Dongeng ibu
masih terngiang di ingatannya, meski samar-samar menuju lelap. Ibu bercerita
terlalu panjang soal bajak laut yang menguasai seluruh perairan selatan, lebih
dari dongeng putri tidur, atau timun emas dan kancil. Meski kadang ibu
mencampur aduk cerita-cerita itu, tapi tetap tak lebih panjang dari dongengnya
soal bajak laut.
idntimes |
Ia tak
pernah bisa memprotes cerita-cerita yang disampaikan ibu. Sebab sebelum cerita
berakhir, ia sudah menjelajah ke dunia imajiner yang diciptakan oleh para
orangtua. Mimpi-mimpi yang hampir seragam dengan anak seusianya. Tapi sedikit
lebih manis, sebab selalu ada kecupan panjang dari ibu. Pagi harinya ia juga
tidak akan bertanya, karena sibuk bersiap-siap ke sekolah –rutinitas yang harus
ia jalani sejak beranjak 4 tahun.
Setiap pagi
ibu dan ayah juga menjalankan ritus sebagaimana orangtua pada umumnya. Ayah memasak,
menyiapkan dua cangkir kopi dan susu coklat. Sedang ibu memandikan, menyiapkan
seragam dan perlengkapan sekolah. Ritual rutin lain yang tidak pernah absen
dilakukan adalah mengepang rambut Rokis
dan merapikan poninya. Baru kemudian mereka bertiga duduk untuk sarapan. Bertahun-tahun
semua berjalan sesuai jadwal, rencana dan keputusan-keputusan yang disepakati
oleh dua penguasa rumah, ayah dan ibu.
Sampai ia
duduk di kelas 4 sekolah dasar, mereka masih mengantar Rokis sampai ke gerbang
sekolah. Pesan yang mereka sampaikan sebelum meninggalkan buah hatinya, tak
pernah berubah –mungkin hanya sedikit menggeser redaksi kalimat agar anak itu
tidak bosan.
Tetap jadi
yang nomor satu. Tetap jadi ketua kelas. Buat ayah dan ibu bangga, kak. Semangat
belajarnya hari ini.
Lalu kecupan
hangat dari keduanya menandai perpisahan sesaat.
***
Aku menjadi
robot yang ambisius. Lebih suka berkompetisi ketimbang bekerja dengan tim. Mulai
menganggap semua dongeng dan cerita yang pernah disampaikan ibu dan ayah
sebagai bualan dan omong kosong. Bajak laut dan perompak sudah tidak relevan
sekarang. Apalagi kisah timun emas atau putri-putri dari kerajaan dongeng, biar
jadi cerita untuk anak-anak balita saja.
Maka di usia
ke-12, ibu berhenti total mendongengiku. Mungkin sesekali mengganti dengan
cerita gadis yang mulai beranjak remaja. Kadang memperkenalkanku pada
bagian-bagian tubuh yang boleh dan tidak boleh disentuh oleh orang lain. Kadang
juga mengajakku bermain layaknya adik dan kakak. Ibu seakan punya seribu cara yang
selalu berhasil membuatku lelap dengan perasaan senang dan puas.
Dan tentu
kami tidak selalu baik-baik saja. Ibu dan ayah mulai sering tidak sepakat dengan
beberapa hal sepele. Membuat rumah kecil kami gaduh oleh pertengkaran-pertengkaran
yang tidak penting. Kukira itu wajar terjadi pada semua rumahtangga. Mulai bosan
dengan rutinitas semu yang mereka jalankan bertahun-tahun. Tapi hari itu agak lain.
Adu mulut keduanya membuat beberapa foto di ruang tamu berserakan oleh tangan
ibu. Lalu ayah mulai berhenti membuat kopi untuk kami bertiga.
Dua hari
berikutnya aku diungsikan ke rumah paman, adik dari ibu di pesisir selatan. Kata
ayah, selama liburan aku bakal belajar membantu bibi dan paman berjualan. Biar aku
melupa pada kompetisi-kompetisi di sekolah –mungkin mereka menyesal mengajariku
selalu jadi yang nomor satu dan mengabaikan teman. Yaa, aku hampir tak punya
teman, sama sekali.
Tapi bukan itu.
Aku mendengar mereka akan mengurus perceraian. Entah itu bentuk kesepakatan
atau keputusan ibu dan penolakan keras dari ayah, atau sebaliknya. Aku putus
kontak dengan keduanya selama berada di rumah paman. Bahkan setelah sebulan,
mereka tak kunjung menemuiku. Sampai masa libur sekolah habis, tak ada kabar
dari mereka. Sedang paman dan bibi abai saja dengan keadaanku. Aku ingin
bertanya, tapi tak ada ruang.
***
Bibir pantai
bisa jadi teman barumu.
Kau bebas
berteriak tanpa ada yang mengganggu.
Di sana,
semua rasa kesal tumpah ruah.
Semua darah larut.
Semua payah
bisa kau kubur hidup-hidup.
Menangis
sampai sekujurmu lemas.
Lalu melupa
pada apa-apa.
Tak ada yang
bisa menyentuhmu, lagi.
Kuanggap dua
manusia itu sudah mati. Mungkin mereka memang tak pernah menginginkanku. Mungkin
aku sedikit aib yang harus dipoles sedemikian rupa agar bisa diterima publik. Dan
mereka berhasil sampai aku bisa melanjutkan ke sekolah menengah pertama,
menjadi lulusan terbaik ketiga dengan matematika yang nyaris sempurna.
Tapi harusnya
mereka bertahan. Bukan membuangku ke tempat ini. Hanya karena aku tak bisa jadi
yang pertama? Kukira tak sesederhana itu mengucilkanku. Aku bisa mendengar
dengan sangat jelas semua perkataan orang. Aku bisa mengerjakan semua soal di
papan tulis dan menjawab pertanyaan, meski ini terkadang sangat menyebalkan dan
harus dengan perantara. Tapi aku tak pernah membuat kesalahan, hanya agar
penerimaan atas ketidakbecusanku berbicara, diterima secara utuh.
bbc.com |
Kesalahan terbesarku
adalah menjadi robot ayah ibu dan menggantungkan kehidupanku pada mereka berdua.
Sedang paman dan bibi tak bisa baca tulis. Mereka tak mengerti apa-apa yang
kutuliskan sebagai perantara percakapanku dengan mereka. Mereka tak mengerti
bahasa isyarat yang kupraktikkan setiap hari. Aku semakin gagal mengerti, kenapa
ayah dan ibu sangat terpelajar sementara paman dan bibi buta aksara?
Yaa, pada
akhirnya hanya debur-debur itu yang menemani kesepian. Kupikir ini akan jadi
cerita akhir si gagu ahli matematika, yang hanya akan jadi tukang ikan. Sepanjang
hari kuhabiskan di warung paman dan bibi, ikut membakar ikan dan mengantarkan
minum atau beberapa porsi nasi pada pelanggan yang pilih menyantap hidangan di
antara pohon-pohon Cemara, menghadap ke bibir pantai.
Aku berusaha
total menerima keadaan, baru ketika masuk tahun kedua. Ambisi dan
kompetisi-kompetisi yang bercokol di kepalaku, hanya kadang mampir lewat mimpi
dan desir angin. Tak pernah benar-benar tinggal lama. Ayah dan ibu? aku sudah
tak peduli. Paman dan bibi juga tak pernah bercerita apa-apa.
Tapi malam
itu, aku sempat mendengar sayup-sayup percakapan paman dan bibi, bahwa ayah
menjadi broker kota paling dicari sejak beberapa bulan lalu. Aku tidak bisa
mendengar jelas apa yang sudah dilakukan ayah. Tapi ia jadi buronan. Rumah kami
kosong, disegel lebih tepatnya. Lalu aku mulai teringat ibu, bagaimana kabar
ibu?
***
Aku memilih
ke warung malam itu. Kuputuskan menginap di sana. Baru pagi nanti aku bisa
bertemu dengannya. Mungkin sekedar memeluk atau mengucapkan maaf. Tapi bagaimana
jika ia menolak?
kompasiana.com |
Jam 03.45, Rokis memutuskan membuka warung sendiri, membereskan beberapa barang, sembari ingin lebih lama menatap laut. Setelah sampai, ia mendapati ibunya tergeletak di teras warung dengan wajah lusuh dan lebam di pelipis kanan. Ia hampir-hampir berteriak, tak bisa menahan air yang keluar deras dari kedua kelopak mata. Tapi seketika ibunya bangun mendengar isak gadis yang berdiri mematung tepat di depannya, membentuk siluet hitam.
Ia tak tahu
gadis itu Rokis. Ia belum utuh memandang wajah serupa bayangan hitam. Baru ketika
ia berdiri sejajar, wajah sayu itu memekik, memeluknya rapat-rapat. Mereka berpelukan
sebagaimana pertemuan ibu dan anak pada umumnya, pada cerita-cerita mainstream,
tidak menaruh dendam apa-apa, saling rindu dan memberi kecupan.
Kecupan yang
teramat panjang. Lebih panjang dari apa yang sering mereka lakukan di rumah
ketika ayah belum pulang. Lalu tangan ibu kembali menggerayangi gunungan yang
mulai menyembul itu, seperti kebiasaan mereka dulu. Saling mengisap, mendesah dan
menikmati.
Tapi pelukan
berakhir ketika Rokis tak sengaja menyentuh pelipis ibu yang lebam ungu. Lalu mereka
sama-sama menangis. Ibu meminta maaf atas apa yang terjadi pada Rokis. Ia mengakui
kesalahan itu. Tapi Rokis hanya tersenyum, lalu menuntun ibu menuju bibir
pantai, memberi isyarat. Mereka saling memberi pesan kepada tubuh
masing-masing, menanggalkan baju dan menumpahkan segala kemelut lewat kedua bibir
yang dingin, saling memagut di atas debur.
Mereka
seperti dua ikan yang terdampar. Baru sepersekian menit kemudian ibu mengerang
kesakitan. Genggamannya melemas, menuju ke tengah laut. Darah mengucur deras dari
perut kirinya.
Pisauku sedikit
tumpul, bu. Semoga kau menikmatinya. []
0 Comments