Aku
tinggal menutup mata dan merasakan setiap bagian tubuhku mulai bergerak, lebih
lentur dan jujur mengikuti suara orang di sebelah. Pelatih mudaku, Gendhis
terus mengulang perintah yang sama dengan nada yang stabil dan suaranya yang
berat.
Kau
bisa rasai desir angin merambat dari ujung rambutmu, menyeka leher, kedua
lengan, membelai punggungmu, memelukmu dari belakang, lalu masuk pada setiap
potongan tubuhmu. Rasai itu, pelan, desirnya semakin pekat dan tenggelam.
lentera.co.id |
Yaa,
aku masih harus melakukan latihan rutin. Melenturkan setiap bagian tubuh dengan
gerakan-gerakan sesuai instruksi pelatih. Beberapa hari lagi pertunjukan Padhang
Lintang akan segera digelar, tepatnya kurang enam hari. Kali ini aku berkesempatan
memerankan tokoh perempuan, tapi bukan diriku sendiri. Sosok itu akan
membutuhkan banyak bahasa tubuh, gerak isyarat, sedikit dialog, tatapan kosong
dan ilusi total. Peran sentral yang sangat kuharapkan, bahkan sejak pertama
kali bergabung dengan komunitas Padhang Lintang.
Meski
sudah kali ketiga aku ikut serta dalam pentas, tapi baru kali ini bertemu dan
satu tim dengan Gendhis. Ia adalah pelatih olah rasa dan bahasa tubuh termuda.
Usianya selisih dua tahun denganku. Sangat pendiam dan menguasai medan. Ia
lekas jadi pelatih paling favorit di kelompok kami yang berjumlah 13 orang, 6
laki-laki dan 7 perempuan.
Cukup!
Kamu ingin menjadi robot atau merasai desir angin?
Maksutnya?
Daritadi
kamu memeragakan hal yang sama. Kamu mau main teater apa guru senam kesehatan
jasmani?
Aku
salah apa? Aku sudah menari mengikuti saranmu, Ndis.
Hari
ini latihan cukup. Kamu punya waktu 3 hari untuk introspeksi, Ro. Kita butuh
orang yang bisa berimajinasi, bukan sekedar penuh obsesi.
Aku
tidak membalas kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya. Bagiku terlalu pedas
dan memalukan karena semua anggota tim mendengar komentar itu. Lalu
masing-masing dari kami beranjak, tanpa ada sesumbar atau basa-basi untuk
nongkrong seperti biasa. Aku memutuskan pulang, benar-benar lebih awal dari
sebelum-sebelumnya.
Di
jalan, kucermati lagi kata-kata yang tidak terlalu panjang itu. Apa-apaan
Gendhis, bisa-bisanya ia memberi komentar yang membuatku seolah tidak bisa
apa-apa. Selama dua kali pentas hampir setiap orang memberi komentar bagus
perihal ekpresi dan mimik wajah yang kutampilkan ketika di panggung pertunjukan.
Semua bertepuk sorai memuji suaraku ketika melantunkan sajak Sapardi atau
Rendra. Apa yang salah dengan bahasa tubuhku?
***
keepo.me |
Gendhis
menjadi orang terakhir yang pulang dari sanggar. Ia menuntaskan membaca
beberapa proposal kerjasama yang masuk, baru kemudian memutuskan untuk menutup
sanggar dan tidak jadi menginap. Ternyata di teras masih ada dua sejoli yang
pilih menghabiskan waktu ngobrol. Gendhis menyapa keduanya, basa basi. Tapi
pasangan itu sengaja tinggal lebih lama, untuk bisa bercakap dengan Gendhis.
Tak
baik di sini berduaan, kalian.
Sanggar
ini bebas, kak. Kita biasa di sini sampai pagi.
Tapi
tak ada yang benar-benar bebas. Kita harus tau batas, sebab hidup di tengah
masyarakat yang moralis.
Kau
benar, kak… tapi sebenarnya kita berdua ingin bicara denganmu.
Oh,
iya? Ada sesuatu?
Kita
tidak pernah mendengar ada orang mengkritik pedas penampilan Rokis.
Mengkritik
itu, bukan men-judge-nya kan? Bukankah kritik itu membangun?
Tak
apa, banyak yang salah mendefinisikan kata itu.
Maksud
kami…
Ia
tak menanggapi apa yang ingin disampaikan oleh dua sejoli itu. Ia hanya
mengingatkan agar mereka juga segera pulang. Lebih baik di rumah masing-masing
menikmati secangkir kopi atau segelas susu daripada harus mendengar mulut
tetangga di sekitar sanggar mulai nyinyir dan menuduh yang bukan-bukan.
Gendhis
bukan tak percaya dua sejoli itu bisa menjaga tubuh dan pikiran masing-masing,
dengan kata lain tidak akan melakukan hal-hal di luar aturan yang mereka sepakati
bersama dalam komunitas, akan tetapi ia sendiri juga selalu diingatkan untuk mencegah
dan menghindarkan diri dari tindakan-tindakan yang ceroboh atau yang secara
langsung mengundang persepsi buruk masyarakat. Ia tidak ingin komunitas tempatnya
bernaung, menemukan keluarga baru, belajar untuk hidup menjadi tercemar, hanya
karena kecerobohan satu dua orang.
Sebenarnya
ada rasa tak enak hati dengan Rokis. Tapi ia terlanjur–dengan sengaja–menyampaikan
itu di depan semua tim, agar Rokis lekas belajar dan menyadari sesuatu. Ia dan
pelatih lain sudah siap jika harus kehilangan Rokis sebagai pemeran utama. Tapi
mereka juga yakin, bahwa gadis itu akan bisa lekas belajar meski semua tau ia
tidak akan muncul beberapa hari, sembunyi sampai menemukan jawaban dari
kesalahan yang ditimpakan padanya.
Dan
itu benar. Dua hari pasca menerima cercaan Gendhis, ia tak datang ke sanggar. Tak
ada yang bisa menemuinya di rumah. Rokis bahkan meninggalkan ponselnya dan
pamit pergi entah kemana. Tak ada yang bisa detail menerima jawaban kepergian
gadis itu. Kebiasaan yang mulai dinilai wajar oleh kedua orangtuanya, mungkin
butuh waktu sendiri.
Gendhis
juga telah memperhitungkan berapa lama anak asuhnya itu pergi. Ia yakinkan
semua orang bahwa dalam waktu tiga hari Rokis akan bisa mulai berlatih dan
memerankan sosok perempuan itu dengan lebih jujur.
Semoga
obsesinya termanifestasi menjadi ilusi yang lebih utuh.
Yaa,
dia butuh dirinya sendiri.
Semoga…
***
antaranews.com |
Aku hanya pamit untuk pergi. Jangan tanya berapa lama dan kemana arah angin membawaku. Aku mulai benci dengan angin. Aku benci mereka semua. Hanya berdiri, mematung, mengarahkan semua mata ke tubuhku yang dikata robot. Tak ada yang membelaku. Mereka yang sering bertepuk tangan memberi puji-pujian? Kemana mereka semua? Aku benar-benar merasa tak bisa apa-apa. Akhirnya aku pergi, sendiri. Memutuskan benar-benar menghindar sejenak dari mereka yang entah, menjadi begitu menyebalkan.
Aku
harus mencari apa yang salah? Kenapa tidak mereka saja yang memberitahu? Kuputuskan
berjalan ke bibir pantai dengan gundukan pasir hitam sisa tambang itu, lagi. Pantai
benar-benar sepi sehingga tak ada suara manusia di sekelilingku. Dua orang
tukang parkir dan seorang ibu yang biasa menunggui warung bersama dua buah
hatinya, hari ini juga tak terlihat berada di pos masing-masing.
Aku
mulai berteriak. Sekali, dua, tiga, kulampiaskan semuanya pada tiap-tiap debur.
Kekesalan itu dibalas oleh gulungan ombak yang makin tinggi. Dan seperti biasa
aku mulai cengeng, menangis sampai tersedak oleh air liur sendiri. Bosan
berteriak dan menangis, kuputuskan berlari dari ujung barat ke bibir pantai
sebelah timur, kuulang beberapa kali. Sampai payah lalu naik ke bukit pasir,
bersandar di bawah gazebo kecil. Aku merasai lelah, benar-benar lelah. Hanya bisa
menatap laut setelahnya, menemukan bising suara-suara, maisng-masing lamat-lamat
jadi dengung dan bisik.
Apa
yang salah?
Kau
tidak mengenal dirimu, itu yang salah.
Tubuh
siapa yang kau paksa bergerak?
Tubuhmu?
Kau kenakan tubuhmu? Kau mengenalnya?
Sudah
berapa lama kau menjadi asing dengan tubuh yang kau pakai sekarang?
Kapan
terakhir berterimakasih pada tubuhmu yang kau paksa melakoni setiap ambisi dan
obsesi itu?
Sudah
hilang batas palsu nyata maya dari apa-apa yang kau rayakan atas tubuhmu.
Lalu
kau masih bertanya apa yang salah? Kau digerakkan apa? Siapa? Kau tau?
Kau
bersalah dan melimpahkan semua pada apa-apa di luar dirimu.
Kau
punya tubuhmu tapi obsesi-obsesi itu mengurung keleluasaanmu. Kami bertanya,
kau hidup untuk apa?
Kau
tak merasai asing itu, sebab terlalu sibuk dengan ambisi dan capaian demi
capaian. Kau lupakan kami, bagian-bagianmu.
Kau asing, dengan dirimu sendiri. []
0 Comments