“Kerusakan alam semakin parah. Ini disebabkan oleh libido manusia yang sering semena-mena. Ia menjadi kuasa atas lingkungan yang ia tinggali. Hingga nantinya Bumi ditinggalkan dengan pencemaran di setiap sungainya, gundul hutannya, gersang tanahnya, dan cekung gunung-gunungnya.”
Kurun waktu beberapa tahun terakhir, isu lingkungan kembali gencar disuarakan. Para pegiat lingkungan menjadi ambisius, memerangi kerusakan alam yang utamanya diakibatkan oleh pola tingkah manusia. Menurut Djoko Raharjo, seorang pemerhati lingkungan dari Universitas Kristen Duta Wacana, perusakan lingkungan di Indonesia disebabkan oleh penebangan ilegal, pertambangan liar, pembuangan sampah dan limbah pestisida secara semena-mena (nationalgeographic.co.id).
Gejala kerusakan paling parah terjadi pada wilayah hutan dan perairan. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), dikutip dari regional.kompas.com, bahwa sejak tahun 2010–2015 hutan di Indonesia telah kehilangan sebanyak 684.000 hektar. Di mana 70 persen kerusakan hutan tersebut disebabkan adanya aktivitas tambang. Pun dengan wilayah perairan di Indonesia, yang menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2015, sebanyak 68% sungai di 33 provisi di Indonesia telah tercemar (nationalgeographic.co.id).
Kasus di atas menunjukkan bahwa tidak ada kesadaran dan tanggungjawab bersama dalam pelestarian alam. Banyak pihak memilih abai dan menutup diri dari keadaan sekitarnya. Timbal balik yang seharusnya diberikan manusia karena telah mengeruk hasil alam, sama sekali tidak diindahkan. Di sini timbul ketidakseimbangan antara manusia dan alam yang berdampak pada seringnya bencana alam –buatan manusia– terjadi. Bumi yang selama ini diibaratkan sebagai ibu seakan sia-sia dalam menjaga kediriannya.
Manusia secara rakus telah berhasil mengeruk habis-habisan apa yang ada di permukaan sampai perut bumi. Bumi ditinggalkan dengan pencemaran di setiap sungainya, gundul hutannya, gersang tanahnya, dan cekung gunung-gunungnya. Analogi bumi sebagai ibu justru lebih sering dimaknai dengan pemberian tanpa imbalan ibu kepada anak-anaknya, manusia. Sementara manusia bebas meminta, mengambil, memeras, dan menghabiskan segala yang diberikan oleh ibu, bumi.
repro internet |
Gagasan Awal Ekoseksual
Pemaknaan salah kaprah tentang bumi sebagai ibu yang bebas dieksploitasi, tidak bisa dibenarkan. Alam yang seharusnya dapat menjadi naungan bagi manusia, tapi justru diperlakukan semena-mena, mengundang keresahan para pegiat lingkungan. Keresahan tersebut menggugah para profesor dan aktivis lingkungan di Sydney, Australia, menggagas sebuah aliran seksualitas, yang disebut ekoseksual. Dilansir dari Grid.ID, Ekoseksual diartikan sebagai kegiatan bercumbu, masturbasi, orgasme, dan menikahi alam. Alam di sini dapat dimaknai dengan batu, tanah, air, angin, salju, pohon, dan lain-lain.
Sebagaimana pegiat lingkungan yang lain, para aktivis lingkungan di Sydney memulai aksinya dengan menyuarakan pelestarian lingkungan, dengan tidak membuang sampah di sembarang tempat, tidak mencemari laut dengan membuang bahan kimia atau limbah ke dalamnya, dan berjalan kaki untuk mengurangi pencemaran udara.
Adalah Annie
M. Sprinkle dan Elizabeth M. Stephen, dua akademisi sekaligus pelopor ekoseksualitas
yang gencar menyuarakan aksi pelestarian lingkungan. Pada 2000 mereka turut
membuat gebrakan dengan mengubah cara pandang bumi sebagai ibu, menjadi bumi
sebagai kekasih. Hal itu sebagaimana yang dikutip dalam sexecology.com,
“People often think of the Earth as 'Mother Earth.' But today the Earth is so battered, abused, exploited; polluted, blown up and ripped apart, that she can't handle the burden of being a 'mother' any more. It would be better to think of the Earth as a 'lover' because we take care of our lovers instead of expecting them to take care of us.”
Alasan tersebut dapat diterima, bahwa bumi tidak dapat lagi dikatakan sebagai ibu. Ia tidak mampu melindungi karena keadaannya sudah kacau, tidak dapat menahan beban. Akan lebih baik, jika analogi tersebut diubah menjadi bumi sebagai kekasih, agar manusia dan alam dapat berjalan berdampingan, saling menjaga satu sama lain, layaknya sepasang kekasih. Ekoseksual menerapkan pemahaman saling menerima dan memberi. Alam sudah memberi apa yang manusia minta, sebagai bentuk kasih sayang terhadap manusia. Manusia berpijak menggunakan tanah, membutuhkan makan berupa sayur dan buah-buahan sebagai asupan gizi. Mereka juga membutuhkan udara segar.
Manusia telah menerima semua hal dari alam, maka sudah sepatutnya manusia memberikan timbal balik yang pantas kepada alam. Bagi Annie M. Sprinkle dan Elizabeth M. Stephen, salah satu cara yang paling tepat untuk berterimakasih kepada alam adalah dengan menikahinya. Mereka menjadikan alam sebagai yang paling disayangi dan dicintai. Ini adalah wujud timbal balik mereka, yakni memberikan kesenangan, perhatian, dan kehormatan pada alam.
Selang tujuh tahun, kedua perempuan itu telah beberapa kali melakukan pernikahan dengan alam. Pernikahan keempat yakni 17 Mei 2008. Mereka melaksanakan pernikahan dengan alam di Santa Cruz, California. Tidak hanya menikahi bumi, Annie dan Elizabeth juga menikah dengan gunung, laut, bahkan dengan sinar matahari. Di sini, dua akademisi tersebut mengajak publik menjalani cara baru, untuk merawat, memelihara, menyayangi dan memperhatikan alam. Sehingga terjadi keidealan dan keharmonisan untuk hidup saling berdampingan.
Berdamai
dengan Para Pecinta
Banyak cara yang dilakukan para ekoseksual dalam mencumbu alam, antara lain membelai batu, memeluk pohon, menjilati bunga, dan menciumi tanah. Ritual pernikahan yang Annie dan Elizabeth lakukan bahkan membuat para tamu undangan tercengang. Mereka telanjang dan melumuri tubuhnya dengan tanah, kemudian berguling-guling di gundukan tanah yang telah disiapkan (Tirto.id).
Jika diperhatikan, tindakan para ekoseksual memang ekstrim. Beberapa kalangan menganggap mereka berlebihan dalam melakukan usaha pelestarian. Hal yang mereka berdua lakukan menimbulkan banyak kontroversi. Kedua perempuan tersebut bahkan pernah diancam untuk dibunuh, dilaporkan polisi dan dibom ketika melakukan prosesi pernikahan. Akan tetapi mereka tidak pernah gentar menyuarakan gerakannya (ecumenicajournal.org).
Berbagai
konsekuensi harus diterima para ekoseksual, ketika menjadikan gerakan ini
sebagai sebuah paradigma baru. Jika kita tidak bisa membenarkan aliran seksual
yang mereka anut, setidaknya kita bisa mengambil semangat para ekoseksual dalam
mencintai alam. Yakni dengan terus menyuarakan pelestarian terhadapnya. Dengan
begitu, sedikit demi sedikit kita akan dapat memutus rantai kerusakan yang ada.
[]
Penulis: Tsalis A. Mustofa
Editor: Rizka Umami
Pernah Diterbitkan Majalah DIMeNSI 39 / November 2017
Tsalis Mustofa Pernah Menjabat Manajer PSDM DIMeNSI bisa disapa via fb: Tsalis Mustofa |
0 Comments