“Bukan begitu. Tidak menyenangkan bisa juga berarti hampa.” jawabnya sembari murung.
Saya kemudian mafhum bahwa perkara dalam
hidup ini tidak bisa begitu saja disederhanakan, bukan sekadar soal pro-kontra,
benar-salah, ya-tidak, jelas-samar, maupun ini-itu. Bukan oposisi biner, ringkasnya.
Lalu pelan-pelan ia mendongengi saya banyak hal, sebelum kemudian saya bertanya
pada diri saya sendiri: tidakkah ia sedang mencoba meracuni pikiran saya?
“Cerita saya masih panjang. Jangan bangun dulu.” cegahnya.
“Saya harus pergi bekerja. Tundalah dulu ceritamu sampai saya tidur lagi.”
“Tidak. Sekali-dua kamu perlu membolos. Bekerja melulu, apalagi di kantor yang mengurusi pendidikan orang banyak, justru tidak akan membikin otakmu cerdas.”
Saya tak peduli dengan kata-katanya. Saya
paksa diri saya meninggalkannya dalam beberapa langkah, namun kemudian ia menarik
paksa lengan saya, mendudukkan saya, lalu menggaplok jidat saya sebagai hukuman
karena saya teramat bandel. Saya tak bisa membantah lagi. Dengan demikian saya bermimpi
lebih panjang lagi.
“Saya minta rokokmu.” ucapnya dengan mulut sudah tersumpal sebatang rokok yang menyala
ujungnya.
Sambil menarik-hembus asap rokok ia mendongeng
dengan penuh semangat. Saya yang tak mengenal batas tata krama di dalam mimpi ini
kemudian menyeduh kopi begitu saja, sementara ia masih nyerocos tanpa dapat saya
hentikan.
“Kamu dengarkan saya?” tanyanya sebagai tanda minta perhatian.
Saya hanya mengangguk selagi menyeduh kopi.
“Boleh juga kalau kamu mau bikinkan satu.
Gulanya setengah sendok makan saja.”
Dengan berat hati saya bikinkan ia kopi.
Saya bisa saja mencampurkan racun dalam kopinya selagi ia tak tahu. Tapi, untuk
apa? Lagipula ia hantu. Racun sekeras apa pun kiranya tak akan mempan bagi tubuhnya.
Ia buru-buru meghirup kopi bikinan saya
begitu saya menaruhnya di atas meja. Ia tersenyum sebentar, lalu menyeruputnya dalam-dalam
hingga terdengar bunyi sesuatu di kerongkongannya. Ia tampak lega, dan ia mendongengi
saya lagi.
“Kata-kata pembuka dalam Manifesto Komunis.”
“Baiklah. ‘Ada hantu sedang membayangi Eropa: hantu Komunis’, kurang lebih begitu katanya. Tapi persetan dengan itu. Kali ini saya mau bercerita mengenai hantu yang lebih hantu dari itu, yakni hantu yang bernama Partai S. Hantu berwujud manusia.”
“Partai S?” tanya saya dalam ketidaktahuan yang sungguh-sungguh fatal.
“Partai S adalah bentukan paling menakutkan yang menghantui negerimu. Saya rasa sudah saatnya kamu tahu, agar kamu tidak melulu jadi korban sejarah yang timpang dan beku.”
“Baiklah. Teruskan.”
“Kamu masih ingat dengan peristiwa September Tiga Puluh? Di sanalah Partai S memainkan peran mengacak-acak dan memporak-porandakan negerimu dengan cara yang sangat halus. Perlahan-lahan mereka menciptakan adu domba, menyita perhatian seluruh negeri sambil mengatakan bahwa Komunis benar-benar jahat.”
“Bukankah Komunis memang benar-benar jahat?”
Brilio |
“Tidak seluruhnya. Kebanyakan orang yang berada di jajaran pimpinan lah yang jahat. Mereka itu sesungguhnya kader Partai S yang diam-diam menyamar. Sementara orang-orang akar rumput, yang ikut masuk dalam daftar Komunis, hanyalah orang-orang lugu yang kemudian mesti ditumpas tanpa tahu kesalahannya. Di luar itu, pemberontakan-pemberontakan alot yang menimpa negerimu juga pernah didalangi oleh orang-orang Partai S.”
“Miris memang.”
“Lebih miris lagi, hal itu tidak dimuat dalam buku pelajaran sekolah.”
“Benar. Lalu, apakah Partai S masih ada?”
“Tentu saja sudah tak ada,” ia menyeruput kopi lagi, “tapi ideologi penghancurannya masih berjalan.”
“Bagaimana bisa?”
“Ideologinya berkembangbiak, dan ada banyak kadernya yang tersempal, yang kemudian menempati sektor-sektor strategis. Mereka semua sejatinya pengisruh ulung. Ada di antara mereka yang menjadi menteri luar negeri, menteri keuangan, anggota dewan, pemilik media massa, dirjen kebudayaan, bahkan budayawan. Ada juga yang pernah menjadi wakil presiden, bahkan satu lagi menjadi presiden.”
“Saya hantu. Saya sering bergentayangan mencari-cari informasi.”
“Apa lagi yang kamu ketahui mengenai mereka?”
“Mereka cerdas dan pandai menciptakan dalih, tentu saja. Mereka bisa bergerak licin dan sluman-slumun menyerupai siluman. Mereka bisa begitu lancar berbicara, hingga banyak orang-orang yang tertipu. Mereka juga dapat dengan mudah menjelaskan makna harga diri. Sementara kau tahu, orang yang tak dapat menjelaskan makna harga diri belum tentu ia tak punya harga diri.”
Saya mengangguk menyetujui kalimatnya yang
penghabisan. Tak lama kemudian ia mengambil sebatang rokok kepunyaan saya lagi,
menyulutnya, dan memain-mainkan pemantik api seraya bersiul-siul.
“Ngomong-ngomong, saya belum tahu dari mana
asalmu.” ucap saya kemudian.
“Tapi itu mendekati mustahil.”
“Tapi tidak mustahil secara absolut. Waktu yang akan menjawab.”
Ia habiskan kopi bikinan saya. Lalu tak berapa lama ia menyuruh saya bangun dari mimpi ini. Saya masih mau bertanya lebih banyak hal padanya, tapi ia buru-buru pergi mengayuh sepedanya melintasi kebun anggur di depan rumah saya, bertemu dengan jalan menanjak, dan tak lama kemudian ia mengayuh sepedanya naik ke langit yang nyaris berwarna merah seluruhnya.
Saya terbangun, mendapati diri telah tertidur selama tiga hari tiga malam. Itu artinya saya telah membolos kerja selama tiga hari. Atasan saya memarahi saya habis-habisan pada keesokan harinya, tapi saya tak peduli, alih-alih pergi meninggalkannya hingga kemudian ia hanya memarahi gambar wajah saya di monitor komputer.
Dalam bolos saya yang keempat ini saya sempatkan
diri mampir ke kantor Badan Bahasa untuk sekadar memberi saran agar kosakata “hantu”
di Kamus Besar ditambah pengertiannya: yakni, makhluk yang mendatangimu dalam mimpi
dan memberimu kuliah sejarah selama tiga hari tiga malam. Demikianlah. Sekali lagi,
itu hanya saran. Mudah-mudahan pihak Badan Bahasa sudi mempertimbangkannya.[]
00:02
24 Nopember 2019
1 Comments
Begitu yaa? Aku juga penasaran dengan mimpi kalian
ReplyDelete