Selangkangannya
berdenyut.
Belum sempat
ia membalik badan, bayangan itu sudah menindih tubuh yang mendekati pipih,
membuatnya mengerang lagi. Tapi sebentar kemudian ia ganti menguasai permainan.
Ia tidak akan mau kalah kali ini dengan bayangan yang kerap datang semena-mena
dan menyepahkannya.
Samar-samar
ia membayangkan berada di posisi Marlina, ketika dipaksa bersetubuh dengan
Markus, bagaimana ia berhasil mendapatkan kapak di tangan kirinya, pura-pura
menikmati persenggamaan asing dengan bayangan yang tak nyata mewujud, masih
melanjutkan permainan sembari menunggu lengah. Ia acungkan kapak itu dan
seketika menebas kepala bayangan yang ditindihnya. Tapi tangan bayangan itu
berhasil merambat ke lehernya, berusaha mencekik sebelum akhirnya ia bangun
lagi.
***
Rokis baru
saja mendengarkan musikalisasi puisi ‘Pada Suatu Hari Nanti’ ketika Koesno datang
membopong seorang setengah sadar. Rokis dengan reflek membantu karibnya itu. Membawa
si malang yang sobek pelipisnya ke kursi ruang tamu.
Mereka sampai
pada 12 Mei 1998 dan sebuah puisi yang diperdengarkan lebih keras karya seorang
Tengsoe Tjahjono, ‘Seorang Polisi kepada Anaknya yang Mahasiswa’ dan bersama
teriakan-teriakan di kepala yang mengalun senada jadi gemuruh pasang surut,
membuat detak jantungnya tak stabil, semakin cepat membuatnya sesak, ia kalah
dan terduduk lesu dengan bayangan-bayangan yang beterbangan. Semua seperti di
depan matanya, termasuk tembakan-tembakan dan kematian empat mahasiswa. Empat babak
yang ia saksikan sekenanya.
Bisa ambilkan
air hangat untuk kompres, sekalian membersihkan lukanya?
Oh iya,
sebentar. Ia
bergegas berdiri dan melupa pada berita masa lalu yang baru saja mampir.
Dia kenapa?
Korban tabrak
lari. Kuteriaki juga percuma.
Sebentar kuambilkan
kotak obat.
Koesno
membalut luka dan Rokis berdiri mematung dengan pikiran yang telah berkelana
lebih jauh. Ia ingat kecelakaan yang menimpanya di bundaran menuju alun-alun
kota beberapa tahun silam dan kecelakaan-kecelakaan lain yang tidak pernah
sampai membuatnya membaui rumahsakit. Lalu ingatan-ingatan itu sekaligus membawanya
pada aroma yang lekat dengan masa lalunya dan membuatnya tidak asing dengan wajah
orang yang dibawa karibnya.
Mereka sempat
bertemu beberapa kali dalam waktu yang entah. Rokis ingat pernah menatapnya
dengan jarak yang sangat dekat di jalan menuju balai kota. Sosok itu juga
menghentikan langkahnya ketika berpapasan dengan Rokis. Mirip adegan-adegan di
film atau drama percintaan, tapi bukan.
Tiba-tiba
mimpi itu terulang lagi, lebih jujur dan tidak tergesa-gesa. Aroma tubuh yang
selalu dikenalinya, datang bersama dengan sosok yang dibawa Koesno ke rumahnya.
Aku melihatmu
di hari yang nahas itu. Aku melihatmu di balai kota, aku melihatmu di tengah
kerumunan, para pendemo dan tadi kau dengan Koesno. Siapa kau?
Apa yang
mustahil di duniamu ini, Ro?
Maksudku,
kita bahkan tak saling kenal?
Tapi tubuh
dan seluruhmu adalah aku. Kau yakin tak mengenaliku?
Bayangan itu,
aku-kau?
Bukankah persekongkolan
yang kau lakukan lebih abadi dari ingatan-ingatan itu, Ro?
Apa yang
sudah aku lakukan!!!
Cinta, Ro. Kau
mencintaiku, sebab Tuhan tak rela memupus-keringkan hasratmu atasku. Aku adalah
seluruhmu.
***
Perempuan itu
selalu hadir tepat di mimpi-mimpi yang menandai keterasingannya. Tepat di mana
ia menjalani hari-hari biasa, yang lebih nyata. Tepat ketika jalang matanya
hanya basah oleh bumbu dapur dan sampah yang berserak, lalu asap-asap dari
pembakaran kayu di pekarangan belakang rumahnya.
Ada yang
tidak bisa ia jelaskan pada Koesno, tentang sosok yang dibawanya ke rumah tempo
hari. Koesno tak membawa apa-apa selain karung berisi sampah dari gudang, yang
sengaja ia naikkan ke truk sampah karena tak ada lagi tempat untuk menampung
kenangan dari penghuni rumah yang lama. Karung itu kembali dan ia dan Koesno
melihatnya sebagai sosok perempuan yang malang. Satu hari yang membuat Rokis
berpikir keras tentang apa yang telah ia alami bersama dengan bualan karung
berisi sampah yang bisa bercerita, tentang tragedi di bulan Mei dan sejarah yang tak
menceritakannya.
Aku melihat
semuanya tapi nasib menyepahkanku begitu saja. Dinding-dinding rumah ini, andai
ia bicara. Apa kau percaya?
Apa yang
mesti membuatku percaya?
Sebab kau
merasainya.
Menjelma bayangan
dan jari-jari itu menyelinap begitu saja di balik celana, mengulik gundukan di
antara dua paha yang saling mengapit. Rokis terhenyak, bangun dari mimpinya
yang terlalu panjang. Ia mencari-cari bayangan perempuan dalam mimpinya. Tapi ia
tak menemukan apa-apa selain dirinya sendiri dan tangan kiri dan jari jemari
yang masih bersarang di dalam celananya, di antara dua paha yang saling
mengapit.
Kini ia
melihat bayangan itu di depannya, kasat dan makin jelas. Ia yang berdiri
mematung 22 tahun silam, di usia 20 di balik semesta yang rusuh, tak jauh dari
kisruh di tahun yang malang, di dekat balai kota Malang. Ia yang terjajah dan
sepi, menikmati luka-luka pribadi dan tidak menemukan tempat. Bahkan untuk
sekadar mengenang diri sendiri. []
Mei, 2020
0 Comments