Ayolah, kita
bisa pergi hari ini.
Tunggu,
jangan gegabah. Kita harus dapat tandanya.
Tanda-tanda-tanda
lagi. Selalu itu. Kita sudah di era yang beruntung, Ro. Ikuti saja info cuaca.
Berapa kali
info cuaca mengecoh kita?
Koesno
menggebrak pintu, tanda marah seperti biasa. Akhir-akhir ini ia sering membaca
sikap Rokis yang semakin kolot. Kekhawatiran dan ketakutan tanpa alasan, termasuk
teriakan dan kekosongan yang tiba-tiba. Rokis menerima perlakuan karibnya,
anggapan-anggapan dan apapun yang Koesno pikirkan tentangnya.
Rokis
semakin sering menganggap dirinya bersalah, sehingga tak bisa lagi membaca
setiap tanda. Ia tak bisa sekadar mengira-ngira apakah hari ini akan turun
hujan, seperti yang diprediksi BMKG, atau alam memberi isyarat lain untuk
memanipulasi prediksi-prediksi yang diupayakan teknologi.
Tidak ada
ucapan salam, sampai besok, aku pergi atau ucapan-ucapan lain yang mengakhiri
pertemuan mereka. Sekali lagi hanya bantingan pintu. Koesno
akhirnya pergi sendiri, setelah berhasil menemukan tempat persembunyian jas
hujan. Ia membawa serta jas itu, berjaga-jaga kalau sewaktu-waktu info cuaca tak
bisa lagi dipercaya.
Dua
bulan, lebih tepatnya dua bulan 14 hari Rokis memutuskan tidak keluar dari
rumahnya. Hanya berkebun di pekarangan belakang yang masing-masing sisinya dikelilingi
anyaman bambu setinggi dua meter. Ia tidak mungkin keluar, sebelum benar-benar
kembali bisa membaca isyarat dari daun-daun, remahan tanah atau yang paling
keras dari bisik-bisik serangga.
Kita
tidak bisa ke mana-mana.
Tanda
apa lagi sekarang?
Aku
tidak bisa mendengar apapun, Koes.
Baiklah,
pola apa yang berusaha kamu baca?
Tahun-tahun
genap, kematian, janji-janji. Koes, kita tidak boleh pergi.
Kamu
tidak sedang membaca primbon-primbon itu lagi, kan?
Koes,
alam selalu menyediakan tanda-tanda, isyarat. Kita harus bisa membacanya.
Ah…
Kenapa tidak kita percayakan pada teknologi saja, Ro. Tolong hentikan
ketidakjelasanmu.
Perempuan
itu membalik badan, berusaha menyangkal apa yang baru saja keluar dari mulut karibnya.
Ia hanya meyakini prediksi-prediksi tidak pernah tepat, sebab hanya sekadar
prediksi.
Sedang
ia tak bisa berdamai dengan teknologi yang lambat laun semakin sering
dijalankan secara asal, hanya menggugurkan kewajiban para petugas untuk
membagikan informasi terkini pada orang-orang seperti dirinya.
Tapi
lagi-lagi dua manusia itu punya kiblat yang berbeda. Koesno adalah orang yang begitu
erat dengan kebaruan. Ia mengagumi kecanggihan teknologi sebagai dewa baru, mengamininya
dan pilih abai pada kenyataan-kenyataan kuasa yang dijalankan di baliknya.
Aku
tidak akan pergi.
Jika
terus begini, kita harus selesai, Ro.
Lagi-lagi
Koesno mengulang pola kepergiannya, menggebrak pintu ruang tengah, menutup
dengan kasar pintu depan sebelum akhirnya sirine ambulance semakin dekat dan
membuat tubuh yang belum siap menyingkir itu terpental beberapa meter.
Rokis
terhenyak. Keringatnya lebih dingin. Mata yang baru terbuka itu membelalak, menyapa
sekitar dengan kebingungan. Ia mencari keberadaan Koesno, tapi tak ada manusia
lain di pekarangan belakang rumah, selain ia sendiri.
Ia terduduk
lagi. Bulir air matanya hangat. Sekarang ia bisa mengingat kematian karibnya,
setelah perdebatan sengit perihal yang tidak terlalu penting, membaca tanda. []
0 Comments