar mati kali ini. Tak akan kubiarkan ia membunuh Rokis.
Caranya?
Kita
buat siasat baru. 24, lewat sembilan kotak.
Bayangan
itu melewati beberapa halaman dan menuju ke halaman 24 untuk menyusun siasat
membunuh adik iparnya. Kematian Sogi yang dipalsukan telah ia ketahui sehari
setelah berakhirnya kejadian naas yang hampir merenggut Rokis. Tapi ia diam dan
menunggu saat yang tepat untuk benar-benar melenyapkannya. Dan setelah tiga
tahun berlalu, saat ini amunisinya cukup untuk melawan iparnya sendiri.
Di
dalam ransel, ada satu obat yang telah dibuat khusus untuk mematikan Sogi.
Sebab lilitan awan panas itu telah membuat tubuhnya kebal pada beberapa zat.
Dan
siasat 24 adalah jalan satu-satunya?
Sangat
mungkin meleset.
Semua
kemungkinan telah dipersiapkan, termasuk yang paling buruk. Rencana terakhir
bukan hanya perihal melenyapkan nyawa, tapi mempertahankan otoritas. Sedang
terlalu banyak Sogi di luar sana yang harus ditumpas. Kali ini ia mengatur
siasat dengan tanda merah di seluruh bagian. Petak-petak di halaman 24 memang
kosong, tak ada angka bantuan berwarna hitam, sama sekali. Halaman khusus yang
entah sejak kapan tersedia.
Beberapa
minggu sejak siasat ke-24 dipilih, ia mengurung diri di ruang 3x4 m² itu sendirian.
Memandang lekat-lekat masing-masing kotak kecil yang harus ia isi angka-angka. Masing-masing
angka adalah koordinat dan ini merupakan peta paling kacau yang ia rancang demi
menemukan tempat persembunyian Sogi dan kelompok konservatif yang mengikutinya.
Ia menghitung sudah lebih dari 316 orang bergabung di tahun ketiga, totalnya 1392
manusia. Dan ia harus melenyapkan setidaknya ¾ dari jumlah itu agar bisa
mengendalikan virus yang dibawa, dan yang paling utama adalah Sogi.
***
Tidak
ada yang bisa menjelaskan secara rinci bagaimana akhirnya rencana itu berjalan.
Ia yang dikawal beberapa orang berhasil melenyapkan Sogi tanpa harus mencerabut
nyawa para pengikutnya. Semua terjadi dalam semalam. Hanya butuh waktu kurang
dari lima jam, Sogi benar-benar mati.
Setelah
selesai dari proses pembakaran mayat Sogi, bayangan itu bergegas menuju rumah
sang mertua, menjemput anak semata wayang. Butuh 13 jam perjalanan darat untuk
sampai ke desa kecil itu, termasuk melewati dua sungai menuju kediaman Ladirah.
Ia merasa puas, ancaman keluarga besarnya telah tiada. Sekarang tinggal melepas
rindu dengan orang-orang yang dicintainya. Tak lupa ia mengajak sang istri ikut
serta.
Pintu
rumah kali ini terbuka lebar, menjadi tanda tak ada lagi ancaman. Ia dan istri
makin bahagia dan langsung memutuskan masuk tanpa mengetuk. Ia menuju lantai
dua sembari memanggil-manggil Rokis. Sebelum sempat menemukannya, sang istri sudah
lebih dulu menjerit, sebab menemukan nenek tua duduk mematung di ruang makan,
bersimbah darah dengan mata melotot dan mulut menganga.
Ia
turun menuju sumber suara sang istri, memeluknya sebentar dan kembali teringat
pada Rokis. Bayangan itu naik lagi ke lantai dua dan membuka kamar tempat biasa
Rokis menghabiskan waktu bersama mainannya. Dan ia menemukan gadis itu. Kali ini
menatapnya tajam, duduk manis sambil membawa beberapa lembar sobekan buku permainan
Sudoku, membolak-baliknya sebentar dan tersenyum.
Sudoku,
halaman 24, khatam. []
0 Comments