1/
Hasil lukisan
itu ia bingkai rapi. Ia letakkan di dinding ruang tamu dan mengelapnya seminggu
sekali. Perempuan Jepang dengan kimono merah, tengah duduk dengan wajah tegas,
memperlihatkan sorot matanya yang sayu, sedikit berat menahan sanggul. Lukisan yang
merangkum seluruh perjalanan si empunya, menjadi satu-satunya alasan bertahan
hidup dan menciptakan sejarahnya sendiri.
2/
Dua tahun setelah
pesta wabah berakhir, tidak ada lagi yang mendapat kabar kematian dalam jumlah
besar. Semua rumahsakit darurat resmi ditutup. Dokter dan perawat magang kembali
ke kotanya masing-masing. Dan laki-laki itu ikut pergi bersama Alma. Tanpa
kalimat perpisahan, surat atau pesan singkat. Mereka menutup semua akun media
sosial dan mengganti nomor ponselnya. Tidak ada yang ingin tahu, tidak sempat
mencari dan mereka cepat dilupakan.
Brilio.net |
3/
Bagaimana rasanya
patah berkali-kali? Mencari keberadaan Alma dan laki-laki yang seharusnya telah
mendapat gelar dokter spesialis ortopedi itu membuatmu tidak waras. Mereka berdua
tidak memberi petunjuk apapun. Dan pertemuan terakhir yang diharapkan, tidak
pernah terjadi. Hanya membuatmu menambah dosa sebab menyumpah serapah pada bayang-bayang
keduanya. Obsesi sering membuat orang tidak sadar, sekat antara hasrat
keterpenuhan dan sesuatu yang mereka sebut dengan cinta, makin samar.
4/
Sabtu sore di
bulan kelahirannya, kau mencari nomor ponsel kakak perempuan laki-laki yang
menghilang bersama Alma. Senin pagi mendapatkannya dan menuju rumah perempuan
itu dua jam kemudian. 16.30 kalian saling memeluk dan menangis. Kenapa tidak
kau lakukan jauh sebelum laki-laki itu memperkenalkan Alma pada keluarganya? Tapi
perempuan itu mengerti. Ia tentu mengenalmu lebih dulu, seusia putra
pertamanya. Ia memberimu selembar kertas
berisi alamat, daerah Wonocolo, lengkap dengan nama jalan dan nomor rumah.
5/
Ini adalah
saat-saat Rukmini kehilangan Tendean atau seseorang lain yang kehilangan orang
terkasihnya karena tragedi 65. Cerita kehilangan dan ditinggalkan yang paling
niscaya dari laku hidup manusia, setidaknya itu yang kau yakini. Jika bisa
mencintai, kau beruntung. Jika bisa menunggu sekaligus berjalan dengan kakimu
sendiri, kau sangat beruntung. Jika bisa mencintai dan dicintai sampai akhir,
kau patut bersyukur. Meski kesalingan itu harus tamat karena tragedi dan
kematian, kau masih beruntung dan bisa sesekali bersyukur. Tapi di mana letak
keberuntunganmu ketika hanya patah berkali-kali?
Wallhere |
6/
Rumah kosong.
Penghuninya seperti menghilang dua bulan lalu. Beberapa tetangga sempat melihat
seorang perempuan berkacamata keluar rumah membawa koper dan satu tas ransel
berwarna kuning. Lalu si laki-laki? Apa perempuan itu bersama seorang
laki-laki yang juga berkacamata? Kau pasti ingin bertanya, tapi tidak ada
kalimat tanya lain yang keluar dari mulutmu, selain pertanyaan pertama yang
telah dijawab. Seperti cerita yang sering kau tonton, hari ini kau
mengalaminya. Merasa putus asa dan terduduk di teras depan rumah tanpa
penghuni. Beberapa jam menuju petang. Seorang tetangga yang tadi kau tanyai,
kembali. Ia telah bertanya pada beberapa tetangga lain dan menemukan alamat
praktik seorang dokter laki-laki.
7/
“Sebelum kita bertemu, aku sudah patah berkali-kali, Dok.”
“Bagaimana rasanya patah berkali-kali?”
“Andai yang cedera itu tulang, apa yang dokter sarankan?”
“Perbaikan atau peremajaan tulang. Jika parah, amputasi."
“Bagaimana dengan hati?”
“Apa ada yang melukaimu?”
“Dokter, aku pernah menunggu empat tahun untuk kepulangan seorang teman. Selebihnya aku menunggu kepulangan seorang kekasih. Lalu untuk kenangan sebelas tahun, aku menunggu sesuatu yang sia-sia. Bagaimana kabar Alma?”
“Ia baik,
sedang menjalankan beberapa riset di luar kota.”
8/
Tempat ini
adalah sebenar-benarnya rumah. Ruang pertemuanmu dengan Alma, tempatmu menunggu
kepulangannya, berbagi cerita masing-masing setelah jengah bekerja dan akan
menjadi tempat terakhirmu menghabiskan masa. Sekarang aku melihatnya sendiri,
lukisan yang kau unggah di media sosial itu buatan Alma. Terpajang rapi di dinding
ruang tamu. Kau kata seminggu sekali mengelapnya. Alma membubuhkan tanda tangan
di pojok bawah bagian kanan lukisannya. Manis sekali, tapi menyakitkan. Aku
ingat, nasib ini seperti cokelat pemberianku yang kau biarkan meleleh di dalam
jok motormu di masa-masa sekolah menengah pertama.
9/
Pertemuan terakhir
itu akhirnya terjadi. Tepat di malam ke-28 ia mengantarmu ke stasiun Sepanjang.
Tidak ada janji kelingking yang bisa diucapkan atau kata-kata perpisahan dengan
harap-harap temu seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Ini adalah cerita
yang mesti selesai dengan singkat dan sederhana, tentang seorang penulis yang gagal
membuat ceritanya sendiri atau seorang perempuan yang harus merasai patah untuk
kesekian kali. []
0 Comments