Seekor burung
yang kau kubur tempo hari mendatangiku, persis ketika hujan mulai turun jam 11
malam. Ia dan kaki kiri yang masih setia dengan perban berjalan mendekati
jendela, mengetuk kaca dengan paruhnya beberapa kali. Rokis yang pertama kali
mendengar buru-buru menuju jendela di ruang tamu dan membukanya.
Kau sendiri
menyusul di belakang. Tidak yakin dengan kabar yang dibawa angin tentang seekor
burung yang bangkit dari kubur hanya untuk membawa berita kematian bagi
manusia. Aku sudah memperingatkan kalian berdua. Tapi rupanya usahaku sia-sia. Dalam
semua cerita yang kita buat, kukira memang aku yang paling pantas diabaikan. Pun
malam itu, ketika Rokis mengijinkannya masuk dan kalian berbincang begitu lama
di ruang tamu.
NusantaraNews |
Meskipun seekor burung, bukankah tidak sopan bertamu malam-malam begitu, Ruk?
Bagaimana seekor
burung harus berpikir tentang sopan dan tidak sopan dan soal adab bertamu yang
hanya berlaku bagi manusia? Dalam cerita kali ini, semua tata kesopanan tidak
berlaku. Lagipula kenapa harus membuat semua lakon memiliki kesan yang
santun dan sesuai moral masyarakat?
Terlepas kepercayaan
yang ada di alam bawah sadar mereka, Rokis dan Koesno buktinya tetap memaklumi
kedatangan burung itu dan mereka bersesumbar soal kematian sampai lupa pada
larut dan fajar. Lalu jam dinding tua yang tidak pernah tepat dentingnya itu
memekik ketika jarumnya menyentuh tumpuan yang sama, tanda tengah malam.
Aku membawa
kabar
tapi tugasku
bukan penyampai pesan-pesan
pun kalau
ada Jahim dan Firdaus di pangkal takdir masing-masing
aku belum
sampai menyebrang diri menembus jantung Bumi
keras sekali
manusia berpikir soal kapling-kapling itu
sementara yang
sungguh-sungguh mereka kerjakan cuma pengabaian
bagaimana manusia
dan kalkulasinya bekerja
membawa
setumpuk nota belanja keperluan surga?
Sebenarnya ketika Rokis memanggilmu, burung itu sudah lebih dulu lenyap dari ruang tamu. Kau tidak pernah melihat rupa wajah dan paruhnya yang hampir patah itu. Semua yang kau ceritakan hari ini tidak lain berasal dari mulut kedua, dari Rokis dan tidak pernah sempat kau dengar sendiri dari ‘hantu burung’ –itu juga kalau kau percaya dengan hantu-hantu yang menyamar jadi malaikat atau makanan lezat yang menggoda keyakinanmu.
Tapi
kemudian Koesno bangun. Masih tengah malam dan lagi-lagi sama persis dengan situasi
terakhir dalam mimpinya yang tertidur di ruang tamu. Bedanya ia hanya sendiri, tidak
sedang bercengkrama dengan karib-karibnya. Ruang tamu itu lengang dan angin
lirih berselancar melewati sela-sela jendela yang belum tertutup sempurna.
***
Beberapa orang
tengah serius menakar beras untuk diberikan pada delapan golongan. Sedang yang
lain lebih serius lagi memilih baju-baju baru, berebut barang-barang diskon,
memenuhi isi kulkas, menghabiskan jatah tabungan dan berkerumun menunggu
bantuan sembako atau shodaqoh atau infaq, memenuhi undangan pasar-pasar murah
dan menyiapkan menu-menu balas dendam setelah seharian menahan ego.
Hari ini,
ada juga bagian dari orang-orang di sekelilingnya yang memilih mengadakan
jamuan makan malam sembari mematikan lilin, tanda peringatan kenaikan sang juru
selamat. Jamuan makan malam yang
mengundang banyak orang-orang dan juga para kolega dari luar kota. Pesta yang
tidak sudi disebut pesta meski esensinya sama saja.
Gabriel_Isak |
Koesno sendiri pilih menepi di sudut kamar kontrakannya, memenuhi protokol kesehatan untuk sementara waktu, lebih ketat. Ia mengkhawatirkan banyak hal, membuat daya tahan tubuhnya sering tidak stabil. Tapi ia tak menemukan hal yang sama dilakukan oleh karib-karibnya. Rutinitas masih berjalan seperti biasa. Baginya tidak ada yang berubah dari ritual tahunan yang lamat-lamat ia saksikan semakin palsu, pura-pura.
Jam 19.45 Rokis
bertamu, mengetuk pintu dan dari tangannya penuh sepiring jajan tradisional. Tapi
bukan sebab takut karibnya kelaparan maka ia sempatkan datang, sekadar untuk
memberi ganjalan perut. Tapi ia datang dengan maksud lain, menceritakan
mimpinya yang berulang.
Sebenarnya aku
takut mati, Koes. Aku mimpi burung yang kau kuburkan waktu itu datang menemui
kita.
Kau yakin
memimpikan itu, Ro?
Jelas aku yakin
sekali. Aku juga bertemu banyak orang dalam mimpi menyebalkan itu.
Kau boleh
tidak percaya. Tapi aku punya mimpi yang sama. Dalam mimpiku ada yang memperingatkan
kita soal kedatangan burung itu. Kau juga?
Bagimana bisa?
Dan kau
mesti percaya, setelah mimpi pertama, aku mendengar berita kematian 128 orang. Setelah
mimpi kedua, bertambah 256 orang dan aku takut setelah mimpi ketiga, berapa
orang lagi.
Dalam satu
kelurahan?
Musim wabah
dan pengabaian adalah dua hal yang sekarang berteman akrab. Orang-orang mulai
bosan mengungkung diri dan jengah dengan rutinitas semunya. Kenikmatan
meramaikan jalan-jalan dan berduyun-duyun mengambil sisa dana ‘untuk kebaikan’
membuat rentetan kematian semakin tak terkendali.
Orang-orang
yang dipaksa menyudahi kebebalannya mengambil hati sekawanan yang lain dan
memberontak. Mereka merobohkan pagar-pagar pembatas dan berpesta lagi, di
lapangan terbuka. Sedang mereka yang terlanjur kehilangan orang-orang terkasih,
remuk dan sengkarut hatinya mendengar berita kematian yang urung berkurang,
kehilangan pekerjaan dan diasingkan, lagi-lagi memilih bunuh diri.
Berita bunuh
diri dari satu keluarga memarakkan kekalutan di dada orang-orang yang merasa
memiliki nasib buruk yang sama. Mereka terpecut melakoni keputusan yang mereka
anggap paling bijak. Keputusan untuk berakhir dengan baik-baik. Setidaknya mereka
masih dapat memandang kepada nanar mata masing-masing dan saling memeluk untuk
yang terakhir kali. Bulan-bulan nahas yang menghabiskan banyak minyak tanah
untuk membakar jasad-jasad putus asa itu belum berakhir sampai awal tahun yang
baru.
Anehnya setiap
mimpi itu berulang, berita kematian yang mereka dengar akan bertambah dua kali
lipat. Sampai mimpi kesekian itu datang lagi, mereka telah kehilangan 3.840
orang. Mereka berpikir keras, mencoba mencari sebab mimpi itu datang berulang
kali dan menimpa keduanya.
Keesokan harinya,
Koesno sampai pada kesepakatan konyol itu. Ia sampaikan pada karibnya. Mereka menganggap mimpi buruk itulah yang membuat musim wabah semakin tak terkendali. Mereka berdua
akhirnya berpikir untuk bunuh diri, memupuk harap agar kematian-kematian tak
datang lagi. []
0 Comments