Semua
seperti rangkaian drama anak muda yang sudah sering diputar ulang di layar
televisi, monoton dan membosankan. Membuatmu hafal plot dan ekspresi yang bakal
ditampilkan masing-masing tokoh. Cerita yang disuguhkan, jika bukan perkara
omong kosong, mungkin sekedar imajinasi-imajinasi yang penuh dengan hasrat
keutuhan, jauh dari menjangkau keterasingan manusia dari semestanya.
Siapa
yang membuat naskah-naskah konyol itu? Gerutumu setiap melihat beberapa acara
yang tersaji menjelang sarapan, sekaligus menemanimu menghabiskan sepiring penuh
karbohidrat ditemani susu coklat panas. Andai isi televisi sesuai dengan apa
yang ada dipikiranmu, mungkin kau tak perlu ke mana-mana lagi. Sayangnya,
kartun-kartun kesayanganmu juga mulai dibabat habis dan digantikan obrolan dan
info-info seputaran menggunjing privasi orang.
Para
kreatif itu akan mulai mencari nama-nama baru, aktor, aktris atau selebriti yang
punya daya gunjing tinggi. Mengupas kehidupan pribadi dengan sangat detail,
tanpa mau peduli mereka punya kualitas dan prestasi apa, tak peduli mereka
punya andil apa, abai saja asal rating terus naik dan media mereka tetap
ditonton manusia-manusia konsumtif yang rela kehilangan waktu produktif mereka,
hanya untuk ikut menyusuri kabar kabur yang sesungguhnya tidak membantu apa-apa,
tidak berkontribusi apapun pada hidup mereka yang semakin tanpa tujuan.
Kalau
ndak suka yaa jangan dilihat. Dari tadi ngomel terus.
Bu,
mereka itu nggak jelas. Edukatif darimananya kalau kayak gini.
Makanya,
lihat itu yang dagelan aja. Biar kamu ndak spaneng.
Perempuan
itu mengambil alat makanmu dan membawa semua cucian kotor ke dapur. Kau bergegas
mengekornya, sebab tak ingin ia buang-buang tenaga berteriak hanya untuk
memanggil dan menyuruhmu melakukannya.
Yaa,
ini adalah rutinitas pagimu. Membuka semua jendela rumah, merapikan beberapa
bantal dan selimut yang kau gunakan untuk tidur di depan televisi, lalu pergi
ke dapur untuk menunaikan hajat sebagai anak terakhir, membantu pekerjaan ibu.
Jika menu sarapan pagi telah dibawa oleh perempuan itu ke meja makan, kau akan
menunda beberapa pekerjaan dan mengambil beberapa enthong nasi lengkap
dengan lauk dan sayur bersantan.
Sembari
menyantap menu pagi yang hanya akan berubah dua atau tiga hari sekali, kau dan
ibumu menghidupkan televisi dan melihat ada kabar terbaru apa yang bisa kalian
berdua konsumsi. Tapi selalu sia-sia untukmu karena apa-apa yang kau butuhkan
tak pernah bisa kau dapat dalam layar kotak persegi itu. Berbeda dengan
perempuan di sebelahmu yang akan terlihat snagat menikmati setiap berita yang
sampai pada telinga dan matanya.
***
Aku
suka berlama-lama di depan layar bersamanya. Menikmati sisa siang menuju sore
menuju malam dan tidur. Lalu mematikan layar persegi itu tepat setelah ia benar-benar
telah lelap dan mulai mendengkur. Paginya, kita akan memasak dan membersihkan
rumah bersama, sarapan dan kembali menyalakan layar televisi peninggalan bapak
dan mendengarnya mendongeng kesal karena melihat berita-berita dengan topik itu-itu
saja.
Hampir
tak ada perbincangan lain, selain mengomentari isi media demi media. Meski
begitu, aku dan dia tak pernah beranjak dan berjarak jauh dari rumah. Ini
adalah surga kecil yang sengaja kubangun untuknya dan untukku sendiri. Tidak akan
kubiarkan dia jauh dariku, seharipun. Maka dengan sisa tabungan yang ada,
kubangunkan ia toko yang memakan hampir seluruh halaman rumah. ia boleh
mengisinya dengan apapun, sesuai kesenangannya. Kuharap dengan itu, ia bisa
betah di rumah, menemaniku.
Yaa,
tapi beberapa tahun terakhir kami mulai kehilangan topik untuk dibicarakan. Ia lebih
murung dan pilih mendekam di depan meja kasir dengan beberapa tumpuk buku. Aku memahami
kejenuhannya. Anak seusia itu seharusnya masih punya waktu untuk sekadar ngopi
atau bermain dengan teman sebayanya. Apalagi dia anak laki-laki. Belum cukup
pula usianya untuk menikah. Sedang aku, tidak ingin ditinggalkan oleh buah hati
yang mulai menginjak 19 tahun ini.
Ia
pernah bersesumbar untuk tidak menikah dan berjanji akan menjagaku sebagaimana
aku mengasuh dan menjaganya selama ini. Tapi aku tidak yakin beberapa baris kalimat
itu bisa ia pegang sampai aku mendekat dengan maut. Aku tidak bisa merenggut
haknya lebih banyak. Bagaimanapun, ia adalah manusia yang punya otoritas atas
dirinya sendiri. Aku sering menyesali keputusan dan mengatakan penyesalanku. Tapi
di sisi lain aku tidak ingin ia menjadi berjarak dengan orang yang mati-matian
melahirkannya. Meski sebenarnya kami telah lama saling mengambil jarak.
Sampai
peringatan seribu harian meninggalnya bapak, aku katakan padanya untuk keluar
dari sarangku. Kubebaskan ia memilih akan menuju kemana dan akan melakukan apa.
Aku tak memaksanya tinggal lebih lama, hanya jika ia berkenan untuk menengok
atau pulang sebentar, akan sangat menggembirakan. Tapi lagi-lagi ia menolak. Ia
bilang sudah terlalu lama kami saling memunggungi tanpa pernah bertanya, apa
yang masing-masing rasai.
Tunggu
aku bosan, bu.
Tapi
hidup harus berjalan, ngger. Aku tidak mau membatasi ruang gerakmu. Aku tidak
mau menjadi bapak yang mengambilku dari orangtua dan menahanku di sini.
Aku
merasa hidup, bu. Aku bebas membaca apapun yang kusuka, mendengar apapun yang
alam ceritakan, aku belum bosan dengan itu.
Tapi
aku bosan, ngger. Aku bosan mengunci diriku sendiri di sangkar yang dibangun
bapakmu. Kukira aku bisa bebas setelah itu, tapi aku lupa, aku menikah bukan
hanya dengan bapakmu, tapi juga keluarganya, adatnya, sistem kepercayaannya.
Kalimat
yang terakhir itu tak pernah aku ucapkan padanya. []
0 Comments