Seorang perempuan tua keluar
membawa semangkuk kolak pisang. Diketuknya pintu sebelah selatan dua kali. Memastikan
bahwa masih tersisa orang yang tinggal di markas. Detik berikutnya ia masih
menunggu, tapi belum ada jawaban. Perempuan itu mengintip lewat celah pintu. Lalu
kolak diletakkan begitu saja di kursi tunggu, sebelah pintu. Tapi ia ketuk
sekali lagi pintu yang congkak, lebih keras.
Pxhere |
Ibu ada sedikit kolak, mas.
Oh, eh iya, buk… Bergegas membuka pintu dan
meminta maaf dan berterimakasih dengan rasa malu yang tertahan.
Baru ada acara apa, mas?
Ini baru datang beberapa bantuan,
bu. Kami juga menyimpan dua kardus buat ibu.
Jam setengah tiga dini hari. Penghuni
markas belum juga bisa lelap dari upaya masing-masing. Kolak dari ibu pemilik
kontrakan sudah lebih dulu direnggut Dwara, tapi yang lain terlihat tidak
peduli. Beberapa mulai melanjutkan mengisi data orang-orang yang akan diberi
bantuan. Sisa 98 kardus donasi dan mereka harus menyelesaikan pendistribusian
dalam jangka waktu sesingkat-singkatnya.
Malam sebelumnya seratus
karton datang melewati pekarangan kamboja. Berhenti di depan rumah dengan dua
ruang tamu, tanpa pagar menjulang atau bel masuk. Seratus kardus yang diangkut
oleh mobil pick up tanpa tudung. Awalnya hanya dua pemuda yang gerak cepat
membantu menurunkan kardus-kardus itu dan melebarkan pintu rumah bagian selatan
untuk membantu barang-barang itu masuk lebih
mudah.
Tiga karib lain dari kos
putri datang dan membantu menurunkan sisanya. Beberapa menit kemudian mereka
berdiri sambil menyaksikan kardus-kardus berjejer rapi bertuliskan Sidomakmur
dan Kukurus, telah berhasil berpindah tangan.
Tolong semua penerima
didokumentasikan…! Kata
seorang di dalam mobil.
Apa lagi yang perlu
dilaporkan?
Tidak ada. Cukup pastikan
semua yang mendapatkan sudah lanjut usia.
Jam dinding masih beku, tidak
pernah lagi tertawa sebab musim wabah membuat wajah-wajah tampak kusut dan
lantai ubin jadi lebih dingin. Dua pemuda dari luar kota yang sedang menunggui
markas pun memutuskan istirahat. Melanjutkan perhitungan dan rencana pendistribusian
bantuan esok hari. Tiga karib yang tadinya membantu menurunkan barang juga telah lebih dulu pamit.
Dalam beberapa hari mereka
akan bertemu dengan banyak orangtua dari beragam latar belakang dan keluhan
masa lalu. Tugas mereka pun bertambah. Selain mencatat nama-nama orang yang
mendapatkan bantuan, mereka juga harus siap duduk berlama-lama untuk sekadar
minum teh atau kopi sambil mendengarkan kisah-kisah dan rengekan khas orang
lanjut usia.
***
Ada dari mereka yang dengan
senang hati menceritakan masa lalunya, bergerilya bersama para karib dalam
organisasi dan mendekam di tahanan berpuluh-puluh tahun. Baru bias kembali pada
keluarga masing-masing, itu jika diterima dan hanya jika mereka berhasil
menemukan keberadaan keluarganya. Ada yang ditinggal anak-anak merantau dan tak
pernah lagi mau kembali. Hanya sesekali mengirim kabar dan berbagi uang
bulanan.
Musim lebaran yang mereka
tunggui untuk bisa melihat wajah-wajah manusia yang mereka besarkan pulang ke
pangkuan dan saling bertukar cerita serta peluk, pun jadi semu dan jadi makin
tak berani berharap.
Kerjaan mereka pasti lebih
banyak.
Kenapa tidak minta mereka
pulang selain lebaran?
Takut mengganggu saja. Nanti kerjaan
mereka tidak selesai.
Jawaban dan asumsi-asumsi
klasik yang terus dipertahankan tanpa sedia mencari jawaban-jawaban lain. Seorang
lagi di antara yang berhasil diberi sekardus sembako bercerita pilih merelakan
anak-anaknya tidak pulang. Mereka menerima kepergian yang penuh drama di awal
pisah dengan sehimpun kenangan masa kecil yang diulang-ulang. Mereka tidak
yakin telah memberi penghidupan yang layak, sehingga ketika memutuskan pergi,
mereka yakin itu cara terbaik agar anak-anaknya mendapat apa-apa yang
semestinya.
Lagipula tugas membesarkan
sudah sampai titiknya. Urusan akhirat atau apa yang lain itu tidak bisa
dibebankan ke mereka buat menutupi ketidakbecusanku.
Mereka bilang, akan sia-sia
menahan anak-anak yang punya pikiran dan jalan hidup sendiri untuk tinggal
berlama-lama dengan mereka. Tidak ada yang tau di mana seseorang bisa
benar-benar merasai hidup dan berumah. Tapi tak ada yang bisa memungkiri kesepian itu. Diucapkan berkali-kali
pada pemuda-pemuda yang mengantar paket sembako itu.
Sedang mereka masih seksama
mendengarkan, sesekali terkantuk-kantuk. Tapi demi menyenangkan pencerita,
mereka kembali menatap lekat-lekat, seakan ikut masuk ke kedalaman cerita
orang-orang sepuh itu.
Terus begitu sampai mereka
selesai membagikan 98 kardus berisi beras lima kilogram, minyak goreng satu
kilogram dan gula dua kilogram. Tidak lupa diselipkan di dalam kardus itu, dua
masker dan satu sabun cuci tangan dan obat masuk angin –dengan anggapan yang
sering didengar donatur adalah orangtua yang kebiasaannya gampang sekali masuk angin.
ayosemarang.com |
***
Merek berdua rebah. Merasa lelah
dan kelimpungan sebab masih harus menyelesaikan laporan hasil pendistribusian
bantuan yang lumayan membuat mereka berulang kali berpikir, bantuan itu tidak
tulus sama sekali.
Kau tau? Kita sudah dapat
terlalu banyak pahala jika begini.
Sampai kapan kita berderma dengan cara seperti ini?
Dwara berdiri. Mengambil
beberapa botol di dalam ruang penyimpanan rahasia di markas. Sementara pemuda
satunya pilih menghubungi beberapa karib untuk kembali berkumpul di markas
sembari menyudahi proses pelaporan.
Beberapa bentar saja semua
sudah melingkar dengan formasi lengkap. Malam itu masing-masing dari mereka
telah menganggap diri mereka berhasil
tidak hanya memberikan apa yang dibutuhkan orang lain, tapi juga berhasil
membuat orang-orang lanjut usia yang mereka temui tersenyum –entah karena
merasa diperhatikan atau murni karena mendapat bantuan kemanusiaan.
Kau tau bagaimana cara
mencintai orang tua?
Kita sudah melakukannya.
Kau salah sangka…
Polos sekali anak muda satu
ini.
Lalu maksud kalian apa?
Sloki-sloki itu akhirnya
diputar lambat dengan porsi penuh di masing-masing tuangan. Tiap-tiap tuangan
dibacakan doa oleh Dwara sambil terkekeh. Beberapa botol tak dirasa lebih cepat
kosong dengan percakapan-percakapan yang terdengar konyol dan sakral dan
memilukan, mendekati hening.
Cara mencintai orang tua
adalah melingkarkan jemari kita, menuangkan isi hatinya dan dihidangkan lewat sloki-sloki
terbaik pada orang-orang yang punya banyak pahala seperti kita. []
0 Comments