Estella Zeehandelaar, juru tulis di Departemen Post and Telegraph Amsterdam itu akhirnya mulai berkomunikasi dengan Kartini, lewat korespondensi. Mereka lekas akrab, sebab memiliki pikiran yang sama terbuka. Stella pada gilirannya membuat Kartini berpikir untuk melangkah dari sistem Jawa yang bertingkat-tingkat itu. Ia ceritakan bagaimana superior dan inferior bekerja dalam kehidupannya sehari-hari dan betapa tidak pernah sederajat. Kartini, merasa bebas menceritakan hal apa saja kepada Stella, karibnya yang jauh, yang seorang feminis Belanda.
Kartini mulai dikenal publik Belanda setelah menerbitkan artikel dan disiarkan oleh surat kabar berbahasa Belanda. Lewat artiket tersebut Kartini menjadi perempuan pertama bumiputera yang berani berbicara kepada pemerintah kolonial Belanda, -itu yang terlampir pada pamflet 1903, Educate the Javanese. Dengan itu, Kartini mendapat pujian bertubi atas upaya yang dilakukannya. Kartini dianggap perempuan pribumi yang serius mempertanyakan pendidikan perempuan dan emansipasi. Ia tidak sekadar membangun identitas kelasnya, tapi juga lantang memperjuangkan sebab-sebab murungnya pendidikan bagi perempuan, tidak hanya dalam batas kolonial Belanda, tapi juga aturan-aturan adat Jawa.
Gagasan yang dibawanya memang kuat. Kartini tidak menuntut digilai rasa hormat. Ia menganggap posisi sebagai priyayi, harus bisa meningkatkan nasib kaum yang tidak seberuntung dirinya, kaum tani Jawa, dsb. Caranya, menggunakan instrumen pendidikan a la Barat. Jika semua perempuan di kalangannya bisa mengakses pendidikan tersebut, maka akan banyak perubahan ke arah yang positif, perempuan-perempuan bisa tercerahkan. Tapi tidak memungkiri geraknya terbatas untuk mendebat, selain lewat surat-suratnya. Hal yang dianggap istimewa, meski Kartini terjebak pada ruang domestik, poligami dan pembatasan tradisional sebagai seorang perempuan priyayi, sehingga sulit mengakses kehidupan di luar kabupaten, ia tidak egois. Kartini loyal pada kelas bangsawan, tapi perjuangannya yang fokus pada penyetaraan posisi perempuan, melampaui batas-batas egoisme kelas tersebut.
Selain getol memperjuangkan perempuan di hadapan sistem yang feodal, Kartini juga tidak segan mengkritik pemerintahan Belanda, bahkan skeptis pada upaya-upaya yang dilakukan pemerintahan tersebut, meski dalam rangka meringankan kondisi orang Jawa, yang miskin, serba kekurangan akses, baik di bidang kesehatan, pendidikan, dll. Kartini mengalami itu, ia sadar bahwa kediriannya tidak lain berasal dari ketidaksetaraan dalam keluarganya, ayah yang seorang aristokrasi Jawa dan ibu rakyat biasa ditambah tradisi pengasingan dan aturan-aturan yang menghambat kemajuannya. Oleh sebab itu ia tidak segan melempar kritik. Misalnya saat ada laporan penurunan kesejahteraan, Kartini menilai kebijakan yang diambil oleh pemerintah sesungguhnya tidak pernah meringankan kondisi orang Jawa. Kebijakan itu justru memperburuk dan melembagakan praktik pemiskinan rakyat. Kartini meyakini, skema kesejahteraan yang dielu-elukan Politik Etis tidak akan pernah membantu orang Jawa menghadapi dunia baru, kecuali benar-benar dibuat mampu menghadapinya.
Pengalaman korespondensi yang luar biasa, ditambah dengan bacaan-bacaan progessif dan kritik yang blak-blakan, kemudian dilihat oleh publik sebagai catatan penting yang tidak boleh lenyap begitu saja. 1911 Abendanon menerbitkan kumpulan 2/3 dari surat-surat Kartini. Agnes Louise menerjemahkannya dalam bahasa Inggris pada 1920 dengan versi surat yang lebih lengkap. Sebelum itu, Van Deventer, tokoh Politik Etis, berhasil melambungkan nama Kartini sebagai sosok perempuan yang memiliki cita-cita kemajuan yang sama dengannya, mengangkat bangsa pribumi. Sehingga di kemudian hari Kartini dianggap sebagai ikon keberhasilan Politik Etis yang dijalankan Belanda. Sejak 1949 Di Belanda, nama Kartini juga terus bergaung lewat Kartini Fonds, Kartini Vereeniging, dan seabrek promosi yang lain.
Jean Gelman Taylor memandang Kartini sebagai konduktor yang berhasil mengadvokasi unsur-unsur budaya Barat yang dibutuhkan -mungkin juga diinginkan- untuk kemajuan perempuan. Meski yang lain menganggap kontribusi tersebut tidak lebih dari propaganda yang digunakan Belanda untuk mengonfirmasi bahwa Politik Etis yang mereka jalankan telah berhasil membawa kemajuan pada cara berpikir pribumi. Perkembangan historiografi pasca '45 lebih jauh lagi membawa andil dalam menginterpretasi peristiwa di masa lalu, termasuk soal Kartini.
Kartini dianggap sebagai kontributor awal, melampaui deskripsi tentang perempuan sebagai korban penaklukan yang pasif. Ia tidak hanya mencari kebebasan untuk dirinya sendiri tapi sekaligus menyadarkan orang Jawa yang terlanjur nyaman dengan posisinya berkongsi dengan kolonial. Tapi Kartini juga tak bisa lepas dari simbol pengkhianatan bagi mereka yang memandang segala di luar tradisi adalah asing. Hingga hari ini pandangan dan anggapan-anggapan itu seperti kekal. Kartini tak ubahnya seperti poster lintas zaman yang keberadaannya bebas dilegitimasi oleh rezim yang tengah berkuasa.
Era Soekarno dalam sejarah Indonesia memang mengambil alih narasi Belanda soal Kartini dan mencatatnya sebagai satu dari sekian nama pahlawan nasional Indonesia. Soekarno memobilisasi ingatan rakyat Indonesia terhadap Kartini sebagai ibu bangsa, representasi keberadaan perempuan di negara yang baru berdiri. Kartini dipilih karena dianggap memiliki komitmen pada calon negara (Indonesia) dan memiliki ketegasan terhadap apa-apa yang dialami oleh perempuan. Gelar pahlawan yang kemudian juga tidak bisa dilepaskan dari asumsi-asumsi, bahwa Soekarno dan Kartini sama-sama Jawa yang sepenanggungan menjadi korban penindasan kolonial Belanda. Kartini pada akhirnya menjadi legitimasi keberadaan Indonesia sebagai negara bangsa, bukan lagi subjek kolonialisme. Narasi yang kemudian juga berubah pada masa Orde Baru, di mana Kartini akan menjadi representasi perempuan yang berbakti, seorang perempuan sekaligus ibu yang sadar kodrat, bisa berperan ganda, istri yang mendukung kepentingan negara.
Kartini mengingatkan saya dengan apa yang sempat dikatakan Gayatri Spivak, mengenai Subaltern. Di manapun, ia akan selalu dikompromikan oleh mereka yang berkepentingan, untuk bicara atas namanya. Tapi apakah Kartini diam? Kartini menunjukkan diri, ia tidak diam dalam narasi-narasi tersebut. Ia tidak tunduk pada posisi inferiornya dan tidak sepenuhnya berbicara lewat filter Barat. Tapi di kemudian hari, masing-masing dari kita yang berbicara, menginterpretasikan Kartini dan citra dirinya. Seperti yang dilakukan Maria Walanda Maramis, seorang pahlawan nasional sebagaimana Kartini. Ia bahkan lebih tua dari Kartini, tapi ia mengakui semakin terdorong mendukung hak asasi perempuan karena melihat pesan-pesan Kartini dalam suratnya.
Apa kita hanya akan menjadikan perempuan yang mati muda itu sebatas poster lintas zaman? Tentu tidak. Ia adalah sosok perempuan yang hebat di eranya, bersama perempuan-perempuan yang berasal dari daerah lain, seperti yang sering dijadikan bahan pembahasan, sampai hari ini. Dewi Candraningrum, dalam sebuah kesempatan kuliah pernah bercerita, masing-masing perempuan memiliki pengalaman perjuangan yang berbeda, sebab mereka punya horizon dan konteks perjuangan yang berbeda, ruang yang bisa mereka akses untuk berjuang, pun berbeda. Kimberly menegaskan itu, bahwa penting untuk melihat faktor luar dari diri perempuan untuk menganalisisnya. Maka apa yang dialami Kartini adalah sempalan perjuangan dari sekian banyak perjuangan perempuan yang sesungguhnya masih bisa kita lacak dan telusuri.
Tidak sulit melepaskan diri dari perdebatan kenapa harus Kartini yang menjadi tokoh emansipasi, dan lain sebagainya. Jika kita sudi melacak sejarah, kita akan bisa lebih bijak memahami, sebab bukan hanya Kartini yang mendapat gelar sebagai tokoh hak asasi perempuan. Nama-nama itu sudah kita ketahui dan masing-masing lantang disuarakan dan dirayakan. Jika sulit berkelit, akan jauh lebih bijak manakala sejenak menyelesaikan perdebatan itu, kembali ke realita dan melihat betapa cita-cita Kartini dan tokoh perempuan di masa lalu masih membutuhkan rentang perjuangan yang panjang. Persoalan yang dihadapi oleh perempuan, yang beririsan dengan pemiskinan, kematian-kematian sebab kekerasan, ketidakadilan, diskriminasi, politisasi tubuh sampai perbudakan yang diafirmasi begitu saja, masih membayangi setiap jengkal napas kita. Kompleksitas persoalan yang masih kasat mata itu, bukankah lebih mengerikan dari sekadar berdebat mengucapkan selamat Hari Kartini?
Bacaan:
Hamilton, Robert & Jessica Richard. "No-one's Poster Girl: an Alternative View of Raden Ajeng Kartini and Changing Female Agency in the Late Colonial Netherlands East Indies."
Taylor, Jean Gelman. "Kartini in Her Historical Context." dalam KITLV Journal (1989)
Woodward, Amber. "Historical Perspectives on a National Heroin: R.A. Kartini and the Politics of Memory." dalam SIT Graduate Institute - Study Abroad, (2015)
https://www.qureta.com/post/mengapa-perlu-memperingati-hari-kartini
https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/tarik-menarik-kartini-dalam-sejarah
0 Comments