Rangkuman Diskusi
Pandemi Covid-19 telah merumahkan hampir semua aktivitas manusia. Kehadirannya berdampak pada banyak aspek, mulai pendidikan, ekonomi, kesehatan, politik maupun sosial dan budaya. Pandemi memaksa kita menunda temu, dan lusinan kegiatan pun diselenggarakan dengan cara lain, daring misalnya. Termasuk ketika Komunitas Pecinta Sastra Tulungagung (KPST) berniat menyelenggarakan diskusi sastra perdananya pada 19 Juni 2020 lalu. Muhammad Da’i Robbi sempat berucap, “Kita dipaksa berkompromi dengan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa berdamai dengan manusia.”
Berbicara mengenai sastra di tengah pandemi, kita mesti mengklasifikasikan terlebih dulu konteks sastra tersebut, sebagai komoditas yang diperjual-belikan atau sebagai salah satu aspek dalam kehidupan kita yang sublim, menuju spiritualitas. Akan berbeda ketika sastra yang dimaksud adalah sebagai komoditas, sebab akan berkaitan dengan aspek ekonomi dan bisnis penerbitan atau penjualan karya. Sementara ketika berbicara sastra sebagai sublimitas manusia, maka proses yang dilakukan tidak perlu tuntutan atau dengan banyak orang. Ketika bergiat di dalam sastra juga tidak butuh mobilisasi karena sastra telah dimanifestasikan dalam ritme hidup sehari-hari.
Bagi Da’i Robbi, adanya pandemi Covid-19 tidak harus dipahami sebagai bencana dan kerugian, terlebih bagi para pegiat sastra. Dalam aspek ketahanan mental, pegiat sastra sudah sangat mafhum dengan segala jenis krisis yang terjadi, sehingga bisa membaca tantangan dan kesulitan selama pandemi. Hal tersebut mestinya bisa jadi pemantik, menjadikan kebijakan #dirumahsaja sebagai peluang untuk tetap melakoni proses kreatif dan menghasilkan karya sastra dalam beragam bentuk. Mestinya, banyak karya sastra yang bisa lahir ketika musibah atau bencana terjadi, sebagai penanda zaman sebagaimana karya-karya yang terdahulu.
Bbc.com |
Pertanyaan yang harusnya diajukan adalah mengenai ada tidaknya implikasi etik ketika menjadikan pandemi sebagai tonggak lahirnya sebuah karya sastra. Mengingat kita tidak bisa lepas dari anggapan dan persepsi. Misalnya ketika menjadikan pandemi sebagai topik utama karya sastra, seakan-akan pengarang atau penulis telah mengeksploitasi tragedi dan di lain hal dianggap tidak sensitif terhadap musibah yang terjadi, dan lain sebagainya.
Inilah yang perlu diperhatikan oleh pegiat sastra, bahwa terdapat koridor yang tidak bisa begitu saja diterjang. Meski sastra sendiri bebas nilai, akan tetapi ada norma masyarakat, nilai-nilai dan realitas yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh para sastrawan. Dengan demikian, para pegiat sastra tetap harus memerhatikan realitas zaman agar dapat memberi dampak pada karya yang dibuatnya, sastra yang manusiawi, misalnya.
Dalam konteks pandemi Covid-19, sastrawan bisa mengalokasikan waktunya lebih banyak untuk melakukan proses perenungan atau kontemplasi. Hal ini sebagaimana disampaikan pemateri kedua, Zelfeni Wimra bahwa pandemi sesungguhnya menguntungkan para sastrawan karena membuat mereka bisa mengeksplorasi ide-ide atau gagasan baru serta melakukan kerja kreatif dalam waktu yang lebih panjang.
Pandemi,
bagi seorang pegiat sastra tidak akan menjadi soal. Ketika melihat sastra
sebagai ilmu, segala jenis penelitian, kritik terhadap kebijakan dan pembacaan
terhadap sastra tetap bisa dilakukan. Sebagai pandangan hidup, sastra dapat
membuat pegiatnya merawat optimisme dan memberikan resonansi pada pecintanya.
Sementara sebagai sebuah gerakan, sastra akan terus berkembang sesuai arah
juang atau konteks yang diperjuangkan, brgantung pada idealisasi kelompok –meski
sangat mungkin dipolitisasi, dikapitalisasi dan lain sebagainya.
Pertanyaan
I:
Apakah
sastra memang identik dengan seksis dan vulgar?
Kualitas dan isi karya tentu bergantung pada pengetahuan yang dimiliki penulis, dipengaruhi oleh budaya dan ideologi yang melekat pada dirinya. Bagi Wimra, setiap penulis memiliki karakter dalam karya-karyanya dan pembacalah yang menentukan ke arah mana makna sebuah karya tersebut digiring. Otoritas memaknai karya sastra sudah bukan milik penulis, tapi tergantung pada tafsir mana yang digunakan oleh pembaca. Kapasitas pengetahuan dan kecenderungan seorang pembaca juga sangat menentukan pemahamannya terhadap sebuah karya. Perjalanan spiritual dalam memaknai metafora dalam sastra tidak tunggal, tidak satu pintu, sehingga pemaknaannya pun sangat mungkin beragam.
Sementara
menurut Da’i Robbi, di masa ini orang sangat mudah terjebak pada bungkus dan
melupakan substansi sebuah karya. Padahal lumrah jika dalam karya-karya sastra
banyak terdapat simbol-simbol dan atau metafor yang sejatinya sekadar wasilah,
memberi ruang pada pembaca untuk menemukan makna sesuai kapasitasnya
masing-masing. Hal ini berlaku pada pembaca sastra yang memiliki kepentingan
maupun pembaca sastra tanpa kepentingan. Selain itu, meski kerap disampaikan dengan
kalimat-kalimat yang vulgar dan sarkas, substansi sebuah karya sastra
hampir-hampir tidak pernah mengabaikan kebenaran.
Pertanyaan
II:
Bagaimana
menulis sastra, sehingga bahasanya bisa mudah dipahami?
Pertanyaan
III:
Penanya sering sekali mengalami ritme menulis yang kacau. Mood menulis bisa sangat baik pada suatu hari dan bisa sangat buruk untuk waktu yang lama, sehingga proses menulis tidak konsisten. Bagaimana menyembuhkannya?
Jawaban:
Wimra
dan Da’i berpendapat, ritme menulis yang pasang surut merupakan hal yang lumrah
terjadi pada setiap penulis. Ketidakadaan ide pada suatu waktu juga wajar
terjadi. Bisa jadi tidak adanya ide menulis, karena bacaan atau bahan untuk
menulis juga kurang. Hal itu bisa diakali dengan mencari topik tulisan yang
lekat dengan kehidupan sehari-hari, merangsang atau mengupayakan untuk tetap
menulis dengan topik-topik yang sederhana.
Salah satu trik menjaga stamina menulis yang diberikan Wimra adalah dengan memiliki diksi khusus yang paling disukai. Misalkan Wimra sangat menyukai ‘kucing’ maka segala sesuatu bisa dikaitkan dengan kata tersebut. Taruhlah itu menjadi sebuah kata kunci, maka penulis bisa mengaitkannya dengan laku kehidupan sehari-hari yang bersinggungan dengan kata kunci tersebut.
Wimra juga menyampaikan bahwa seseorang harus menemukan dan memiliki setidaknya satu alasan untuk tetap menciptakan sebuah karya. Misalkan, seseorang membuat suatu karya agar dapat hidup di hari selanjutnya, semacam ada pertarungan hidup dan mati. Jika tidak ada cerita hari ini, maka ia mati, dan sebagainya. Baik Wimra maupun Da’i tidak menganjurkan seorang penulis menunggu mood menulis muncul, sebab itu akan memakan banyak waktu dan tidak akan membuat tulisan kita selesai.
Rangkuman diskusi ini ditutup dengan pembacaan puisi oleh Muhammad Da’i Robbi dan Zelfeni Wimra. Satu kalimat terakhir yang saya ingat dalam diskusi ini, yang membuat saya terpacu untuk terus menulis, “Jika pun esok kiamat, ketika kau masih punya jemari, maka menulislah.”
Sabtu,
19 Juni 2020
Moderator,
Rizka
Hidayatul Umami
0 Comments