Ada sebuah rasa pedih yang teramat menyayat hati, terlebih saat kau melabeli aku ini laki-laki. Adalah kehidupan yang sebenarnya biasa saja namun ia telah lama merenggut keadilan yang seharusnya aku terima. Tercatat aku terlahir sebagai seorang manusia, laki-laki pada umumnya; yang punya harapan, pun keadaan yang berbentur keinginan sekitar. Aku seorang laki-laki, yang rupawan, terberkati karunia atas kasih sekeliling, namun anugerahku dianggap kecil karena aku, Marto.
Lalu dengan alasan yang diperinci, ada satu hal yang membuatku tak layak atas pilihan paling besar kala itu, aku gagal meminang kekasihku, “aku pemuda miskin menurut pandangan orang tua dan perhitungan matematika dunia”. Aku terlampau terhina, hingga sakit hati memilih jalan panjang perlawanan.
Kita Kini News |
Ningsih adalah sajak-sajak semesta yang hadir menghadiahi diriku kebahagiaan agung sekalipun aku hanya laki-laki biasa. Ia hadir tidak sekadar hadir, ia ada tak sekadar ada, ia berarti. Ningsih sejak lama menjadi nyawa atas jiwa rapuh yang tak berpenghuni, ia bagaikan oase di kegersangan hati. Sejak menjalin kasih dengan Ningsih, aku seperti memiliki harapan lebih untuk hidup, tenaga lebih untuk bekerja, dan kebahagiaan yang tak perlu diperjelas alasannya. Dan kini aku punya alasan mengapa harus lebih giat dalam bekerja, tak lebih sebagai bekal membahagiakannya. Iya, Ningsih tidak hanya mendapat kebahagiaan, tapi ia harus bangga hidup denganku.
Banyak yang memuji kecocokan kami, wajah yang mirip, kondisi ekonomi keluarga yang tidak jauh beda, serta kebiasaan kami di desa yang hampir sama sering dipadukan dalam kegiatan bersama-sama. Lama-lama kami makin berani menunjukkan relasi asmara, orang-orang desa yang mudah mengenali gerak muda segera tahu bahwa kami pasangan kekasih. Cerita ini sampai pada keluarga Ningsih, ia yang menghendaki anaknya hidup sejahtera tak begitu terbuka dengan hubungan kami.
“Wes ora usah diterusne Le, lek pancen ora direstui.” Ujar ibu kala itu. Jiwa muda yang menyala, menganggap segala nasehat adalah bentuk lain dari ketidakpercayaan diri. Aku abai pada nasehat ibu.
“Ibu ra usah khawatir, najan wong tuane ora ngrestui, piye-piye kui panggah bocah e.” Jawabku dengan percaya diri.
Mendung menggelayut di atas bukit pedesaan, gerimis tipis berteman cuaca sejuk memperjelas nuansa khas pedesaan. Kulihat di atas pohon, dua tiga tupai nampak melompat antar ranting. Lalu di ranting yang lain, beberapa daun kering gugur dari dahan. Tak banyak yang dapat kunikmati sore ini, selain tumpukan dedaunan kering yang sebagian membusuk bercampur tanah di bawah pohon. Ia berserak dan nampak tak berguna. Lalu aku ingat kata-kata guru IPA, daun yang membusuk dapat terurai menjadi pupuk organik. Aku tertawa terbahak.
Dedaunan gugur mengingatkanku pada Ningsih, tentang hatiku yang selalu jatuh bangun meneguhkan tekad, mengenai kisah cinta yang belum menemukan gerbang restu. Setumpuk harapan yang kokoh terangkai kerapkali berhambur menjadi asap yang mengudara, tak lain saat kutemukan wajah Ningsih tak ceria, mata ia sembab karena tangis.
Tapi bukan cinta jika tak gila, semua aku anggap alasan untuk membuktikan bahwa kami berdua sama-sama bahagia dan menaruh harapan untuk masa depan yang saling membahagiakan. Jika dikira aku tanpa perjuangan, mereka keliru. Sebagai laki-laki aku tak hanya sedang melawan takut tak diterima, tapi aku sedang belajar melawan keraguan sekeliling dengan terus hadir sebagai laki-laki yang mampu melampaui diriku sendiri. Esuk aku akan bangun pagi, menambah porsi kerja, dan memberanikan diri melamar Ningsih.
Solopos.com |
Keraguan orang tuanya itu benar adanya, keraguan sekeliling itu wajah hadirnya, terlebih untuk aku, Marto. Seorang lelaki yang menurut sekeliling tak memiliki masa depan pasti, terlebih untuk berdamping dengan perempuan yang banyak diharapkan lelaki. Ningsih adalah perempuan baik-baik dan setiap inci tubuhnya adalah nilai, di sini tak menjadi perlu perempuan punya masa depan dengan kerja-kerjanya. Tapi laki-laki soal lain, yang diperhitung adalah setiap ruas perjuangan, kami dihitung lewat tenaga sekalipun tubuh tak dinilai berarti.Tapi dan tapi apa peduliku, Ningsih sejak semula menerimaku. Soal orang tua bisa kami upayakan, dengan pembuktian bahwa aku layak dititipi anak orang.
Dua muda mudi yang saling menyayangi, memiliki wajah yang memiliki kemiripan, pun punya alasan sederhana untuk bahagia. Namun perhitungan dunia tidak sesederhana harapan diri sendiri, kebutuhan lain di luar memiliki porsi untuk membatasi kesenangan sebagian yang lain. Aku teramat menyayangi Ningsih sebagai kekasih yang dengan tulus menerima diriku tanpa tuntutan melainkan dengan harapan. Tak ada yang bisa kuhadiahkan untuk Ningsih kecuali kesediaanku menyayanginya dengan syukur, dan kuharap dia menyayangiku dengan sabar.
Berbulan-bulan lewat, hubungan yang sejak semula dibatasi dengan diam-diam kini menjadi semakin jelas. Tak lain semenjak kedatangan orang kaya yang hendak memperistri Ningsih, aku semakin tersisih. Orang tua Ningsih mempertegas larangannya untuk berhubungan denganku secara serius, sementara orang-orang sekitar yang kadung akrab dengan cerita asmara kami saling menebak akhir cerita yang bagaimana. Aku dan Ningsih lalu memutuskan bertemu. Ia hadir dengan air mata tak hanya menggenang. Lalu ia jatuh, mengalir dengan deras, dengan jerit hati yang tidak tertahan.
“Mas Marto, hubungane awak e cukup sampek kene wae. Sampean oleh loro ati, tapi aku ra iso dadi anak durhaka.” Ucap Ningsih.
Tidak ada yang lebih menyiksa perasaan anak gadis kecuali pilihan antara bakti dan perasaan cinta sebagai tabiat manusia. Lalu aku tawari dia kabur, ke kota yang jauh, mengundi nasib, menjelaskan penolakan atas ketetapan orang lain, membuktikan bahwa cinta memiliki jalan lain. Ningsih diam.
Bagiku tak ada beda antara diam dan penghianatan. Seperti
tak jelas mana ketidaksiapan memperjuangkan tekad dengan keteguhan pada bakti
orang tua. Aku kecewa. Dan diamnya mengakhiri usahaku, dan diamnya memperjelas
semua telah usai. Aku pergi meninggalkan
dia mematung bersama tangis dan ketidakmampuan melawan kehendak di luar
kedirian.
Minggu ini Ningsih akan menikah, entah terpaksa atau dia menyadari kekuranganku sebagai manusia, toh sama saja. Dia akhirnya menikah dengan pria pilihan keluarganya. Tak berselang lama dari lamaran, tanggal baik ditentukan, pernikahan digelar. Pesta dihelat dengan suka-cita keluarga, tamu hadir menyaksikan kebahagiaan bersama wajah Ningsih yang samar-samar menghadirkan bahagia. Tapi di sini aku terlampau sakit.
Di sudut kamar, mataku kosong. Pernikahan Ningsih dengan
orang yang dipilih orang tuanya tak ubahnya bom waktu yang telah meletus. Ia
tak hanya menghancurkan tubuh tempat jiwaku bersemayam, tapi bom itu membunuh
kemungkinan-kemungkinan yang aku upayakan. Hancur tanpa sisa. Tak ada gambaran
masa depan yang ingin aku tapaki dengan diri sendiri atau orang lain sesudahnya.
Dunia seakan mencampakanku dengan getir yang teramat. Aku hampir mati, aku
menghendaki mati.
Hai-online.com / Grid.com |
Kuhantamkan tangan mengepalku berulang kali dinding rumah, aku jambak rambutku lalu aku benturkan kepalaku pada benda keras. Semua gelap, aku tergolek di ujung meja. Masa depan kini hanya mimpi yang tidak akan mungkin, sementara kenangan menjadi bayangan yang menghantui. Ialah kenangan, ialah masa depan sesungguhnya.
Seminggu lewat, sebulan berlalu. Tak ada yang berubah dari cara pandangku memaknai dunia. Tatanan feodal tak pernah menghargai kasih sayang, ia hanya menghargai kehadiran yang punya nilai saat dikapitalkan; uang, jabatan, kedudukan. Ningsih menjadi satu wajah yang membuat rasa benci yang teramat dalam. Ia bersama yang lain menjadi tumpukan resah yang menghadiahiku rasa sakit yang teramat.
“Kasian Marto, wes pirang-pirang ndino ora gelem mangan, adus yo ora, nik kamar ngebleng, pisan pindo tak rungokne bengok bengok, misah-misuh.” Ujar bapak Marto.
Ibunya yang sejak awal menyiapkan kelapangan hati atas segala kemungkinan hanya bisa menangis. Rasa cinta yang teramat hanya melahirkan ketidaklogisan dalam berfikir, ia tidak hanya membodohkan tapi merugikan.
“Yuh piye, Pak? lek anak e awak e dewe dadi edan? Wiwit mbiyen wes tak kandhani demen kui ojo nganti kepati-pati. Njur kedadean ngene iki saiki.” Sahut ibunya sambil mengusap air mata.
Kepedihan yang menyelimuti hati Marto tak hanya membuahkan sesal keluarga, tapi melahirkan kepedihan lain. Marto tidak hanya patah hati, tapi ia dibuat gila oleh perasaan dan harapannya.
Setelah lama mengurung diri, kini Marto membawa bunga rampai dari beraneka jenis bunga yang ia ambil dari taman kecilnya di rumah. Rangkaian bunga yang ia susun menyerupai kalung, lalu ia kalungkan pada lehernya. Lalu dengannya ia menandai diri serupa manusia yang memiliki kehormatan paling agung karena dia tak hanyut pada tuntutan sekitar, pada tuntutan feodalistik.
“Hanya menjadi gila aku bisa melawan pandangan yang kadung
menggurita. Tapi aku tidak gila, aku terhormat,” teriak Marto sambil tertawa terbahak-bahak, sampai akhirnya
diam dan menangis sejadi-jadinya di depan rumah. []
Dian Meiningtias Perempuan yang Bercita-cita Jadi Dukun bisa disapa via fb: Dian Meiningtias |
0 Comments